Kami mewawancarai Anwar Jimpe Rachman, Direktur Makassar Biennale, mengenai program pra-event Makassar Biennale 2021 di enam kota, pemilihan subtema Sekapur Sirih, serta upaya-upaya yang selama ini dilakukan Makassar Biennale dalam membangun jaringan dan melebarkan jangkauannya ke publik.
Setelah pelaksanaan Makassar Biennale (MB) 2019 berhasil diselenggarakan di empat kota dan dua provinsi, kali ini MB 2021 melebarkan jangkauannya di enam kota dan tiga provinsi, yaitu Makassar, Parepare, Pangkep, Bulukumba (Sulawesi Selatan), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Nabire (Papua).
Keenam kota itu menjadi bagian program pra-event Makassar Biennale 2021 sebagai titik penelitian utama persiapan MB 2021. Yayasan Makassar Biennale bersama Tanahindie dan Goethe Institut mengadakan sebuah program Pelatihan Penulisan dan Penelitian terkait Subtema Makassar Biennale 2021: Sekapur Sirih. Program ini berlangsung serentak selama tiga bulan (1 September – 30 November 2020) di enam kota.
Apa saja peran Anda di program pra-event Makassar Biennale (MB) 2021?
Peran saya pada dasarnya menjangkau semua apa yang dikerjakan teman-teman. Mulai dari awal sampai akhir, misalnya dari awal itu kita penelitian (kita merancang penelitian), kita bahkan melakukan perekrutan, di bagian itu saya juga membantu teman-teman. Itu tahap pertama. Kemudian setelah mulai berjalan penelitian, saya mendampingi kelas, sekian banyak kelas, baik kelas bersama maupun kelas Makassar, juga kelas offline yang kita lakukan di tiga kota: Parepare, Pangkep, kemudian Bulukumba.
Tugas lain saya tentu saja juga menemani teman-teman dalam kelas itu. Tentu karena selalu kita punya tendensi dan intensi untuk belajar menulis. Pendampingannya mulai dari awal sampai akhir, karena kalau terputus-putus juga teman-teman mungkin agak bingung. Juga sebenarnya karena proses penelitiannya cukup lama, proses program ini lama karena bukan cuma penelitian saja sebenarnya. Lebih luas dalam cakupan belajar bareng, karena kita banyak teman di Makassar menjagai kantor, juga berhubungan dengan teman-teman di lima kota lain. Saya juga membantu untuk…ya kalau dalam istilah program, bahasa proposal: narasumber. Cuma tentu juga tidak bisa sendirian, kita butuh banyak mata, kepala, tangan, kaki, banyak perspektif untuk melihat satu hal yang sedang teman-teman kerjakan.
Kadang ada yang ragu karena saya sulit meyakinkan, kita juga butuh peyakinan dari orang lain misalnya narasumber-narasumber yang kita undang: Nirwan Ahmad Arsuka, Tasrifin Tahara yang memang intens bekerja di dunia antropologi, Ibrahim (Bram) yang memang lama bekerja bareng dengan kita di sini kemudian harus bekerja di Jakarta. Tapi semangat-semangat yang dialami Bram, pengalaman-pengalaman selama di Kampung Buku juga ‘kan penting bahwa niatnya seperti yang diceritakan Bram. Jadi tugas saya mencakup dari semuanya bahkan. Termasuk melihat logika keuanganlah dan segala macam, bagaimana supaya bisa berjalan dengan baik.
Yang menarik bahwa meskipun awalnya di program hanya 5 kota, tapi kita selalu punya harapan pelibatan dengan lebih banyak orang. Kita kemudian sepakat dengan kawan-kawan di Pangkep, kemudian itu juga yang mengharuskan ada intervensi dari segi manajemen, terutama keuangan, bagaimana berbagi sumber daya mengenai 6 kota, bukan cuma 5 kota dari skenario awal.
