Pendidikan dan Masalah Apresiasi Seni

Banyak ungkapan dan pernyataan dari kalangan kesenian yang menyatakan bahwa masyarakat kita, dan khususnya anak didik yang sedang menempuh proses pendidikan, kurang atau bahkan tidak memiliki apresiasi terhadap kesenian. Soal ini dari waktu ke waktu senantiasa didengungkan, suatu proses reproduksi dari pernyataan yang sesungguhnya tidak atau belum teruji kebenarannya.

Masalah ini sebaiknya jika kita lacak dari kerangka dan wujud kesenian serta disiplin dan jenis kesenian, kita akan mendapatkan bahwa setiap orang dari lapisan sosial dan dari latar belakang kehidupan apapun memiliki apresiasi kesenian. Seorang anak nelayan di pesisir sangat mungkin memiliki apresiasi terhadap musik dangdut, atau seorang anak dari wilayah lainnya memiliki apresiasi terhadap musik pop. Dan sangat mungkin seorang anak dari wilayah pertanian justru sangat intens dalam seni tradisi yang ada di lingkungan sosialnya.

Jadi, apakah makna sesungguhnya apresiasi seni yang selalu dinyatakan oleh khususnya kaum seniman dan kaum pendidik kesenian? Jika kita menelisik ungkapan itu dan melihat praktik pendidikan serta kondisi di lingkungan masyarakat, makna apresiasi seni yang dimaksud sangat kuat kaitannya dengan kapasitas seseorang, misalnya anak didik atau masyarakat umumnya dengan daya kemampuan untuk memahami dan melakukannya. Kerangka ukuran, kriteria ini sungguh ideal. Dalam konteks idealisasi ukuran atau kriteria itu, dan berkaitan dengan proses pendidikan umum yang dikaitkan dengan apresiasi seni, kita akan diperhadapkan dengan sejumlah masalah.

Setiap jenis dan disiplin kesenian memiliki karakter yang unik, dan satu hal yang unik ini tak bisa dipelajari dengan cara sesingkat-singkatnya. Proses belajar kesenian selalu memasuki proses waktu yang panjang. Dia bukan seperti jenis makanan yang bisa langsung bisa dirasakan manis, pedas, asin, gurih dan pahit. Melalui proses waktu itulah kesenian menuntut kesabaran bagi pendidik agar tidak indoktriner.

Kesenian membutuhkan perasaan yang bebas namun juga disiplin. Tak ada kontradiksi antara kebebasan dan disiplin. Justru kebebasan kian bisa berkembang jika ada disiplin yang bisa ditanamkan. Disiplin para anak didik hanya bisadan berkembang jika ada kegembiraan bagi anak didik di dalam mengikuti dan memasuki proses belajar berkesenian. Menciptakan perasaan kegembiraan itulah salah satu faktor utama di dalam proses belajar. Dan kegembiraan hanya bisa tumbuh berkembang jika ada kebebasan anak didik untuk memilih jenis kesenian yang disukainya. Bisa saja suatu jenis kesenian disodorkan, ditawarkan. Namun janganlah memaksa. Setiap pemaksaan akan menimbulkan antipati. Jika bibit antipati tumbuh, maka seluruh proses pembelajaran sejak awal sudah gagal.

Sebagian besar kaum pendidik dan kaum seniman mengeluhkan tentang kurangnya sarana pendidikan, tiadanya peralatan atau instrumen di sekolah di dalam pengembangan apresiasi kesenian. Mungkin ini ada benarnya. Tapi tak sepenuhnya. Sebab, tak semua kesenian tergantung kepada sarana atau adanya instrumen yang sudah jadi, apalagi instrumen yang bukan bikinan lokal. Saya punya pengalaman yang menarik dari masa lampau yang sampai kini bisa diterapkan.

Pada tahun 1980-an untuk kesekian kalinya saya ke Filipina dan Thailand diundang untuk mengikuti workshop pengorganisasian sosial dan kebudayaan bagi masyarakat di pedesaan. Salah satu yang menarik dari pengalaman itu, melihat bagaimana praktik memperkenalkan dan mengajak berteater dan bersastera bagi anak-anak. Praktik ini menggabungkan dua jenis disiplin kesenian ke dalam suatu proses pembelajaran bagi anak-anak, remaja, bahkan juga melibatkan para orangtua mereka. Teater yang dipraktikkan suatu bentuk dari usaha bagaimana anak-anak bermain dan mengekspresikan diri menurut pola-pola permainan yang sudah mereka miliki yang menjadi sejenis tradisi atau kebiasaan permainan anak-anak di lingkungan masyarakat pedesaan itu. Anak-anak diminta untuk bergerak dan bermain sepenuh ekspresi mereka. Di antara itu, pada proses lainnya anak-anak diajak dan diminta untuk menceritakan pengalaman mereka, misalnya pada waktu pagi hari mereka sarapan apa, pergi ke sekolah bersama siapa, apa yang mereka temukan di perjalanan menuju sekolah, dan bagaimana ketika mereka pulang, dan ingatan apa yang mereka dapatkan di dalam kelas, bagaimana sikap guru mereka. Di samping itu, mereka juga diajak dan diminta untuk menceritakan pengalaman mereka di dalam rumahnya masing-masing, cerita tentang apa yang dilakukan oleh ibunya, pekerjaan ibu dan juga bapaknya. Bagaimana hubungan mereka dengan saudara-saudaranya, dengan tetangganya.

