Pada mulanya dua batu diadu seperti bunyi hendak memantik api. Bunyi batu itu diadu dengan tempo makin cepat. Setelah itu, terdengar benturan bambu dalam tempo serupa. Lalu bebunyian lain turut menyertai benturan batu dan bambu itu. Mulai dari gesekan serupa kaki menyeka daun-daun kering, suara air mengalir, hingga teriakan “eii” dari seseorang yang sedari tadi mencetus bebunyian-bebunyian itu.
Bunyi-bunyi selanjutnya terdengar dari mulut lelaki itu di dalam ruangan empat kali enam meter di Galeri Uwake Culture Foundation, Lingkungan Tinggas Tinggas, Kelurahan Tinambung, Polewali Mandar, yang dijadikan ruang pamer Makassar Biennale (MB) 2019 Polewali Mandar. Bunyi seperti hendak memberi kode pada seseorang di seberang gunung, “uuuuuuuu”, yang lamat-lamat makin besar dan makin panjang. Selanjutnya tak jelas apa yang diucapkan lelaki itu, “cit cit cit… berkublena… hareeharee…auhaiooe“. Sembari merapal bahasa yang entah apa, gelak tawa penonton sesekali ikut menyemarakkan bunyi itu. Meski tak jelas apa yang diucapkan lelaki itu, dari intonasinya, seperti memperdengarkan adegan beberapa orang sedang merembukkan sesuatu, atau justru berdebat.
Gelak tawa penonton makin membesar tatkala lelaki itu berbicara dengan bahasa India. Ia memerankan dua karakter sekaligus. Pertama, seorang lelaki yang seperti hendak menjelaskan sesuatu. Kedua, suara seorang perempuan yang menimpali pernyataan lelaki itu. Setelah itu, terdengar surat Al-Fatihah yang dilantunkan oleh seorang perempuan. Nuansa Arab terasa kental dengan tambahan efek-efek suara seperti orang sedang pengajian.
Rupanya belum selesai. Setelah nuansa Arab, tabuhan gendang senada teriakan-teriakan serupa tarian perang nyaring berkumandang. Bunyi sinrili’ yang turut larut dalam bebunyian itu, menandakan kekhasan bebunyian dalam pancaragam musik tradisional Sulawesi Selatan. Nuansa Arab kembali hadir setelah tabuhan gendang dan sinrili’ usai. Nuansa Arab ini jadi batu loncatan untuk bebunyian selanjutnya yang mulai kaya dengan variabel bunyi musik-musik modern seperti yang kerap terdengar dalam sebuah adegan film, lalu bergerak lagi menemui bebunyian yang biasa kita dengar pada musik disko. Bebunyian itu menandai akhir dari penampilan Sahabuddin Mahganna malam itu di Pembukaan MB 2019 Polewali Mandar yang berlangsung mulai 26-30 Oktober 2019.
Sahabuddin Mahganna adalah salah satu seniman yang memamerkan karyanya di MB 2019 Polewali Mandar. Pria kelahiran Tinambung, 5 Juni 1982 ini, memamerkan karya berjudul “Bunyi Tana Tiga Masa”. Tana dalam judul karyanya tidak merujuk pada ‘tanah’ dalam fragmen ruang, sebagai tempat berpijak, dan lain-lain. Tana dalam karya ini merujuk pada pengertian ‘tanah’ sebagai ranah. Sahabuddin, dalam pengertian ini meletakkan tanah sebagai identitas, karakter, juga pancaragam persoalan yang terus menerus memperbaharui pengertian ‘tanah’ dalam fragmen ranah.
Langkah menaruh pengertian ‘tanah’ sebagai ranah oleh Sahabuddin dipengaruhi oleh keinginannya untuk menyigi ulang kedatangan manusia pertama di Mandar lewat bunyi. Setali tiga uang, kelindan bunyi pada pertunjukannya di malam pembukaan MB 2019 Polewali Mandar, menawarkan nalar bebunyian lewat tiga proses transisi: alam, Tomakaka, dan modern (masa kini).
Karya yang dipamerkan Sahabuddin menawarkan spekulasi bunyi yang bermula dari bentang perjalanan manusia. Pertanyaan “bunyi apa yang pertama kali tiba di Mandar?” menjadi semacam benang kusut yang ujungnya sudah tak dikenali. Dalam pertunjukannya, bebunyian alam mewakili kepercayaannya pada nalar manusia lampau yang berkomunikasi dengan meniru alam sekitar. Hal ini tersirat jelas pada awal pertunjukan yang ditandai gesekan batu, bambu, dan aliran sungai. Ketiganya merupakan variabel alam yang oleh Sahabuddin diterjemahkan sebagai bunyi pertama yang digunakan oleh manusia.
