Para pecinta musik bawah tanah di Kota Parepare berpesta tahun baru lebih awal. Mereka berkumpul dan menciptakan moshing (bentuk ekspresi dalam merespons musik dengan cara saling membenturkan diri, saling dorong, memukul, menendang satu sama lain) melalui micro gigs bertajuk Area Bising #3 yang digelar pada 28 Desember 2019. Ini tahun ketiga digelarnya event yang digagas oleh Kontrakan Underground Syndicate, dengan tema “Jelajah Kultur Musik Independen”. Bertempat di halaman Antween Store dengan luas sekisar 3×4 meter, tempat subkultur Parepare sering berkumpul. Line up yang dihadirkan tahun ini pun lebih ramai dari tahun sebelumnya, di antaranya ada Cacimaki, Answer My Questions, Front Attack, Ollieover, Boy and Jhon, KNW Squad, dan Rasta Pare.
Saya tiba di lokasi pukul 20.30 Wita, memarkir kendaraan di seberang jalan tepat di depan Antween Store. Sebenarnya saya sudah telat, di susunan acara, acara dimulai pukul 19.00 Wita. Saya tiba di lokasi saat Answer My Questions (AMQ) mulai beraksi. Band yang berpersonil tiga orang ini mulai memanaskan acara, mengisi arena mosh pit (tempat yang digunakan untuk moshing).
Tak berselang lama, setelah penampilan AMQ, giliran Front Attack yang unjuk gigi. Namun sayangnya, saat cek sound terjadi sedikit kendala, tali bas personilnya putus. Tapi itulah gigs bawah tanah skala kecil, kejadian seperti ini sering terjadi. Hal-hal seperti waktu molor, sound system tidak maksimal, dan kesalahan teknis lainnya akan kita dapati di sebuah gigs yang dikerjakan dengan sangat terbatas. Yang penting distorsi gitar dapat terdengar, maka moshing bisa terjadi.
Dalam menyiasati perubahan susunan acara, sesi talk show pun dimajukan, dengan menghadirkan R-Ween JR, Axo Palintan, dan Toufiq, ketiganya adalah saksi peristiwa perkembangan musik di Kota Parepare hingga saat ini. Ketiga pembicara ini, secara umum, menceritakan tentang jatuh-bangunnya sebuah band yang baru mulai dibentuk. Di sisi lain, mereka bernostalgia tentang Parepare di awal tahun 2000-an, masa di mana kota ini begitu aktif menggelar festival musik.
Sementara itu, dalam melihat kondisi geliat anak muda masa kini di Kota Parepare, menurut R-Ween JR, pemilik Antween Store, anak muda saat ini cenderung tidak menunjukkan totalitasnya dalam mengerjakan sebuah kegiatan, sehingga apa yang dikerjakan sering berhenti begitu saja.
Sementara Axo Palintan, pentolan band Explo, berbagi cerita tentang awal terjun ke dunia musik. Karirnya dalam bermusik dipengaruhi oleh keluarganya sendiri yang juga seorang seniman musik. Lebih lanjut, Axo juga berbagi cerita tentang alasannya memilih dunia musik hingga mengambil studi Jurusan Seni, Drama, Tari, dan Musik (Sendratasik) di Universitas Negeri Makassar.
Tiba giliran Toufiq, drumer Ollieover, berbagi cerita pengalamannya saat membentuk sebuah band punk di Parepare. Menurutnya, hanya band-band punk yang mampu menciptakan atribut tersendiri, seperti emblem, stiker, kaus, dan lain-lain. Lebih lanjut Toufiq juga menyayangkan gigs serupa Area Bising jarang lagi ditemukan, khususnya di Parepare, lantaran anak muda saat ini mulai menemukan kesenangan tersendiri melalui gawainya. Akhirnya sulit lagi membentuk kolektif untuk membuat gigs seperti saat masanya dulu.
Selepas sesi talk show, Front Attack kembali melakukan cek sound mempersiapkan aksinya. Tak butuh waktu lama, band hardcore dari Barru, Sulawesi Selatan ini memanaskan para metalhead melalui distorsi gitarnya. Meski arena mosh pit tidak begitu luas, tapi tidak menghalangi metalhead yang datang melakukan moshing. Sedikit keras, tapi hal itu sudah biasa dalam moshing. Saling membenturkan tubuh sering terjadi dalam menikmati musik bawah tanah. Ada kebebasan yang dirasakan ketika melakukan itu. Sementara yang jatuh saat melakukan moshing dibantu berdiri untuk melanjutkan kembali.
Tak mau kalah, band hardcore yang digawangi oleh Toufiq dan kawan-kawan, para pelaku musik bawah tanah Parepare awal 2000-an ini juga turut ambil bagian. Pukulan drum Toufiq menjadi penanda waktunya kembali ke mosh pit. Satu per satu metalhead kembali membentuk moshing. Saya punya pengalaman masuk ke mosh pit sebelumnya, dan saat itu wajah saya kena siku. Dari pengalaman itu, saya hanya melakukan low key headbang (menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah dengan santai) malam itu.
Malam itu, Area Bising #3 ditutup oleh penampilan duo DJ: Boy and John. Memainkan musik pop yang pernah hit pada awal tahun 2000-an yang di-mix menjadikan penonton berjoget santai, seakan meruntuhkan semua dendam-dendam akibat benturan yang dialami saat moshing. Para metalhead berpegangan tangan dan menikmati tembang yang dimainkan duo yang menyebut penggemarnya sebagai “Pemuda Setempat”. Bukan cuma lagu pop, lagu-lagu rock langganan festival musik awal 2000-an juga dimainkan, seperti lagu Orang Utan dari Relp, Berdiri Teman dari Closehead, dan Y’all Want a Single dari Korn. Malam itu saya merasakan kembali ke awal tahun 2000-an menonton festival musik di sebuah lapangan. Sebagai lagu terakhir, malam itu, Boy dan John memainkan lagu Bugis-Makassar berjudul Balo Lipa, mengiringi metalhead meninggalkan mosh pit di Antween Store.
Acara ini juga menjadi tontonan bagi pengendara yang lewat di Jalan Lahalede Kota Parepare, sehingga mengakibatkan kemacetan di jalur ini. Tetapi, hal itu bisa diatasi oleh panitia yang begitu sigap mengatur lalu lintas lintas malam itu.
Acara musik bawah tanah memang tidak dapat diukur berapa orang yang akan datang. Meski selalu dianggap sudah tenggelam, tetapi malam itu membuktikan bahwa pecinta musik bawah tanah masih bertebaran di Kota Parepare. Mereka hanya butuh ruang ekspresi. Ketika ada ruang, massanya akan berkumpul karena solidaritas yang begitu kuat. Saya berharap, semoga Area Bising #3 ini menjadi pemicu munculnya kembali gigs-gigs bawah tanah yang digelar di berbagai tempat di Kota Parepare.
Andi Musran, Direktur Sampan Institute.