VISUAL di bokong truk selalu menarik perhatian. Lukisan bergaya mooi indie berupa bentang alam seperti gunung atau hamparan persawahan paling jamak menghiasinya, selain lukisan potret tokoh film koboi atau siluet wajah dengan rokok di mulut. Kehadirannya dirayakan menjadi media ekspresi. Di fase ini, supir truk menyandarkan imaji tentang sesuatu yang ideal yang hilang atau tak dapat dijangkau di kehidupan nyata. Namun seiring waktu, fenomena berbentuk gambar yang marak pada dekade 1980 hingga akhir 90-an itu mulai ditinggalkan dan berganti kuasa teks.
Namanya Ruslan, akrab disapa Cullang. Dia teman sepantaran saya yang kini menjadi supir truk. Saya bertanya padanya apa tujuannya membuat tulisan di bokong truk.
“Ya untuk senang-senang saja,” jawab Cullang.
Lalu mengapa bukan gambar? “Susah, ongkosnya banyak dan tidak ada lagi orang yang pandai membuatnya,” jawabnya lagi.
Penuturan berbeda dari supir truk yang saya jumpai lagi makan siang di salah satu warung sop saudara di Pangkep. Menurutnya, tulisan itu adalah tanda untuk mengenal dari mana supir truk itu berada.
“Jika tulisannya menggunakan bahasa Bugis (berhuruf latin) maka itu truk dari daerah (kabupaten) Barru atau Pinrang,” ucapnya.
Gagal sarjana karena masa muda habis di atas roda, salah satu tulisan di bokong truk ini mengingatkan realitas sosial-ekonomi oleh si pemilik truk. Bunyi teks seperti ini tidak pernah dijumpai sebelumnya dan cenderung baru setelah memasuki paruh waktu dekade 2000-an. Tulisan tersebut menjadi tanda bahwa ada impian yang tidak bisa direngkuh dari selembar ijazah yang didapat dari sekolah.
Evolusi gambar menjadi teks menyiratkan adanya pergeseran. Membaca sejumlah tulisan di bokong truk menunjukkan regenerasi orang-orang yang menjadikan truk sebagai jalan profesi. Di antara mereka pernah menempuh jenjang pendidikan hingga tingkat atas (SMA) dan mewarisi truk dari orang tua. Maksudnya tentu melanjutkan profesi yang dulu diemban orang tuanya.
Ini serupa harapan para petani yang bekerja keras agar anak-anaknya menempuh pendidikan agar nantinya bisa mendapat kerja yang lebih layak. Para supir truk juga demikian, mereka menginginkan anak mereka tak lagi menjadi supir truk dan menyandarkannya harapan yang lebih baik di bangku sekolah. Walau kemudian, impian tak semulus realitas. “Jalan ini tak semulus yang kau bayangkan,” ujar salah satu bokong truk.
Mengapa cara pandang seperti itu bekerja di benak masyarakat? Tidakkah tindakan bertani sudah menjawab segala kebutuhan hidup, bahkan menghidupi masyarakat di kota? Relasinya tak bisa lepas dari hegemoni ideologi negara. Dalam kurun waktu yang begitu lama, rezim Orba tunduk di bawah doktrin developmentalisme. Guna menyukseskan agendanya, pranatanya menyisir lini begitu banyak, termasuk pendidikan dan pertanian.
Dalam pendidikan, doktrin link and match adalah skenario lulusan agar hasil pendidikan dapat langsung mengisi pos kerja dalam industri. Sedangkan di dunia pertanian, dikenalkan revolusi hijau yang membabat praktik pertanian komunal dan menyingkirkan petani perempuan karena penggunaan bibit padi hasil rekayasa genetika.[1] Jenis padi endemik ase lapang yang melibatkan petani perempuan masyarakat Bugis di kampung saya tidak lagi ditanam.
Tulisan berupa kredo atau kutipan itu mengandung motif menyampaikan maksud dan ajakan terlibat dalam proses melihat realitas, mengingat variatifnya tulisan di setiap bokong truk. Semesta kegelisahan itu berpijak pada satu tumpuan yang tidak jauh dari apa yang dialami si supir truk. Namun, bisa jadi juga, hal tersebut sebatas bentuk kesepakatan situasi. Supir truk yang satu tidak benar-benar mengalaminya tetapi wujud solidaritas terhadap supir truk lain untuk saling mengabarkan bahwa mereka berada dalam klub yang sama: persamaan nasib. Solidaritas itu juga kerap dijumpai di jalan bila ada truk yang mengalami kerusakan, dari ban bocor atau gangguan lain.
DI SEPANJANG perjalanan pulang pergi Pangkep-Maros, dua kabupaten bertetangga di Sulawesi Selatan sejak 30 November 2019 sampai 20 Mei 2020, sebisa mungkin, saban hari di sepanjang hari-hari itu saya menjepret bokong truk dan memostingnya di Instagram.[2] Total sudah ada 132 gambar.
Memakai prosedur paradigma, maka hal yang hendak dibicarakan dapat dipilih dan dipilah (Thomas S Khun: 1989). Konsep ini tentu tertanam di benak supir truk tentang tulisan yang harus ia pakai di bokong truk mereka.
Moelyono dalam Seni Rupa Penyadaran (Bentang, 1997) menuduh kekuasaan sebagai pangkal dari sentralistiknya seni rupa publik di daerah. Dengan menghadapkan wajah di depan kekuasaan yang terjadi hanya sikap pasif dan menerima. Turunannya berupa instruksional, antara lain pembangunan gapura desa, patung KB, monumen pahlawan, dan sebagainya, sehingga semuanya menjadi tertutup dan menjadi pengantar menuju tafsiran yang seragam. Tidak ada ruang dialog yang menjadi ciri paham sentralisme kekuasaan.
Gejala ini berbeda di bokong truk yang menjadi bagian dari seni rupa publik yang bergerak. Kelebihan ini menjadi ciri khusus. Ia mengantar kegelisahan ke publik di sepanjang jalur yang dilewati. Sadar tidak sadar, supir truk sedang membawa misi perebutan ruang. Berdasar semiotik di tiap bokong truk, maka bisa dipahami saringan kesadaran yang bekerja. Penanda (visual/teks di bokong truk) mengusung misi di balik petanda (konsep).
Selain menjadi media, bokong truk juga merupakan tanda. Pertanyaannya, apakah bokong truk yang dibiarkan kosong dan sebagaimana mulanya (bagian dari struktur keseluruhan truk) bisa dimaknai sebagai tanda. Hal tersebut saya tempatkan bagian pengecualian. Membaca semesta tanda semiotika yang dirumuskan Roland Barthes, saya memahaminya kalau bokong truk itu masihlah keseluruhan struktur truk, artinya tidak menjadi perwakilan dari fungsi yang lain.
Sejauh ini, teks di bokong truk masihlah ruang ekspresi dalam imaji banal supir truk. Belum ada perlawanan dari supir truk yang lain, misalnya, kalau teks itu harus ditiadakan (dilawan) dengan tetap membiarkan kosong karena teks dapat merusak konsentrasi pengendara yang lain dan berakibat kecelakaan di jalan, misalnya.
Tetapi, bagaimana dengan teks di bokong truk milik Pertamina: Awas Kendaran Panjang dan Lebar. Apakah teks seragam ini merupakan instruksional yang seharusnya dipakai oleh semua truk?
Bila memeriksa saksama di mana tulisan bokong truk itu berada, kita bakal sadar bahwa rupanya memang tulisan-tulisan itu diletakkan di tempat khusus (bukan di penutup bak) yakni kanvas penghalang percikan kotoran gilasan ban (agar tak mengotori bagian bawah bak). Artinya berfungsi ganda: melindungi sekaligus media menuliskan teks.
Ini tentu juga satu upaya awal membangun sistem tanda. Jadi tampaknya ada proses menyadari untuk menyebarkan gagasan (dalam hal ini kegelisahan para sopir truk) sesuai fase kesadaran ala Freire. Paulo Freire membagi tiga kesadaran yakni magis, naif, dan kritis. Pertama, kesadaran magis memandang peristiwa dalam takaran wajar dan sudah menjadi takdir. Kedua, kesadaran naif merupakan corak kesadaran mengetahui ada masalah tetapi tidak mampu mengubahnya. Ketiga, kesadaran kritis ketika manusia yang berada di fase kesadaran ini mampu melakukan identifikasi dialektika atas masalah dan mengupayakan perubahan.[3]
Ketiga pola kesadaran itu bisa menjadi pisau bedah dalam menganalisis situasi kesadaran setiap teks di bokong truk. “Andaikan bukan karena angsuran. Saya juga pengen di rumah saja.” Saya tersentak ketika menjumpai truk dengan tulisan tersebut. Ini kelihatannya sebagai respons atas situasi yang tengah terjadi dan baru. Itu ditambah lagi dengan penulisannya bukan di pelindung ban yang selama ini dijadikan media menuliskan kegelisahan, melainkan di terpal penutup bak.
Gorys Keraf dalam Argumentasi dan Narasi (Gramedia, 1985) mengajukan dua metode untuk menguji fakta yang disebutnya konsitensi dan koherensi. Tulisan di bokong truk itu mempertentangkan evidensi narasi pemerintah dengan evidensi yang dialami sekelompok kaum dalam masyarakat. Argumentasi berdiam di rumah dilawan dengan argumentasi angsuran yang perlu dibayar.
DARI SERATUSAN tulisan di bokong truk yang berhasil saya foto, asumsi kesadaran yang dirumuskan Freire menjumpai realitasnya. Bokong truk yang menjadi media para supir truk kebanyakan berputar di kesadaran magis dan naif. Suara di balik teks tidak mengandung tendensi kritis terhadap struktur sosial. Berputar pada pesan moral, seksisme, dan strukturisasi pengalaman personal. Meski begitu, upaya menuliskan kegelisahan atau pesan mereka di bokong truk menunjukkan gejala adanya suara yang tidak terekam dalam narasi media konvensional. Para supir truk menyuarakan paradigma sosialnya dengan caranya sendiri. Mereka menciptakan media untuk diapresiasi oleh publik.
Dalam struktur ekonomi, supir truk berada di posisi distribusi. Sebuah wilayah yang tidak memiliki intervensi menentukan nasib sendiri. Pada umumnya supir truk tidak memiliki persatuan dan masihlah terhitung pekerja informal. Di Sulawesi Selatan, supir truk terbagi ke dalam tiga golongan. Pertama, berstatus sebagai karyawan di perusahaan besar seperti PT Semen Tonasa dan Semen Bosowa. Kedua, bekerja di perusahaan swasta kecil. Status mereka sebagai tenaga kontrak atau lepas. Ketiga, supir truk lepas, mereka memiliki truk sendiri dan mencari muatan sendiri. Beberapa mendaftarkan diri di perusahaan vendor logistik untuk mendapatkan jasa pengangkutan. Nah, supir truk kategori kedua, utamanya yang ketiga, bebas menjadikan bokong truk mereka sebagai media ekspresi kegelisahan.
Merekalah yang tak pernah kita bayangkan apa yang terjadi bila mereka mogok kerja sehari saja. Meski, “Buat kalian yang mengeluh pergi pagi pulang sore. Bagi kami itu hanya debu. Kami pergi pagi tidak tahu kapan pulang.”
Ini sinyal yang dipancarkan para supir truk tentang betapa dalamnya mereka menenggelamkan dirinya dalam dunia kerja. Mereka melintasi jalan trans Sulawesi siang dan malam guna memastikan distribusi barang sampai di tempat tujuan.
Pangkep, April-Juni 2020
F Daus AR, penulis lepas, mengelola penerbitan mandiri Rumah Saraung di Pangkep, Sulawesi Selatan. Bisa disapa di Instagram: @dausfir29
[1] Ulasan lengkap mengenai hal ini, sila simak Mansour Faqih dalam Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar & Insist Press, 2008.
[2] Sila simak di akun Instagram saya: @dausfir29 atau tagar: #truklintassulawesi.
[3] Paolo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LP3S, 2008.