Kenapa memilih model kelas pelatihan penulisan dan penelitian sebagai program pra-event MB 2021?
Menurut saya seni rupa Makassar itu tidak banyak datanya. Banyak dunia seni kita hanya kita lihat di permukaan. Jadi hanya ditampilkan, yang kita nikmati itu hanya di panggung sementara memang intensinya Makassar Biennale selalu mencoba berbeda. Dalam artian kita sudah ketinggalan jauh dari skena yang sudah berlangsung di Jawa terutama. Kalau kita mau bandingkan diri misalnya dengan Biennale yang lain, Jogja dan Jakarta, bagi saya kita tidak punya pembeda di antara mereka. Teman-teman ada banyak talenta dan individu maupun kelompok yang saya kira kalau berkarya kalau bisa empat jempol naik, empat jempol. Nah, di Makassar atau kalau mau lebih luas skala Makassar dan sekitarnya, misalnya Indonesia Timur itu yang belum tampak.
Tapi menurut saya juga bahwa Makassar Biennale karena kesadaran akan ketertinggalan bagaimana skena yang berlangsung di Indonesia pada umumnya, kita juga harus mencari cara lain atau jalan lain. Jalan lainnya adalah menjadikan Makassar Biennale sebagai sekolah informal untuk teman-teman mengerti atau mengalami bagaimana seni rupa dikerjakan dari awal, bagaimana repotnya, bahkan hanya di segi penelitian teman-teman sudah kerepotan, apalagi di segi yang lain. Nah, lapisan-lapisan ini sebenarnya yang kosong di dunia seni rupa Makassar dan sekitarnya. Tidak usah kita sebut Makassar, Sulawesi Selatan, bagian itu yang masih menurut saya banyak ‘bolongnya’. Itu yang coba kita isi terus menerus dengan pola ini. Adapun nanti misalnya kalau hasil penelitiannya teman-teman direspons oleh seniman, itu lebih baik lagi. Tapi intinya adalah menyediakan apa yang belum tersedia, itu yang paling penting dikerjakan di Makassar Biennale.
Apa yang belum tersedia? Penelitian-penelitian. Bahkan keterhubungan sebenarnya antara warga dengan seniman itu juga yang harus kita kerjakan, karena tanpa itu ekosistem tidak akan berjalan. Tanpa itu orang tidak mengerti, warga biasa tidak mengerti seni rupa apa. Mungkin juga seniman tidak mengerti apa yang berlangsung di warga biasa. Itu yang coba kita kerjakan selama ini. Dari 2017 atau mungkin kalau kita bisa bilang dari 2019 sampai tahun depan mungkin. Kita belum bisa berharap banyak misalnya apakah Makassar Biennale harus seperti biennale yang lain? Saya orang yang pertama akan bilang: kita harus berbeda. Dalam model yang bagaimana? Mari kita lihat dan mari kita kerjakan! Itu intinya.
“Tapi menurut saya juga bahwa Makassar Biennale karena kesadaran akan ketertinggalan bagaimana skena yang berlangsung di Indonesia pada umumnya, kita juga harus mencari cara lain atau jalan lain.”
Kenapa memilih subtema Sekapur Sirih untuk MB 2021? Apa yang sebenarnya ingin dibahas oleh MB?
Sebenarnya karena Makassar Biennale itu punya kredo. Tim manajemen Makassar Biennale sejak 2019 selalu menganggap bahwa seni rupa bisa juga menjadi jalan keluar. Kenapa seperti itu? Karena ada banyak hal yang mulai tampak kelihatannya persoalan masyarakat tidak banyak lagi bisa di… LSM atau NGO atau apa pun jenisnya, persoalan-persoalan masyarakat tidak seperti dulu modelnya. Tidak seperti cara mereka… bukan bekerja sebenarnya, tapi lebih ke mereka tidak mampu menjangkau penyelesaiannya karena berbeda situasi politik.
Dulu misalnya NGO pada zaman sebelum reformasi dia bisa membantu masyarakat untuk menyelesaikan persoalan bahkan menyampaikan gagasan atau pendapat. Sekarang bahkan musuh kita sendiri adalah masyarakat, karena ada ormas-ormas yang dibentuk mungkin oleh negara atau aparat, kita tidak pernah tahu soal itu. Kemudian itu yang menjadi batu pertama yang menjadi benturan kita ketika misalnya harus mengupayakan jalan keluar, warga berdemo yang menghadapi adalah ormas bukan aparat. Tidak seperti reformasi dulu.
Nah, kembali ke seni rupa. Seni rupa menurut saya sangat berpontensi besar untuk itu. Kenapa? Tidak semua orang bisa berbicara, tidak semua juga orang bisa menulis, tapi dalam seni rupa (dalam kerangka seni rupa), masyarakat semua bisa menggambarkan sesuatu melalui garis, menggunakan bentuk, semua orang bisa. Tapi menurut saya potensi seni rupa itu besar sekali untuk menjadi jalan keluar bagi warga untuk menyatakan sikapnya, gagasannya, pendapatnya, maupun impiannya.
Kemudian kita kembali, kenapa subtema Sekapur Sirih kita ambil? Itu banyak momentum sebenarnya. Terutama momentum besarnya adalah Covid. Tapi subtema ini sempat terpikir oleh saya di tahun 2017 setelah dicanangkan Maritim bahwa metode pengobatan banyak sekali tersimpan di lokus tertentu saja, misalnya keluarga. Bagaimana kalau ini disebar? Dan ternyata memang bahwa resep-resep obat-obatan itu memang penting disebar di zaman ketika Covid menghantam dunia. Bagi saya penting. Karena resep bukan praktik pengobatan modern yang jauh dari logika maupun praktik yang selama ini dialami oleh masyarakat Indonesia.
Warisan masyarakat Indonesia yang begitu melimpah dan tidak terbatas itu yang menurut saya penting disebar. Kenapa harus kita sebar? Supaya sebenarnya masyarakat tidak bergantung pada mekanisme-mekanisme dan proses modern yang menurut saya sering meminggirkan masyarakat, misalnya dalam prosesnya kita butuh antre, kita butuh biaya. Padahal tanaman-tanaman itu sebenarnya ada di halaman rumah.
Kenapa itu tidak diubah? Kita terlalu jauh melihat sesuatu padahal yang dekat-dekat sudah tidak kelihatan, dan orang akan bilang itu penyadaran? Saya tidak tahu, tapi intinya adalah bagaimana ini warisan-warisan dimunculkan ulang kemudian menjadi penting bagi kita semua, tidak perlu ke dokter. Ada waktu tertentu memang kita harus ke dokter, tapi menurut saya untuk sakit-sakit masih bisa ditangani dengan yang tersedia di halaman atau di sekitar rumah kita: pekarangan dan kebun, bahkan di hutan yang ada di belakang rumah kita.
“Kenapa subtema Sekapur Sirih kita ambil? Itu banyak momentum sebenarnya. Terutama momentum besarnya adalah Covid. Tapi subtema ini sempat terpikir oleh saya di tahun 2017 setelah dicanangkan Maritim bahwa metode pengobatan banyak sekali tersimpan di lokus tertentu saja, misalnya keluarga.”
Dengan model penyelenggaraan di enam kota, apa sebenarnya yang diharapkan atau ingin dicapai oleh MB?
Sebenarnya banyak tujuannya. Tujuan pertama adalah membangun jaringan. Teman-teman yang kita tahu misalnya negara kita bentuknya kepulauan, apalagi di Indonesia Timur yang pulaunya kecil-kecil, jaraknya jauh, jarak tempuhnya jauh, infrastruktur perhubungan juga mungkin masih sebagian besar model perhubungan rakyat. Jadi tentu soal mobilitas manusia maupun gagasannya menjadi lama. Itu berbeda misalnya kalau yang berlangsung di Indonesia Barat, kerena kepulauannya cenderung padat, titiknya terhubung hanya dengan naik bus, naik kereta, atau naik motor bahkan. Di Indonesia Timur, hal seperti itu kita harus pakai kapal atau pesawat yang memang biayanya besar.
