Jika selama ini kita mengenal Runi “Viny” Mamonto sebagai pemusik, di gelaran Makassar Biennale 2021 di Makassar, Viny justru bertumbuh menjadi seniman rupa lewat karya berjudul Isi Piringku.
Viny adalah satu dari tiga perempuan yang terpilih menjadi seniman residensi pada gelaran MB 2021 di Makassar. Bersama Ekbess dan Hirah Sanada, Viny menjalani proses residensi seniman selama dua minggu hingga melahirkan karya rupanya tersebut.
Dalam sesi Wicara Seniman bersama Viny, 9 September 2021 lalu, Ia bercerita tentang perbedaan keterlibatannya ketika bermain dalam seni musik dan seni rupa,“Ketika saya bermain musik, saya berada di depan–panggung dan menjadi bagian dari presentasi karya berupa lagu yang saya bawakan, sedangkan ketika saya memamerkan karya rupa, dalam konteks ini Isi Piringku, saya justru mundur ke belakang dan membiarkan karya itu dialami oleh orang-orang tanpa kehadiran saya secara fisik saat itu”, jelasnya.
Karya Isi Piringku disajikan dalam bentuk instalasi yang terdiri dari: Kompor, Wajan, Panci, Sodek, Sendok, Garpu, Gelas, Mangkuk, Piring, Talenan, Ulekan, Parutan, mic condenser Behringer C1, Audio Intervest Zoom R16, dan Cubase. Melalui Aneka perkakas dapur tersebut, Viny mencoba menyajikan kesempatan bagi para pengunjung untuk memasak bunyinya masing-masing. Memainkan alat masak, sebagai alat musik.
Selain karena senang bermain musik, pemilihan alat-alat dapur sebagai sumber beragam bunyi juga didasari oleh dapur sebagai ruang yang selama ini selalu “terbelakang” atau lebih tepatnya “dibelakangkan”. Dapur erat kaitannya dengan perempuan, dan bagi Viny tidak semua perempuan itu ingin di dapur. Ada perempuan yang memang senang berada di dapur, dan secara sadar memutuskan untuk berada di sana, tapi, ada juga perempuan yang “harus” berada di dapur, meskipun barangkali ia tidak menginginkannya.
Misalnya saja yang mungkin sebagian dari perempuan remaja mengalami; saat kita masih kecil dan tertarik berada di dapur, orang tua meminta kita pergi untuk bermain dengan teman-teman saja, karena mereka khawatir kita mengacaukan resep atau bikin gaduh. Padahal tanpa disadari kita sebenarnya belajar membelakangi dapur. Tapi pada saat kita sudah beranjak remaja, kita diajak oleh ibu kita membantunya membuat kue, padahal bisa jadi kita lebih ingin bermain bersama teman-teman sebaya kita. Ditambah lagi saat sudah dewasa dan kita perempuan, dapur seperti jadi ruang yang diserahkan sepenuhnya kepada kita.
Padahal, membicarakan dapur berarti membicarakan tentang sumber kehidupan. Ruang tempat seluruh bahan makanan yang menghidupi tubuh kita diolah–diramu–dimasak. Sehingga, benar pernyataan Fitriani “Piyo”, kurator MB 2021 yang memoderasi sesi Viny bahwa; memasak dan urusan dapur itu adalah skill yang harus dipunyai setiap manusia agar bisa bertahan hidup, bukan cuma tanggungan perempuan.
Untuk pemilihan judul Isi Piringku sendiri didasari oleh pengalaman personal yang dialami Viny pasca melahirkan. Saat masih hamil, ia memiliki ambeien sebesar biji jagung, lalu ketika melahirkan secara pervaginam, ambeiennya membesar seperti bola pimpong dan mengganas, ini diduga karena dorongan kuat yang lakukan saat proses persalinan. Menderita kesakitan yang berkali-kali lipat karena ambeien inilah yang membuatnya harus mengganti isi piringnya. Meskipun kegiatan makan adalah kegemarannya, ambeien membuatnya harus belajar perlahan-lahan mengatur jenis, bentuk, rasa, aroma dari apa saja yang tersaji di piringnya agar tubuhnya bisa memulihkan sakitnya sendiri.
