Hasil mengobrol saya dengan dua tiga penampil di RIC 2021. Tidak cukup waktu kosong karena mereka harus siap-siap berkemas untuk tampil, banyak yang sudah pulang, atau sebab dikerubungi penggemar yang mau berfoto bersama, maupun pihak media yang menunggu waktu wawancara.
PADA hari ketujuh gelaran Rock In Celebes 2021, saya tiba 15 menit menjelang magrib di Monumen Mandala. Masuk di gerbang RIC, kian dekat makin jelas Tabasco sudah mulai memainkan intro lagu pertama. Saya segera ambil tempat duduk, menikmati empat lagu mereka.
Karya-karya mereka menarik. Bisa jadi karena dibawakan langsung (live). Soal ini memang biasa terbalik-balik. Ada lagu yang enak dinikmati saat disuguhkan langsung dari panggung, ada juga sebaliknya. Tapi yang saya dengar ini rasanya Tabasco yang berbeda—meski dengan corak musik tetap britpop. Istilah gampangnya: lebih matang. Lirik-lirik lagunya berbahasa Indonesia. Beda dengan lagu Tabasco versi muda yang berbahasa Inggris.
“Gele’-gele’ rasanya nulis lirik Indonesia. Tidak sepenuhnya mewakili perasaan,” kata Artha Kantata, penulis lagu sekaligus vokalis Tabasco, lima tahunan lalu dalam satu kesempatan saya menyesap kopi bersama di Kampung Buku. Masa itu, menurut pengakuan Artha, masa ketika ia malas membaca. Berkat masukan-masukan yang diterimanya, Artha dan kawan-kawan kemudian mulai mengulik lirik Indonesia.
Selesai Tabasco tampil, saya bersiap-siap untuk satu pertemuan Zoom. Saya dapat pesan dari Bolang, kawan di Kampung Buku yang jadi voluntir pengamanan, bahwa Iksan Skuter mau bertemu.
Saya berjalan cepat ke belakang panggung. Dari atas, Artha dengan baju hitam memegang minuman dalam gelas plastik memanggil saya.
“Woy! Ketemu sebentar nah. Eh, tapi senang mendengar Tabasco menyanyi lagu berlirik Indonesia!” seru saya, tertawa dari bawah.
“Hahaha! Oke, Kak!” timpal Artha.
Saya lari ke bilik MukataID sambil mengisi daya telepon, sambil pasif di pertemuan Zoom. Rapat itu kemudian saya tinggalkan lima menit karena Iksan sudah lowong. Kami mengobrol sebentar tentang buku yang saya tulis Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar. Sehabis itu, saya lari lagi ke Zoom yang ternyata sudah selesai.
Menggelandanglah saya di luar tenda artis. Terasa serba salah. Duduk tak enak, berdiri pun sudah pegal. Udara Makassar senja itu pengap. Angin berkecepatan nol.
Rombongan Tabasco lalu terlihat di sekitar pintu masuk (sepertinya mereka selesai memboyong alat ke mobil). Di sanalah kami mengobrol diselingi tawa. Artha bilang, tiga lagu berbahasa Indonesia (Monolog, Selebrasi, dan Fasad) yang dibawakannya barusan bersama kawan-kawannya adalah materi untuk album berikutnya.
“Sudah ada tujuh lagu,” kata Artha.
“Tambah-tambahi satu, sambalu’ biar jadi album. Tanggung!” seloroh saya, tertawa.
“Tena doe’!” jawab Artha lagi.
Kami tertawa.
“Sudah cukup untuk satu album sebenarnya,” sambung Artha.
Hm menarik! Berarti tinggal menunggu kabar Tabasco lagi.
Kelompok musik ini adalah bekas tetangga saya di Kompleks Panakkukang Indah kisaran 2010-2015 lalu. Tabasco yang terbentuk 2009 bermarkas di rumah Artha, sang vokalis. Rumah itu ditinggali Artha sendiri. Sesekali orang tuanya yang bermukim di Jawa datang (Artha pernah mengenalkan adik perempuannya yang amat mirip wajahnya).
Masa-masa itu juga mereka sering naik panggung gig kecil di beberapa tempat di Makassar. Itu adalah rentang waktu ketika kancah musik di Makassar makin ramai, dalam bentuk kecil-kecilan sampai yang besar-besaran; di perpustakaan, pensi, sampai festival. Beberapa band juga memperkenalkan karya mereka dengan merilis EP atau album, termasuk Tabasco.