Nah, keadaan-keadaan ini menurut saya sangat berpengaruh pada dinamika yang berlangsung pada dunia seni rupa di Indonesia Timur. Mengharuskan kita berupaya lebih. Caranya bagaimana? Ya, mungkin yang kita lakukan sekarang di Makassar Biennale menghubungkan kota-kota yang ada sekarang, misalnya enam kota itu adalah upaya yang sementara paling memungkinkan untuk kita upayakan. Kita melakukan sesuatu kemudian dikerjakan bersama. Bukan ada yang bawahan, ada yang atasan. Ruangnya sama-sama dibagi, jaringannya sama-sama dibagi. Jadi memungkinkan untuk teman-teman juga memberdayakan diri. Intinya bahwa ada momentum kita pakai bersama, ruangnya kita pakai bersama, jaringannya kita pakai bersama, bahkan dananya bisa kita pakai bersama. Ayo kita kerjakan! Itu tujuan pertama.
Tujuan kedua adalah sebenarnya saya merasa bahwa Makassar sebagai ibukota ekonomi-politik. Beban itu sepertinya otomatis ada beban sebagai ibukota kebudayaan. Pada faktanya di Makassar itu, perkembangan seni rupa bisa dibilang kalau menghitung dari intensitas pameran, itu kecil. Jadi saya kemudian berpikir bahwa, kalau intensitas pameran kecil, ruang dialog menjadi kecil. Apalagi dengan kenyataan misalnya tidak begitu banyak media bisa menampung tulisan-tulisan tentang seni rupa. Bahkan kalau pun ada tulisan tentang seni rupa itu tidak banyak.
Fakta yang mengagetkan banyak orang kemudian bahwa ada satu koran dulu pernah menutup halaman budaya hanya karena meladeni permintaan para seniman, tapi kemudian itu ditutup karena tidak ada yang intens menulis. Artinya apa? Kita tidak bisa berharap banyak dari dinamika yang berlangsung di Makassar. Beban-beban ini menurut saya tertampun di Makassar. Kita sebagai orang Makassar kemudian kelihatannya sadari itu. Mestinya menghilangkan beban itu dan menyebarnya ke teman-teman bahwa kita punya tanggung jawab masing-masing untuk membentuk skena sendiri di kota-kota yang lain selain Makassar. Kalau pun Makassar, ya mungkin hanya membantu menyebar ke jaringan. Beban itu yang ingin kita hilangkan bahwa jangan sampai hanya mengandalkan Makassar, sementara yang mau diandalkan itu belum bisa diandalkan.
Jadi intinya bebannya harus dibagi ke banyak kota supaya memudahkan orang menjangkau. Mari kita sebut itu panggung, mari kita sebut itu ruang untuk menampilkan dirinya. Jadi lewat pendampingan-pendampingan misalnya dengan banyak kota, di tiap kota, di tiap titik, itu sangat memungkinkan bahwa dinamika itu bisa dikejar. Ada banyak orang bisa terikat apa yang berlangsung di tiap titik, di tiap kota mereka berproses dan belajar apa yang harus dilakukan terutama mengaitkan dunia seni rupa dengan konteks masing-masing yang tentu saja berbeda-beda. Menghilangkan beban kota Makassar itu yang terutama menurut saya penting dilakukan. Kalau tidak, kita akan terus menerus ‘dengan cara ini’, cara yang sebelum-sebelumnya.