Saat masa nifas, Viny bahkan mencari di internet dulu kandungan dari berbagai bahan makanan yang akan ia masak dan konsumsi. Misalnya saja, apa kandungan yang ada di dalam kangkung dan daun pepaya, dua menu wajib di rumah Viny, “Jadi pas makan, saya tidak cuma memikirkan ini sayur apa, atau rasanya seperti apa, tapi saya justru membayangkan vitamin/kandungan dari yang saya makan”. Fitriani “Piyo” merespons bahwa apa yang dilakukan oleh Viny itu adalah bentuk dari mindfulness (berkesadaran penuh).
Namun rupanya bagi Viny, mindfulness dan hubungannya dengan isi piring kita adalah sesuatu yang berlapis. Beberapa di antaranya adalah lapis kesadaran terhadap pemilihan bahan yang akan dimasak; kesadaran memilih membeli makanan dari teman; kesadaran membeli di waralaba atau supermarket dan lapisan kesadaran lainnya. Bagi ibu satu anak ini, isi piring bukan hanya persoalan kandungan gizi dan rasa, tapi adalah bentuk pilihan politik kita juga.
Obrolan sesi Viny yang berlangsung di dalam toko Kampung Buku Ininnawa ini berlangsung hangat dan intim. Ekhy, seorang peserta wicara menyumbang pernyataan bahwa persoalan sebenarnya yang dihadapi orang-orang yang hidup di perkotaan adalah lahan yang terbatas dan bahkan tidak sedikit pun yang bisa ditanami, persoalan lanjutannya adalah ‘sistem’ yang membuat kita tidak bisa mengontrol apa-apa yang kita konsumsi.
Menjawab ini, Viny menyebut bahwa dia, ataupun banyak di antara kita memang harus hidup dalam ironi, “Sederhananya saja tentang minyak sawit, meskipun saya menentang pohon-pohon kelapa sawit terus ditanam, saya tidak bisa memisahkan dapur saya dari minyak sawit”. Ia melanjutkan bahwa semasa kecil ketika masih tinggal di kampungnya yang berada di Sulawesi Utara, saat musim kopra tiba, aromanya yang dijemur di sepanjang jalan memenuhi udara, namun ketika pohon kelapa sudah digantikan oleh tanaman sawit, dan minyak kelapa mulai digantikan minyak sawit, tidak ada lagi aroma dari jemuran kopra yang ia hirup saat pulang kampung.
Perbincangan sore hari itu terus mengalir sampai pada betapa dilematisnya jika kita ingin belajar memakan makanan yang sehat. Contohnya saja harga produk-produk dengan klaim alami dan organik yang cenderung lebih mahal dibandingkan dengan produk produksi pabrikan.
Kembali pada pilihan-pilihan sadar terhadap apa saja yang ada dalam isi piring kita, sesi ini memberikan saya satu kalimat baru bahwa: apa yang kita makan tergantung dari daya beli kita. Dan definisi enak dan tidak enak itu sangat subjektif sifatnya, tergantung dari pengetahuan kita tentang bahan, masakan–sajian dalam piring kita.
Sehingga, alih alih hanya menggambarkan upaya untuk membawa bunyi-bunyian dari alat masak guna menjadi alat musik, instalasi Isi Piringku bisa dimaknai sebagai satu upaya untuk menyatakan bahwa: dapur pun adalah panggung itu sendiri. Panggung bagi perempuan yang “harus” berada di sana untuk bisa berdaya melalui pemosisian dirinya sendiri. Dapur adalah panggung yang memberikan kesempatan yang sama untuk setiap orang menampilkan dirinya melalui apa yang ia olah, racik, dan sajikan dalam isi piringnya masing-masing.
Wilda Yanti Salam, tim kerja Makassar Biennale 2021