Konsep meniru alam pernah disinggung Plato (427-374 SM) dalam teori mimēsis yang kelak mengalami kebaruan oleh pemikir Helenis—zaman yang merentang sejak kematian Alexander pada abad pertama SM hingga keruntuhan kebudayaan pagan-Helenis akibat integrasi agama Kristen dalam kekaisaran Romawi selepas abad ke-4 M—yang “fokus analisisnya terhadap salah satu jenis mimēsis, yakni mimēsis atas apa yang non-aktual. Dalam arti, kerangka Helenis tidak memandang seniman sungguh-sungguh mencipta ‘dari ketiadaan’, melainkan merakit kemungkinan baru dari apa yang aktual.”[1]
Konsep mimēsis ini kemudian dinyatakan oleh Sahabuddin dalam bentuk bunyi. Hal ini terlihat dari transisi dari gesekan batu, bambu, dan aliran sungai, menuju teriakan-teriakan semacam “uuuuuuu” dan bebunyian dari mulutnya. Pada proses bunyi pertama ini, komunikasi antarmanusia masih berupa simbol-simbol yang ditangkap-ramu dari alam. Ini menjadi mungkin lantaran cara berkomunikasi selaras berkembang dengan cara berpikir. Ini yang terjadi pada manusia ketika revolusi kognitif yang ditandai dengan “kemunculan cara-cara baru berpikir dan berkomunikasi, antara 70.000 dan 30.000 tahun silam… Teori yang paling banyak berargumen bahwa mutasi-mutasi genetik tanpa sengaja mengubah sambungan-sambungan di dalam otak Sapiens, memungkinkan mereka berpikir dengan cara-cara yang tak pernah ada sebelumnya dan berkomunikasi menggunakan jenis bahasa yang sepenuhnya baru.”[2]
Kemunculan cara-cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi agaknya mampu menjembatani maksud dengan cara yang lebih mudah dipahami, sebab kata dan kalimat lebih spesifik pada objek-objek yang ditengarai. Tentu saja, bunyi dan tanda terlebih dulu melewati sejumlah proses sebelum menemukan bentuknya yang baru. Hal ini dimungkinkan lantaran manusia merupakan makhluk sosial yang terhubung secara komune.
Pengejawantahan bunyi dan tanda menjadi bahasa oleh Sahabuddin menautkan ulang pengertian imajinasi (phantasia) sebagai “kemampuan untuk membayangkan situasi-situasi yang mungkin dari apa yang ada—bukan membayangkannya ‘dari ketiadaan’.”[3] Lewat karya “Bunyi Tana Tiga Masa”, ia mencoba berspekulasi di tengah kekosongan pengetahuan manusia tentang bunyi yang pertama kali dipercakapkan oleh manusia. Meski “pada 1866 Masyarakat Linguistik Perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena hasilnya tidak pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja (Alwasilah, 1990: 1).”[4]
Sahabuddin tidak memaksakan spekulasinya ditangkap sebagai kebenaran tunggal. Ia pun membebaskan setiap pengunjung yang menyaksikan pertunjukannya malam itu membayangkan sendiri kemungkinan bunyi yang ada pada masa kedatangan manusia pertama di Mandar. Meski begitu, ia tetap mesti menghadirkan interpretasinya sendiri sebagai pintu dialog bagi banyak kalangan. Tak jarang, interpretasi yang ditangkap oleh pengunjung sama dengan yang ditunjukkan Sahabuddin. Tetapi hal ini menjadi semacam batu loncatan untuk pengetahuan yang datang melengkapi.
Hal ini diakui Sahabuddin lantaran pertunjukan dan karya instalasinya tidak mencoba memberikan sebuah jawaban yang pasti. Menurutnya, karya agaknya punya corak seperti itu. Ketika karya hadir ke publik, ragam interpretasi bakal melengkapi karya itu sendiri.
Berangkat dari bebunyian, karya Sahabuddin tidak mencoba mengungkapkan gerik-gerik manusia di masa lampau, tetapi bunyi apa yang menandakan suatu masa. Bunyi batu pada pertunjukannya pun yang ia letakkan pada karya instalasinya menandai zaman Paleolitik Rendah (2,6 juta tahun SM) hingga zaman Besi (1000 tahun SM).