Ya, menyenangkan dari refleksi misalnya teman-teman, mereka bisa berjejaring langsung. Contoh MB 2019, mereka bisa berjejaring langsung dengan banyak seniman. Teman-teman Forum Lenteng di Jakarta, seperti yang di Bulukumba ketika beresidensi Pingkan, dan Fan Chon dari Penang langsung ke Bulukumba tidak lagi di Makassar. Itu bagi teman-teman di Bulukumba sangat menyenangkan. Bahkan saya bilang, itu menguatkan keyakinan mereka bahwa ternyata kita bisa melakukan ini tanpa bantuan Makassar. Tanpa perlu harus ke Makassar dulu, kemudian harus kembali ke Bulukumba. Langsung dari Jakarta singgah di Makassar kemudian ke Bulukumba. Makassar hanya transit, itu pun dari segi transportasi. Kalau melihat teman-teman antusiasmenya itu besar sekali.
Mereka makin yakin setelah 2019, setahun kemudian mereka mengerjakan proyek seperti ini makin yakin bahwa ‘kita harus bikin lagi’. Ini menarik, ketika 2019 mereka bercermin bahwa banyak orang yang baru sadar bahwa Biennale tidak ‘seangker’ yang mereka kira. Itu bagi saya menarik. Teman-teman di Bulukumba juga mereka merasa kalau istilah orang Bugis kayak dipakalebbi, sipakatau. Ketika teman-teman seniman dari kota lain yang datang ke Bulukumba, mereka merasa bahwa ini pentingnya cara ini. Karena kalau cara lama dipakai, kita tidak bakal dapat hubungan personal, manusia ke manusia kalau MB dilakukan di Makassar. Ketika ada kesempatan, mereka menemani teman-teman beresidensi bahkan menjadi tuan rumah, mereka akan saling belajar bareng.
Berbicara soal tantangan, bagaimana Anda melihat itu sejauh ini (menuju pelaksanaan MB 2021)?
Kalau tantangan-tantangan menurut saya lebih ke tantangan di tiap kota. Maksud saya, di tiap kota itu lebih kecilnya lagi individu yang ada di kota. Apakah mereka hanya berhenti belajar sampai di sini atau ingin belajar lebih jauh lagi? Tantangannya di situ sebenarnya. Bukan hanya tantangan soal infrastruktur, bukan sama sekali. Tantangannya lebih kepada individu-individu yang ada di tiap kota. Dia masih mau lanjut atau tidak, kita belum tahu. Tapi dari segi cara bekerja itu menurut saya teman-teman menapaki anak tangga berikutnya. Jadi ada pendewasaan, pemahaman makin besar tentang kondisi mereka sendiri, maupun kondisi di sekitar mereka, juga cara bekerja bagaimana berhubungan dan berjejaring dengan banyak kota dengan banyak orang. Itu yang penting menurut saya.
“Tantangannya lebih kepada individu-individu yang ada di tiap kota. Dia masih mau lanjut atau tidak, kita belum tahu. Tapi dari segi cara bekerja itu menurut saya teman-teman menapaki anak tangga berikutnya.”
Bagaimana Anda melihat progres MB dari 2017 hingga pada program pra-event menuju MB 2021 ini?
Kalau membandingkan 2019 skala pra-event, karena 2017 kita tidak melakukan ini sebenarnya, 2017 itu seperti sedang belajar manajemen. Sampai sekarang pun belajar manajemennya. Tapi kalau membandingkan 2019 dengan 2020 pra-event ini menurut saya perkembangannya jauh lebih kuat. Kalau perbedaan Makassar Biennale 2019 dengan Makassar Biennale 2020 (pra-event), yang pertama itu berkembang kotanya, berkembang provinsi, dulu cuma dua provinsi, sekarang tiga, berjauhan malah. Ada di Nabire (Papua), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).