Detail-detail dari berbagai peristiwa yang terjadi dan dialami oleh anak-anak itu diulang dan diminta untuk menceritakan. Juga anak-anak itu diminta untuk mencatat semua pengalamannya itu. Langkah berikutnya mereka diminta untuk bagaimana saling menceritakan di antara mereka, dan menggabungkan semua pengalaman mereka, dan menyusun cerita menurut pengalaman mereka. Pada sesi lainnya, mereka diajak untuk memilih sesuatu benda yang bisa dijadikan sebagai “instrumen musik”, misalnya bilah bambu, kaleng bekas, ember, juga vokal, suara-suara mereka dalam bentuk teriakan, atau koor, atau nyanyian yang mereka miliki, atau mereka menyusun lirik mereka sebagai bagian dari musik.

Semua proses itu digabungkan menjadi sejenis seni pertunjukan yang didasarkan kepada pengalaman anak-anak itu sendiri. Tak ada pemateri. Yang ada rekan sebagai sejenis pendamping yang selalu mencoba memancing kuriositas, daya rasa ingin tahu anak-anak, dan bagaimana merangsang mereka untuk bisa menyatakan diri melalui cerita dan mengekspresikan pengalaman menurut anak-anak. Proses ini menggabungkan bagaimana anak-anak diperkanlkan kepada teater dan sastera yang mereka ciptakan sendiri.

Salah satu yang fatal di dalam proses pembelajaran apresiasi kesenian yang banyak terjadi, selalu pemateri-pendamping yang merangkap menjadi guru bagi anak-anak selalu membawakan kerangka berpikirnya sendiri tanpa melihat dan memahami potensi anak-anak yang bisa diaktualisir secara bebas. Sekali lagi, soal kebebasan berekspresi ini sangat penting sebagai dasar bagi penumbuhan dan pengembangan karakter dan potensi anak-anak sebagai individu yang unik. Jika dasar dari proses ini berkembang, proses selanjutnya anak-anak akan menjadi pribadi-pribadi yang independen. Inilah tujuan dari pendidikan informal dalam kaitannya dengan kesenian sebagai pelatuk strategis yang manusiawi dalam proses pendidikan.

Dalam konteks itu anak-anak juga berkembang untuk belajar memahami keterbatasan sarana, dan berusaha untuk mencari alternatif menurut kebutuhan mereka, dan dengan konteks sosial yang mereka miliki dan pahami. Pada periode itulah, tahun 1970-1980-an, usaha-usaha pendidikan alternatif melalui medium kesenian berkembang dan mereka menyebutnya “pendidikan pembebasan” dari ketergantungan.

Merenungi proses pendidikan dan melibatkan disiplin kesenian yang pernah saya saksikan di Filipina, Thailand, juga di Bangladesh, dan beberapa komunitas mempraktikkannya di Indonesia, rasanya kini masih relevan. Relevansi itu terletak pada dasar pemikiran bahwa pendidikan pembebasan dari belenggu ketergantungan dan mendorong terciptanya pribadi-pribadi independen makin kita butuhkan, di antara pendidikan yang kian mengarah menjadi industri dan anak-anak didik sekadar dijadikan kelinci pendidikan untuk kebutuhan industri politik ekonomi yang bersifat konsumtif.

Dalam kaitan itu, pertanyaan kita, sejauh manakah kaum seniman dan kaum pendidik kembali memikirkan suatu metode, cara yang bisa membebaskan anak didik dari belenggu sejarah sosial masakini yang cenderung membentuk robot. Apalagi ditimpali oleh indoktrinasi melalui tivi dan media sosial yang telah kehilangan arah.

Jika kita menganggap masa depan adalah milik anak-anak dan kaum remaja, maka konsekuensi logis dan tanggung jawab historis yang ada dipundak kaum seniman dan kaum pendidik untuk selalu mencari alternatif solusi yang didasarkan kepada visi tentang anak-anak yang memiliki ruang pemikiran dan jiwa merdeka.[]

Halim HD – Networker Kebudayaan

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan