Sore 4 September 2021 lalu, berlangsung bincang buku “Asa di Selimut Duka” bersama Abdul Masli, penulisnya. Perbincangan ini diawali dengan latar belakang proses penerbitan buku tersebut. Si penulis bercerita bahwa sebetulnya dia tidak pernah punya proyeksi bahwa kumpulan catatan-catatan personalnya yang ia tulis di buku catatan dan media sosial Instagram bisa diterbitkan jadi buku. Salah satu pemicunya adalah pandemi covid-19. Tatkala pagebluk berlangsung dengan sangat cepat di kota, dia harus pulang ke kampungnya yang berada di Desa Manyamba, Kecamatan Tammerodo Sendana, Kabupaten Majene. Masli yang gemar bersepeda ke berbagai kota dan kabupaten ini mau tidak mau harus terkurung di kampungnya yang berada di kaki gunung. Ia bingung harus melakukan apa, ditambah lagi, gawainya rusak.
Rangkaian kondisi ini membuat Masli mengalami “guncangan budaya”. Selama ini, ia tidak pernah tinggal dalam jangka waktu yang lama di kampung. Sejak Sekolah Dasar hingga kuliah, ia selalu bersekolah di kota dan kabupaten lain. Meskipun Masli mengaku gemar membawa membaca buku-buku kajian pedesaan, rupanya tidak sejalan dengan kenyataan yang ia alami di kampung. Akhirnya, Masli pelan-pelan belajar beradaptasi dengan kampungnya lewat bertani. Katanya, “Saya belajar membersihkan lahan, menyemai, membersihkan kebun, hingga memanen dan mengeringkan kacang hijau yang saya tanam sendiri. Dari kecil sih sering liat dan bantu orang tua saja, tapi melakukan semua rangkaian bertani adalah pengalaman pertama”.
Dalam sesi bincang sore di halaman Artmosphere Studio ini, perwakilan dari Subaltern, penerbit buku Asa di Selimut Duka juga turut hadir. Subaltern tertarik menerbitkan buku ini karena tulisan-tulisan di buku ini yang katanya bersifat “reflektif”. Masli menyajikan catatan personal tentang rangkaian peristiwa duka yang ia alami dengan tetap menyisipkan asa yang membuat kita bisa optimis dan tidak melulu melihat duka sebagai kesedihan ─ tragedi.
Buku yang terbit pada Juli 2021 ini tidak hanya menyajikan pengalaman personal Masli bertahan menghadapi pandemi, tapi juga catatan perjumpaannya dengan para penyintas Gempa Bumi di Majene, Sulawesi Barat awal 2020 lalu. Waktu itu, Masli turut menjadi relawan disana. Dalam satu tulisannya yang menjadi judul buku ini, Asa di Selimut Duka, Masli menceritakan rentetan pengalamannya berjumpa dengan para penyintas yang katanya masih terus berusaha ‘cukup’ dengan bahan makanan dan kebutuhan air yang mereka punya. “Bahkan ibu-ibu di banyak posko di sana masih berusaha menjamu kami dengan kopi, teh dan kue-kue, padahal mereka justru yang membutuhkan banyak bantuan.Tapi mereka masih terus berusaha bersikap ramah kepada para relawan”.
Masli mencukupkan pernyataannya dan moderator memberikan kesempatan pada peserta diskusi untuk bertanya. Salah satu peserta, Arif Daeng Rate, memberi tanggapan. Daeng Rate membuka pernyataannya dengan klaim bahwa dia belum membaca buku ini. Tapi, dari pengalamannya mendengar Masli bercerita, ia tertarik dengan apa yang melatari si penulis bisa ‘serajin’ itu mengumpulkan dan menuliskan catatan-catatannya hingga jadi buku.
Masli menjawab bahwa ini dipengaruhi dari latar belakang pendidikan formalnya di jurusan Antropologi, kegemarannya menulis sejak masih sekolah, hingga kesadaran bahwa ia perlu mendokumentasikan perasaan dan situasi detail yang pernah ia dan orang-orang di sekitarnya alami. “Dalam tulisan saya tentang gempa di Majene, saya mewawancarai teman-teman sesama relawan saya satu per satu, lalu saya menyusun dan menuliskannya. Bagi saya ini penting dilakukan karena tidak semua teman saya bisa menuliskannya dan bagi saya apa yang mereka lakukan harus diarsipkan,”. Ia menambahkan bahwa ia bersemangat menulis untuk bisa memberikan narasi alternatif tentang apa yang sebetulnya terjadi, biar para pembaca punya perbandingan. Tidak melulu dari narasi yang dibangun media sosial dan media mainstream.
Diskusi buku sore ini terasa hangat dan intim. Meskipun pesertanya kurang dari 15 orang, obrolan mengalir dan merembes kemana-mana, tidak lagi hanya fokus ke bukunya, tapi juga ke obrolan-obrolan lain. Bagi saya, ini justru menarik bahwa, buku tidak hanya membuat pembaca fokus ke isinya, di banyak kesempatan lain buku justru jadi metode yang memicu munculnya informasi-informasi baru.
Diskusi buku Asa di Selimut Duka dicukupkan oleh moderator sembari diiringi rintik gerimis hujan yang perlahan turun.[]
Wilda Yanti Salam, tim Makassar Biennale 2021