Dulu 2019 hanya di Sulawesi Barat, jadi perjalanan darat. Kali ini lebih menantang, karena tidak semua juga kita tahu soal Labuan Bajo, yang belakangan baru di-blowup, terutama oleh pemerintah sebagai destinasi wisata. Apalagi Nabire, di politik Indonesia, Papua saya kira selalu anak tiri dan tidak dikenal. Menurut saya yang menarik ketika teman-teman penelitian di Nabire ada tiga tulisan yang saya baca dari Nabire bagi saya secara pribadi itu menakjubkan. Menakjubkannya karena ada banyak hal yang memang lagi-lagi saya tegaskan, banyak yang kita tidak tahu tentang Papua.
Tumbuhannya pun bahkan kita tidak tahu warga setempat memperlakukan tumbuhan sebagai obat-obatan, bagi saya itu menarik. Ya, tentu ketika membaca tulisannya teman-teman Fauzan, Nomen, maupun Manfred, ada banyak hal yang bisa kita baca di dalamnya. Bukan cuma tumbuh-tumbuhannya. Tapi cara masyarakat bersosialisasi, bagaimana mengatasi dan bersiasat terhadap hidup, menurut saya itu yang menarik. Tentu sekali lagi menegaskan bahwa dinamika atau situasi di tiap tempat selalu berbeda-beda, unik, menarik warganya, spesifik.
Tahun 2019-2020 bukan hanya berkembang dari empat kota kemudian menjadi enam kota di 2020, tapi teman-teman di tiap kota mulai seperti menapaki anak tangga yang berikutnya. Mereka bukan hanya bekerja di komunitas dan menghubungkan komunitas-komunitas maupun individu yang potensial untuk mengerjakan Makassar Biennale di tiap kota, tapi juga kemudian mereka mengerjakan pekerjaan yang senyap, pekerjaan meneliti dan menulis. Menurut saya itu perkembangan yang sangat bagus karena meneliti dan menulis bisa membantu kita semua memetakan persoalan, lebih hati-hati dalam banyak hal. Karena tanpa mata peneliti maupun mata penulis, kita sering membuat judgment yang tidak perlu, bahkan mubazir. Akhirnya juga agenda yang dilakukan menjadi mubazir karena tidak perlu. Bahkan salah sasaran, salah kira, apalagi tahun depan, tadi saya bilang tantangannya menjadi kecil, bukan sombong, tetapi lebih bahwa cara bekerja 2019 terkonfirmasi di 2020. Tidak mudah cara bekerja Makassar Biennale karena ada upaya melepaskan begitu banyak hal soal keputusan.
Jadi Makassar Biennale ketika teman-teman menyebut tahun-tahun sebelumnya adalah seperti membawa model Makassar Biennale di Makassar ke daerah lain itu ternyata keliru. Mereka bisa mengerjakan masing-masing dengan otonomi masing-masing, dengan cara bekerja masing-masing, dengan potensi dan sumber daya masing-masing. Kemudian mereka kerjakan tanpa ada intervensi dari Makassar, itu bagi saya perkembangan menarik. Karena cikal bakal 2019 mereka sudah lakukan dan makin diperkuat dengan penelitian dan penulisan. Saya makin berani bilang bahwa tantangannya menjadi kecil.
Apa harapan Anda dari program pra-event ini, terutama terkait temuan-temuan tim di tiap kota?
Saya (kita) berharap nanti semua temuan-temuannya teman-teman yang sudah ditulis di website maupun di buku itu disebarkan sedemikian rupa. Karena tujuan program ini sebenarnya untuk kita menjadi bagian/mencoba berkontribusi terhadap masalah-masalah yang kita hadapi sekarang, masalah yang dihadapi masyarakat. Soal pengobatan, karena khusus pengobatan yang kita teliti sekarang, saya kira itu penting untuk menyebarnya dengan segala banyak cara.
Misalnya teman-teman karena kita mungkin akan kirim ke perpustakaan-perpustakaan di enam kota, sebisa kami, mungkin ada cara teman-teman di enam kota ini memikirkan bagaimana mendistribusikan ulang apa yang sudah teman-teman dapat dari pengalaman di lapangan dan mewawancarai banyak warga terkait pengobatan warisan nenek moyang. Cara itu saya kira mungkin yang paling penting sekarang kita kerjakan. Mengingat Covid belum reda, cara itu yang harus kita kerjakan mulai sekarang.
(Pertanyaan dari salah satu peserta program Menghambur Menyigi Sekapur Sirih).
Bagaimana cara seorang peneliti dapat meyakinkan narasumbernya bahwa informasi mereka itu penting?
Dalih, alasan, atau apa pun namanya untuk meyakinkan itu tergantung ‘kalian’ sebenarnya. Amunisimu apa? Kamu tahu tentang apa soal inferior dan superior. Bagaimana ini dibuat menjadi konteks yang besar. Menurut saya itu. Kalau kita bicara inferior dan superior kita akan bicara politik. Konstelasi politik ini, bisa tidak teman-teman bagian itu diberi pemahaman dulu. Termasuk yang sering saya bilang, dikotomi antara warga biasa dan yang disebut ahli menurut saya itu makin kabur. Tapi yang aneh adalah sekarang, orang masih terus menegaskan itu. Masih ditegaskan siapa yang lebih ahli? Siapa yang bisa meragukan orang yang melakoni pengobatan tiga puluh tahun, empat puluh tahun, sampai dia meninggal, itu bukan ahli? Jadi semata-mata ini kayak modifikasi dari yang namanya sekolah. Yang tidak sekolah itu berarti tidak layak? Menurut saya layak. Soalnya adalah bagaimana ini disebarkan, bagaimana ini kita menghargai dalam bentuk misalnya yang paling pantas kita lakukan sebagai peneliti atau penulis adalah mengutipnya sebaik-baiknya, itu sudah cukup. Tidak membelok-belokkan.
Susah meyakinkan orang kalau amunisi soal kita, konstelasi politik, dikotomi itu semua, dan sebagainya, tentang post-kolonial maupun kolonial kalau kita tidak punya gambaran soal itu. karena sudah akut penyakit inferioritas ini di desa, itu yang mesti kita bantu. Saya kira dibukukan juga sebagai suatu cara kita agar itu layak-kutip, sesimpel itu sebenarnya. Ini soal mereproduksi pengetahuan.
Kerja-kerja website itu kerja-kerja cepat. Tapi kerja-kerja buku itu kerja-kerja lambat. Saya kira itu juga kita harus terus belajar tradisi itu, kerja cepat dan lambat. Menurut saya juga lebih enak dalam bentuk buku dibaca, ketimbang misalnya ada banyak orang nyaman dalam bentuk buku, ada juga yang nyaman dalam bentuk digital. Ya tentu, mencetak buku itu terbatas, butuh biaya besar dan proses yang lama, itu juga bisa ditutupi lewat website. Jadi kemampuan satu hal ditutupi oleh kemampuan yang lain. Begitu juga sebaliknya. Ketidaktahanan kita membaca di website bisa ditakar dan ditawar sama buku. Jadi sebenarnya kerja-kerja yang saling mengisi. Bukan berarti bahwa lebih cepat kalau website, menurut saya soal jangkauan juga. Meskipun teknologi sekarang berkembang menurut orang, tapi di banyak tempat itu tidak memadai, kita upayakan dengan semaksimal-maksimalnya. Misalnya buku yang terbit kita bagi keenam kota, separuh kita simpan untuk fundraising. Kita sebar keenam kota lewat komunitas dan perpustakaan. Jadi menurut saya memungkinkan untuk tersebar ke banyak orang. Itu yang paling mungkin kita bisa upayakan.[]
Catatan: Simak pula versi rekaman audionya melalui podcast art.e.fact episode “Bincang Sekapur Sirih bersama Anwar Jimpe Rachman”.