Setelah Tabasco kemudian menelurkan album Solitary pada 2015, saya jarang bertemu lagi. Artha waktu itu juga sambil sibuk kerja kantoran. Ilman Ayub, sang basis, juga menikah dan saya dengar pindah ke Sulawesi Barat dan kerja di sana (hanya bisa ikut tampil kalau Tabasco didaulat naik panggung pas weekend dan posisinya sementara diganti oleh Rio). Kabar Hamka senyap dan belakangan saya tahu diganti oleh Ryan Ugahari. Hanya Rendy Mulandy, penggebuk drum, yang sering saya lihat naik panggung karena dia juga menggasak drum untuk Minorbebas.
Setelah menikah, Artha meninggalkan rumah di Blok A di kompleks yang lebih sering disebut “Kompleks CV Dewi” itu. Artha bilang rumah itu mau dijual (sepertinya karena tidak ada yang tinggali). Ia pindah ke rumah istrinya, Cici (Nilam Cahya), di Jalan Sukaria.
Lalu, lima tahunan kemudian, saya ketemu Artha ketika menemani Ambiverbs (nama panggung Suwandi Sulaeman) tampil pada hari keenam RIC di Lapangan Basket Karebosi. Artha bilang rumah di CV Dewi sudah laku. “Keluarga jauh yang beli,” katanya.
Kami bertiga bertukar cerita dan bernostalgia, mulai soal rumah itu yang konon berhantu, berat badan Artha yang naik sepuluh kilo, banjir yang baru-baru merendam Makassar (dan tentu saja Kompleks CV Dewi yang memang langganan), dan rokok saya yang, kata Artha, berubah dan membuatnya juga ikut ke merek itu. Juga tentang Suwandi, orang yang tidak pernah jauh dari Artha, yang sudah menetap kembali di Makassar.
DIBANDING model pelaksanaan sebelumnya, RIC 2021 jelas beda: berlangsung di 10 titik bersejarah bagi sejarah musik Makassar dan penuh makna bagi RIC, termasuk Chambers yang menjadi “rahim”-nya. Konsep ini tampaknya menunjukkan karakter yang diharapkan dari sebuah festival, yakni tempat bertemunya pelaku dan pendukung lainnya kancah musik untuk berjejaring.
Model gelaran RIC kali ini disebut sirkuit musik. Ini tidak sama dengan cara yang biasa yang berlangsung sebelum-sebelumnya yang digelar selama dua atau tiga hari dengan menampilkan semua agenda mulai sekisar jam 14.00 – 24.00. Formula ini, lantaran juga mempertimbangkan pandemi yang belum usai, mengharuskan pihak RIC menyelenggarakan konser mulai 16.00 – 20.30. Sekalian juga menjadi format merespons temuan-temuan dalam buku yang saya tulis itu.
Dua tahun pandemi membatasi kegiatan, termasuk jarangnya acara musik. Sampai-sampai pentolan Kapal Udara, Saleh Hariwibowo selesai tampil di hari kedelapan, menyatakan, “Dumba’-dumba’ main di RIC kali ini. Soalnya dulu sebelum RIC masih sempat tampil di beberapa panggung.”
Yang selalu menarik tatkala acara usai adalah penonton berjumlah ratusan lebih terkontrol. Mereka duduk manis. Yang dominan berdiri adalah mereka yang berasal dari kalangan pendukung acara, seperti tim keamanan, dokumentator, dan media.
Selesai acara pun masih banyak penonton yang tinggal. Masih satu setengah jam menuju pukul sepuluh malam, jam yang membuat orang biasanya bergegas pulang. Umumnya mereka mengobrol dengan kawan yang bertemu. Mereka juga punya waktu lowong untuk bertemu penampil.
Saya pun sempat berbincang lagi dengan Iksan. Itu tanpa sengaja karena niat awal saya menunggu Bolang selesai bertugas dan berencana pulang boncengan. Iksan dan Ardy sedang bercakap di dalam bilik. Ada sebotol kopi susu di belakang Iksan. Ada pula gelas-gelas dan kopi bubuk di meja. Saya bergabung sekadar basa-basi. Tapi tampaknya Iksan sedang santai saja. Jadilah saya bertanya sedikit serius soal jagat musiknya.