Hal ini segendang sepenarian dengan perkakas batu sebagai karya seni pertama yang dipakai oleh Homo sapiens yang muncul “pada zaman Paleolitik Tengah, sekitar 200.000 tahun yang lalu. Spesies tersebut adalah penerus Homo erectus, yang pada gilirannya merupakan penerus Homo habilis yang hidup pada era Paleolitik Rendah. Berbeda dengan Homo sapiens, Homo habilis masih berbulu seperti kera. Kendati begitu, pada masanya kita sudah menemukan perkakas perburuan seperti kapak genggam. Perkakas batu ini antara lain ditemukan di Ngarai Olduvai, Afrika, dan oleh sebab itu disebut sebagai ‘teknologi Oldowan’”.[5]
Nalar zaman Paleolitik ini kemudian dipresentasikan oleh Sahabuddin lewat bunyi. Ia percaya, bebunyian pada masa itu didominasi oleh batu senada dengan objek-objek yang digunakan manusia pada masa itu. Fokusnya pada bunyi berangkat dari latar belakangnya sebagai seorang musisi.
Pada tahun 1998, berangkat dari penyanyi amatiran, Sahabuddin mulai menekuni musik lewat teater sebagai seorang penata musik di Sanggar Layonga Mandar (SLM), kemudian aktif berkecimpung dalam Teater Flamboyant (TF) pada tahun 1999 sampai saat ini. Pengalaman ini membawanya ke beberapa tempat seperti pentas teater “Palu Indonesia Dance Forum” pada tahun 2001 bersama TF, pentas musik bersama Ladam Makassar tahun 2002, event musik puisi Yogyakarta tahun 2003 bersama TF, saresehan musik tradisional bersama Rahayu Supangga dan Ben Pasaribu pada tahun 2009 di Jakarta, persemaian budaya bersama Dedi Gumelar dan FietVagae di Kepualauan Aru Maluku 2012. Mendapat sejumlah penghargaan seperti penata musik terbaik pada Festival Musik Tradisi Anak Nasional di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 2014, Pettoyang Karnaval Budaya tahun 2015, pertunjukan internasional Aborigineus Culture di Kuala Lumpur Malaysia pada tahun 2015. Sahabuddin saat ini mengajar dan menjadi pembina Sanggar Seni Layonga Mandar di SMA N 1 Tinambung. Selain itu, ia merupakan pendiri dan pembina Seni Musik One dO yang pada tahun 2017 melakukan pentas tunggal Mahakarya One dO Art Tinambung.
Sengkarut perjalanannya sebagai musisi membuatnya ingin memperkenalkan bunyi sebagai medium literasi. Berbekal pengalaman itu pula, ia melihat bunyi bukan sekadar melengkapi bentuk visual, bukan pula sebagai penegas bentuk semata. Menurutnya, bunyi terintegrasi ke dalam proses kehidupan manusia lewat sejumlah pengalaman spasial masing-masing. Misalnya, biar tak tampak rupa, ketika terdengar sebuah raungan hewan, lewat pengalaman dan pemahaman bunyi, kita bisa membedakan antara raungan anjing atau sapi. Oleh sebab itu, bunyi menurut Sahabuddin menjadi satu penanda penting dari proses kedatangan manusia hingga saat ini.
Sebagai medium literasi, Sahabuddin menyiasati pertunjukannya dengan cara hanya memperdengarkan bunyi. Dalam pertunjukannya, lampu ruangan dimatikan. Nuansa gelap semakin terasa lantaran karya instalasi yang juga dipakai untuk pertunjukan, didominasi kain hitam yang dipakai sebagai latar belakang. Hal ini dilakukan untuk memfokuskan karyanya hanya pada bunyi, lantaran ia ingin memberi pemahaman sejarah kepada pengunjung lewat bebunyian. Menurutnya, ketika batu hanya hadir sebagai visual, ia tidak akan lengkap ketika tidak dibarengi dengan bunyi, dalam artian, bunyi turut menjadi tanda dan simbol yang terintegrasi dengan visual.
Dalam “Bunyi Tana Tiga Masa”, suara batu, bambu, dan aliran sungai menjadi satu proses yang oleh Sahabuddin diterjemahkan sebagai proses kedatangan. Di Mandar, proses transisi bentuk bahasa manusia mengalami sejumlah proses panjang. Mulai dari ditemukannya lontara’ pada abad ke-14 mengacu catatan Cristian Pelras, hingga akulturasi budaya India, Arab, dan lainnya. Proses kedua ini oleh Sahabuddin disebut sebagai proses Tomakaka.
Tomakaka diterjemahkan Sahabuddin sebagai masa ketika massa mampu di-manage oleh seseorang lewat perangainya yang baik, arif, dan mampu menjadi teladan. Sebutan Tomakaka tidak lepas dari “persebaran pemukiman ke berbagai tempat di Mandar… lambat laun berkembang menjadi persekutuan masyarakat yang disebut banua atau lembang di bawah seorang pimpinan yang dikenal dengan Tomakaka… Maksudnya, adalah orang yang dituakan dan memiliki kelebihan dan kearifan yang dapat dijadikan sebagai teladan atau panutan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, Tomakaka dapat diartikan sebagai orang yang punya kesanggupan dalam segala hal atau sanggup mengayomi masyarakat.”[6]
Tomakaka oleh Sahabuddin disebut satu pintu masuk melihat konsensus bunyi yang simbolik, menjadi bahasa yang disepakati bersama. Meski menjadi teladan, keputusan Tomakaka tidak serta merta disepakati sepihak. Kesepakatan itu mesti dirembukkan dan disepakati secara mufakat. Dalam hal ini, perkembangan bahasa dipengaruhi oleh seorang Tomakaka, meski tidak secara otoriter.
Setelah masa Tomakaka, bunyi dan bahasa Mandar banyak dipengaruhi oleh akulturasi budaya. Terutama yang diperdengarkan Sahabuddin dalam pertunjukannya, India dan Arab. Akulturasi ini membawa bentuk-bentuk yang lebih universal, misalnya, penggunaan huruf alfabet. Akulturasi budaya ini juga menjadi pintu untuk bebunyian yang belakangan eksis. Setelah proses kedatangan, kemudian proses Tomakaka, bunyi ketiga dari karya “Bunyi Tana Tiga Masa” adalah proses bunyi modern. Sahabuddin menandai bebunyian ini dengan alunan musik disko pada pertunjukannya.
Kelindan bebunyian dari proses kedatangan, proses Tomakaka, hingga proses modern yang dipresentasikan lewat pertunjukan dan karya instalasi “Bunyi Tana Tiga Masa” di MB 2019 Polewali Mandar, menghadirkan proses reflektif yang terkait dengan pemahaman. Proses ini membikin “kita senantiasa berusaha untuk memahami, mengkritisi, mengasimilasi sesuatu; tapi di sisi lain juga membiarkan pengalaman kita di masa lampau memberikan pengertian tentang diri kita, menempatkan diri kita dalam suatu perspektif tertentu. Jadi, hubungan kedua ini menunjuk pada hubungan reflektif, yang berarti bahwa hubungan antara kesejarahan dan pemahaman dapat bersifat positif dan dapat juga negatif… Memahami berarti menciptakan makna baru atau menafsirkan sedemikian rupa sehingga tindakan semacam ini akhirnya menjadi bagian dari sejarah atau tradisi yang akan diwariskan untuk generasi mendatang. Hubungan selanjutnya adalah bahwa karena pemahaman itu bersifat historis maka juga bercorak temporal dan mengandaikan suatu proses tertentu”.[7]
Meski pemahaman bunyi dihadirkan lewat pertunjukan dan karya instalasinya, setiap orang berhak menginterpretasi dan berspekulasi tentang bunyi-bunyi yang dipahaminya lewat sejumlah proses penyigian sejarah dan refleksi, barangkali dengan premis-premis atau bentuk yang sepenuhnya berbeda dengan Sahabuddin. Tetapi karya “Bunyi Tana Tiga Masa” mengisi ceruk kekosongan pengetahuan sejarah soal bebunyian yang menjadi ciri khas manusia, terutama orang-orang Mandar.[]
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahinide.
[1] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta: Geng Kabel dan Indie Book Corner, 2016), hal 77.
[2]Yuval Noah Harari, Sapiens, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2017), hal 25.
[3] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta: Geng Kabel dan Indie Book Corner, 2016), hal 76.
[4] Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si, https://uin-malang.ac.id/r/150301/spekulasi-tentang-asal-usul-bahasa.html, diakses pada 14 Mei 2020, pukul 18.56 WIT.
[5] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta: Geng Kabel dan Indie Book Corner, 2016), hal 10.
[6] Muhammad Amir, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/assitalliang-tammajarra-di-mandar-abad-ke-16-oleh-muhammad-amir/, diakses pada 14 Mei 2020, pukul 21.08 WIT.
[7]Agus Darmaji, Dasar-Dasar Ontologis Pemahaman Hermeneutik Hans-Georg Gadamer, (Refleksi, Volume 13, Nomor 4, April 2013), hal 471.