Malam itu, pada senin 18 Oktober, ruang galeri pameran Makassar Biennale (MB) 2021 Labuan Bajo tampak ramai. Terlihat para pengunjung tengah duduk bersilang melingkari isi ruangan galeri. Ini menandakan acara wicara seniman akan dimulai. Eka dari Komunitas Kahe Maumere memandu acara hingga akhir. Di sebelah Eka sudah ada Saddam Husen, Megs (Komunitas Kahe), dan Gojali. Ketiganya tengah siap untuk membagikan pengalaman dan prosesnya dalam menghasilkan karya yang dipamerkan dalam gelaran MB 2021 di Labuan Bajo.
Acara pun dimulai dengan cerita Gojali yang tidak mengira akan terlibat langsung dalam pameran MB Labuan Bajo. Berkat ajakan dari Saddam Husen dan Aden Firman (Koordinator tim kerja MB Labuan Bajo), Gojali akhirnya menerima tawaran mereka. “Saya suka dengan jiwa semangat mereka dan saya ingin mendukung juga mendorong mereka berdua makanya saya mau terlibat”, ucap Gojali ketika ditanya alasannya ikut terlibat dalam pameran ini.
Dalam mengerjakan karyanya, Gojali tak sendiri. Ia dibantu oleh Saddam. Pemuda pesisir yang aktivitas kesehariannya lebih banyak di laut. Di antaranya, mengurusi kapal, tamu wisata, hingga membuka jasa perentalan kebutuhan trip di Labuan Bajo. Gojali dan Saddam membuat karya yang berdekatan dengan aktivitas dan profesi yang mereka jalani sehari-hari, dari sinilah tercetus karya Paradakea Project, paradakea diambil dari kaidah Bahasa Bajo yang berarti ‘sesuatu yang menyala’. Dalam projek eksperimen ini, Gojali dan Saddam mencoba menciptakan benda kreatif yang dapat dioptimalisasi kegunaannya untuk merespons persoalan pencahayaan pada kapal laut di pesisir dan pulau.
Dari lima ratusan perahu yang terdata dan beroperasi di perairan Labuan Bajo, mereka mencari tahu apakah di antaranya menggunakan lampu navigasi yang berfungsi sebagai alat bantu pencahayaan berwarna atau tidak. Lampu ini berguna sebagai penanda posisi dan status kendaraan. Ternyata, kapal-kapal itu hanya menggunakan lampu tunggal atau lampu torpedo (fishnet light) sebagai penandanya, seperti sekoci dan sejumlah perahu nelayan di perkampungan pesisir kota. Kenyataan itu membawa Gojali dan Saddam untuk merancang karya yang terinspirasi dari kehidupan melaut di malam hari, terutama untuk jenis perahu mancing atau nyamba dan sekoci.
Pertanyaannya, bagaimana memunculkan cahaya terang di perahu itu? “Menggunakan bahan fosfor”, jawab Saddam. Bahan yang sempat ia pelajari dari Youtube ini semacam zat senyawa yang berpendar ketika gelap. Bahan itu diterapkan di kapal untuk menerangi kapal di malam hari. Tujuannya agar dapat menjadi penanda di antara kapal-kapal yang ada di lautan. Sehingga peristiwa kecelakaan seperti yang sering terjadi tidak terulang lagi. Melalui karya ini, Gojali dan Saddam telah memberikan harapan baru bagi kapal-kapal yang bermuara di lautan saat malam hari. Terutama kapal-kapal kecil yang digunakan oleh para nelayan yang sering sekali mengalami peristiwa ini.
Acara pun terus berlanjut, kini giliran Megs yang menceritakan pengalamannya berproses. Megs adalah seniman yang berasal dari Komunitas Kahe Maumere, sebuah ruang produksi, sharing, distribusi, dan dokumentasi pengetahuan melalui media kesenian. Megs hadir di Labuan Bajo untuk mengikuti residensi di Kampung Air. Selama residensi di sana, saya sebagai tim kerja bertugas menemani Megs. Dalam residensinya, Megs berupaya menerjemahkan Kampung Air melalui karya performance art yang ditampilkan pada Pembukaan MB Labuan Bajo Sabtu, 16 Oktober 2021.
Pada awalnya ia datang dari Maumere dengan isi pikiran yang kosong. Ia sangat buta tentang Labuan Bajo terutama Kampung Air. Pada minggu pertama residensinya, Megs menyusuri Kampung Air dan berusaha mengamati kampung ini secara khidmat dan perlahan. Ia juga menyapa dan mengamati aktivitas sehari-hari warga. Dari situ, gambaran tentang Kampung Air pelan-pelan ia dapatkan. Mulai dari ragam sukunya, sifat manusia, hingga aktivitas warganya.
Pandangan Megs tentang Kampung Air semakin terbuka ketika ia menemui Gojali di rumahnya. Cerita- cerita dari Gojali membuat Megs terkesima. Dari proses residensi itu, Megs melahirkan cerita monolog dari aktivitas warga Kampung Air yang dielaborasikan dengan pengalaman personalnya. Awalnya, Megs ingin mengangkat kehidupan ibu-ibu single parent yang ada di Kampung Air, informasi yang ia dapatkan dari saya dan Gojali. Namun, karena melihat persoalan itu sebagai hal privat, Megs akhirnya mengganti haluan risetnya.
Proses residensi yang dijalani Megs juga tidak hanya berfokus pada Kampung Air, ia juga berupaya memberikan informasi serta pengalamannya tentang kerja-kerja kesenian kepada para kreator MB Labuan Bajo. Pada pertengahan residensinya, Megs memberikan pengetahuan baru kepada kami–tim kerja tentang manajemen komunitas yang ia dapatkan selama di Komunitas Kahe. Pengalaman yang diceritakan Megs rupanya juga menjadi hal yang penting bagi kami di Kolektif Videoge yang bergerak dan berproses dalam kerja-kerja komunitas.
Setelah melalui proses residensi, Megs menampilkan karya teater monolog yang berjudul Tumbuh (Work in Progress). Karya Tumbuh terinspirasi dari sisi personal kehidupan Megs yang dielaborasikan dengan apa yang ia dapatkan selama proses residensinya. Bagaimana dia melihat pemuda-pemudi di Labuan Bajo. Terutama teman-teman yang sedang berkembang dengan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Dalam konteks lain, karya ini juga mempresentasikan cerita ibu-ibu single parent yang hidup tanpa kepala rumah tangga. Siasat membagi waktu untuk mengurus rumah tangga, anak-anaknya, yang sifatnya lebih personal–domestik dan pekerjaan/mata pencahariannya. Dengan karya ini, Megs mencoba mengajak setiap orang untuk melihat lebih dalam ke diri kita masing- masing. Siapa kita? Siapa saya? Dua pernyataan yang selalu disampaikan oleh Megs.
Sesi wicara seniman malam itu juga memantik seniman-seniman lain untuk menceritakan pengalamannya. Salah satunya Citra, yang menjelaskan proses riset resep ikan kuah asam yang banyak ia pelajari dari resep-resep dapur tetangga. Cerita pengamalan Citra tentang riset menu makanan telah ia lakukan jauh sebelum acara MB ada. Kesenangannya dalam mengolah suatu resep makanan mendorong dirinya untuk terus mengeksplor menu resep masakan dari mana saja termasuk dari dapur tetangganya. Aneka temuan itu lalu dituangkan menjadi sebuah tulisan sebagai pegangan dirinya. Tulisan cerita- cerita resep masakan yang didapatkan juga ia bagikan melalui media sosial pribadinya. Tak jarang, menu resep yang ia makan, menghantarkan ingatan Citra ketika masih belia, “Ternyata di balik cerita makanan yang saya makan dari dapur-dapur tetangga saya, itu pernah saya makan ketika masih kecil”, begitu ungkapnya dengan nada tulus dari hati.
Selama proses risetnya, tak jarang Citra juga menemui kesulitan. Terutama dalam mewawancarai ibu-ibu rumah tangga. Banyak dari mereka yang mengatakan bahwa Citra sudah pintar memasak. Tidak perlu lagi bertanya kepada kami yang belum begitu ahli dalam persoalan resep masakan. Namun bagi Citra, ia hanya ingin melihat proses memasak ibu-ibu itu. Ternyata, Citra menemukan beberapa proses yang berbeda dari proses memasak. Seperti resep menu Ikan Kuah Asam yang pernah ia peragakan beberapa waktu lalu pada acara workshop. Resep menu Ikan Kuah Asam menjadi bagian penting dari hasil riset Citra selama ini.
Setelah mendengar pengalaman Citra tentang persoalan makanan dan memasak, kini berpindah ke Anggi dan Fatma. Dua gadis yang membikin orang-orang terpesona melihat karyanya. Keduanya memiliki keahlian dalam Line Art. Anggi dan Fatma yang didampingi oleh Almaskaty menampilkan karya nereka yang identik dengan nilai-nilai kultur yang ada di Labuan Bajo. Ini merupakan proses yang baru bagi mereka. Anggi mengungkapkan bahwa dirinya baru pertama kali melalui proses riset untuk menghasilkan gambar tentang kebudayaan.
Ada juga Amir Hamza, dkk yang menarasikan keberagaman Kampung Air dalam bentuk video. Menurut Hamza, ini bukan projek awal yang mereka garap. “Sebelumnya kami juga pernah mendokumentasikan tentang Kampung Air,” ujar seorang fotografer dan videografer pernikahan ini. Ia menyambung bahwa, “Hal itu berjalan begitu saja, mengalir. Mengingat juga kebanyakan dari teman-teman memiliki hobi dalam bidang fotografi. Maka hal ini dilakukan untuk membuka ruang kepada teman-teman untuk mengembangkan potensinya di bidang fotografi”.
Adanya gelaran MB di Labuan Bajo memberikan kesempatan kepada Amir Hamza, dkk untuk kembali mendokumentasikan tempat tinggalnya melalui medium visual. Dalam karyanya, mereka berupaya merekam jejak aktivitas warga Kampung Air. Terdapat tiga suku yang mereka ambil sebagai narasumber, yaitu Bugis, Bima, dan Bajo. Dari ketiganya ini, mereka mencoba memvisualkan cerita tentang bagaimana aktivitas warga kampung air dulu dan sekarang.
Kemudian berpindah ke Redra, yang menceritakan proses munculnya We Are Justplay, grup musik yang berisi kumpulan anak muda yang mempunyai hobi musik. Awalnya We Are Justplay bermula dari homeband. Dimulai dari musik rumahan yang disajikan di kanal Youtube melalui program Videoge Live Session (VLS). Penggarapan lagu-lagunya pun bebas. Tak berpatokan pada satu tema atau genre, ini sesuai namanya just play. Dalam proses membuat lagu, Redra mengungkapkan bahwa ia dan kawan-kawanya pernah mengalami kesulitan. Terutama pada lagu yang berjudul Kosmos. Isi materi pada lagu itu cukup menguras energi dan pikiran. Tapi berkat kekompakan dan rasa solid yang tinggi, mereka berhasil melewati fase itu.
Sesi obrolan berlanjut ke seniman selanjutnya, Yus Juliadi, seorang fotografer lepas yang akrab disapa Ulli. Dalam karya fotografinya yang dipamerkan, ia bercerita tentang bagang. Foto-foto itu pada awalnya dikumpulkan Ulli ketika ia mengikuti kegiatan bagang bersama warga Pulau Seraya. Tujuan awal pendokumentasian ini untuk mengabadikan momen aktivitas bagang, hal yang terus tergeser karena perkembangan Labuan Bajo yang mengarah ke dunia pariwisata. Baginya, momen bagang ini menjadi penting untuk dijadikan arsip guna melihat kembali makna dari bagang itu sebagai model pencarian ikan masyarakat nelayan di Labuan Bajo.
Malam itu, cahaya-cahaya harapan terus bermunculan dari cerita-cerita para seniman. Seperti cahaya lampu yang menghiasi dan menerangi ruang galeri pameran itu. Nampaknya, malam itu menjadi malam refleksi bagi para seniman dan seluruh yang hadir. Mereka memaknai pengalaman dan prosesnya sebagai upaya untuk mengembangkan kapasitas diri. Juga melalui proses ini sebagai upaya untuk melihat dan mengangkat isu yang berkembang di lingkungan sekitar mereka melalui karya seni.
Dari diskusi yang saya dengarkan ini, saya menyadari bahwa nilai lokalitas menjadi penting untuk diangkat teman-teman seniman. Di tengah perkembangan zaman serta globalisasi yang tak terbendung, sisi lokalitas menjadi kunci untuk menghidupkan kembali nilai- nilai budaya yang selama ini kurang terangkat. Hal itu juga menjadi poin penting bagi Videoge, sebagai komunitas belajar seni dan multimedia. Bagaimana kedepannya, Videoge bisa menjadi ruang bagi para seniman lokal untuk menghidupkan kembali nilai lokalitas dan mengangkat nilai- nilai kebudayaan itu.
Pada bagian akhir sesi diskusi, Eka mengungkapkan bahwa Paradakea sebagai tema besar dalam event MB 2021 di Labuan Bajo menjadi tema yang sangat tepat dalam melihat Labuan Bajo saat ini. Paradakea telah mewakili teman-teman seniman dalam menarasikan Labuan Bajo. Harapannya, Bawakolong dan Videoge sebagai ruang berkumpulnya anak-anak muda pesisir terus bisa memicu karya-karya lain hadir. Momentum MB menjadi satu penanda bahwa tempat ini bisa menjadi ruang terbuka yang dapat diakses oleh semua orang yang datang ke Labuan Bajo. Dan harapannya, Bawakolong–Videoge bisa terus menjadi ruang bagi para pemuda-pemudi di wilayah ini untuk bisa dan terus menghasilkan karya dalam bentuk apapun kedepannya.[]
Wahyu Chandra, Kolektif Videoge dan tim kerja MB Labuan Bajo 2021