“Luar biasa Makassar! Malang pun belum bisa (menerbitkan buku sejarah musiknya) seperti Makassar,” seloroh Iksan, mengawali obrolan kami, “padahal pemusik Malang banyak sekali,” sambungnya.
“Ya, tapi ‘kan di Malang ada museum musik. Dari situ banyak data yang bisa muncul,” tanggap saya.
Namun obrolan kami jadi makin hangat gara-gara Iksan menyebut, “Jabo!”
Ya, Iksan mengaku sangat terinspirasi cara hidup Sawung Jabo dalam dunia musik. Kami salam tos kepalan. Kami sama-sama penggemar Jabo. Sekian lama, baru kali ini saya ketemu lagi pengagum Jabo.
Meski saya ‘mabuk’ Iwan Fals sejak SMP dan membeli album-albumnya sejak itu juga tersengat starstruck kala mewawancarainya langsung pada 2002 silam, tapi Jabo adalah satu-satunya pemusik yang pernah saya tulis di blog lama saya hanya untuk mengucapkan doa selamat ulang tahun agar terus berkarya. Sampai sekarang, di daftar lagu-lagu Spotify saya masih ada lagu-lagu Sirkus Barock, kawanan pemusik yang diisi antara lain oleh Jabo, Inisisri, dan Totok Tewel, untuk mengenang masa-masa SMA saya ketika mengenal mereka lewat album Bukan Debu Jalanan.
“Orang di belakang Iwan Fals adalah Sawung Jabo dan di belakang Jabo ada WS Rendra,” kata Iksan serius. Meski konon, kata Iksan, secara biologis lahir di Jawa Timur, tapi Jabo mengaku lahir menjadi seniman di Yogyakarta.
Iwan, Jabo, dan Rendra pernah bergabung dalam super grup Kantata Takwa. Sebelum itu, Iwan dan Jabo bekerja bareng dalam kelompok Swami dan Dalbo yang melahirkan antara lain mahakarya macam Bento dan Bongkar.
Kami sepakat soal Jabo adalah sosok yang memiliki keseimbangan yang ideal antara seniman musik dengan pesohor, profesi yang dalam benak orang Indonesia kebanyakan disebut artis. Karakter musik Jabo dan kawanannya cenderung trubadur, lebih seperti kelompok penyanyi jalanan.
IKSAN sebagai solois pulang dan pergi dari kota asalnya, Malang—sesuatu yang disengajanya. Selama RIC 2021, selain Iksan, saya mendengar juga dari Iko, nama akrab Andi Muhammad Ikhlas, bahwa Pusakata (Mohammad Istiqamah Djamad) kembali bermukim di kota asalnya, Makassar. Ia berangkat dari Makassar setiap ada panggilan naik panggung di kota lain. Kemudahan transportasi dan karya-karya musik yang bisa menyebar luas lewat multi-platform tampaknya memberi kesempatan bagi para pemusik untuk tetap bermukim ke kota asal mereka.
Menurut Iksan, keadaan dunia musik di Malang mutakhir berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang mengharuskan ke Jakarta, pusat industri masa-masa sebelum era 2000-an. Sebagai contoh, legenda rock Indonesia seperti Ian Antono, yang tumbuh dan besar di Malang harus tinggal di Jakarta kala bergabung dengan Godbless; atau Totok Tewel mesti ke sana karena kiprahnya menjadi gitaris bagi banyak band terkemuka. Sayangnya kemudian, kata Iksan, keberangkatan para pemusik Malang ke Jakarta kala itu tidak ditopang pula oleh dinamika perkembangan industri di tingkat lokal.
Di atas sadel motor menuju rumah, saya membatin: ini kecenderungan yang menarik dinantikan lebih masif. Band seperti Tabasco rupanya masih dan terus berkarya meski para personilnya sibuk mencari nafkah “demi kau dan si buah hati”. Ada pula The WR dan Loejoe, nama-nama lama di jagat musik Makassar, menyelesaikan masa hibernasi lalu tampil lagi membakar hari kedelapan RIC 2021. Atau band asal Makassar Kapal Udara sebagai liner up RIC 2021, perihal yang selalu jadi bincangan pegiat kancah musik Makassar.
Apakah masa-masa yang dimaksud Iksan akan tiba dalam waktu dekat atau sebenarnya sudah terjadi? Saya cuma bisa bertanya.[]
Anwar Jimpe Rachman, penulis buku “Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar”