Seorang bapak menenteng bingkai emas yang kira-kira panjangnya satu meter. Terpasang foto buram sepasang pengantin memakai baju adat Bugis. Wajah dari keduanya sulit terlihat karena kotak-kotak piksel mendominasi potret itu. Tentu akibat dari kualitas file foto yang terlalu rendah untuk ukuran sebesar bingkai satu meter. Melihat bapak itu mengapit erat bingkai yang penuh ukiran dengan hasil foto yang lebih sesuai untuk dicetak kecil terasa anomali bagi saya. Memotret dengan jenis file “raw” adalah sesuatu yang saya utamakan, agar mudah disunting dan bisa mendapatkan hasil yang maksimal ketika dicetak. Namun bagi bapak itu, kejadian yang berhasil terekam pada potret sepasang di sana adalah mungkin sesuatu yang melampaui urusan teknis, ia barangkali memori yang layak untuk dibingkai sebesar-besarnya.
Ingatan di tempat cetak foto itu yang memandu saya ketika memikirkan konsep lokakarya fotografi untuk program CREATE (21/01/2022), Pameran Karya Seni Siswa SMA Sulawesi Selatan. Saat ditawari oleh Wilda, Fasilitator Seni CREATE, saya tidak ingin menempatkan diri untuk menjelaskan teknis memotret yang benar dan baik. Mata kita yang menemui beragam jenis visual setiap hari, bahkan mungkin tiap jam, sepertinya sudah terlatih untuk itu. Lagipula teori komposisi, sudut pandang, dan segitiga pencahayaan sudah berhamburan di internet. Ditambah teknologi kamera membuat semua orang kini bisa sangat mudah untuk mengambil gambar. Lalu di tengah hiruk pikuk visual itu, foto apa yang walaupun buram, mungkin tidak indah secara komposisi, bahkan berkualitas sangat rendah, tetap ingin kita bingkai dan simpan untuk barangkali selama-lamanya? Pertanyaan itu yang ingin saya adopsi.
Sore itu peserta lokakarya yang isinya siswa SMA dari Gowa dan Makassar membawa tugas pertamanya yaitu foto yang paling ia sukai di dunia ini. Kemudian secara bergiliran mereka mendeskripsikan segala objek yang ada di foto kesukaannya beserta alasan memilih foto itu. Mereka juga menjelaskan kemana potretnya bermuara karena saat dulu ketika foto-foto hanya hadir di album keluarga dan hanya bisa diakses oleh beberapa orang saja, kehadiran internet banyak mengubah cara kita menikmati dan berbagi gambar-gambar.
Ica, salah satu peserta lokakarya memperlihatkan sebuah foto vertikal ukuran 16:9. Ada keterangan jam 17:57 di bagian kanannya. Itu adalah tangkapan layar dari arsip Instagram Storiesnya. Perempuan yang tinggal di Gowa itu mengakui senang mengambil gambar saat matahari terbenam. Lalu terdengar teriakan “anak indie” dari teman-temannya ketika ia menuturkan itu. Kami tertawa. Namun beberapa saat kemudian suara Ica sedikit bergetar saat menjelaskan bahwa saat memotret ia mengingat bapaknya yang harus mengurusi sawah neneknya di kampung. Foto yang dibawanya memang bukan memperlihatkan sawah. Di gambar itu yang terlihat adalah Danau Mawang, danau terbesar di Kabupaten Gowa. Rumah Ica terletak di dekat situ. Saat sedang berjalan di sore hari, ia melihat dari kejauhan seorang lelaki di atas perahu sedang menangkap ikan. Peristiwa itulah yang ia tangkap dan bagi di fitur Instagram yang hanya bertahan 1 x 24 jam itu. Lalu kemudian dipilihnya untuk dipresentasikan saat lokakarya.
Lalu ada Farid yang justru menceritakan foto yang belum pernah ia bagi sebelumnya ke orang lain. Foto yang berisi dirinya dan seorang anak kecil tengah menghadap ke laut, membelakangi kamera. Warna jingga memenuhi cakrawala sehingga badan mereka terlihat nyaris menjadi siluet. Farid bercerita bahwa itu adalah foto terakhir ia dan adik sepupu yang dulu ia jaga karena permintaan neneknya. Sekarang dirinya bahkan tidak tahu mengenai kabar adiknya itu. Baginya foto itu adalah bagian dari sisa kenangan akan sosok si adik.
Thisa juga menunjukkan sebuah foto yang menjadi memori terakhirnya saat mengunjungi kampung neneknya. Di potret itu ada Thisa yang masih kecil, adik dan ibunya. Tidak terlihat nenek Thisa walaupun yang menjadi latar tempat mereka berfoto adalah rumah neneknya. Saat saya meminta mereka memotret di sekitar lokasi pameran dengan sesuatu yang mereka anggap berhubungan dengan foto kesukaannya itu, Ia mengambil gambar sebuah ayunan. Dulu katanya dia senang bermain ayunan di kampung itu.
Membuat korelasi antara visual yang sudah ada dengan yang baru adalah bagian dari praktik di lokakarya ini. Saat mereka telah bergiliran menjelaskan foto yang mereka sukai, tugas selanjutnya adalah berkeliling selama 15 menit untuk mengambil gambar dengan kamera apapun. Barangkali dari situ para peserta bisa merangkai sebuah cerita foto pendek.
Seperti yang dilakukan Wildan ketika memotret pohon jeruk nipis yang masih kecil di halaman samping Artmosphere, lokasi pameran CREATE. Warna hijau dari dedaunan dan buah memenuhi fotonya. Foto itu adalah sandingan dari foto anak belalang di telapak tangannya yang dia sebelumnya bawa untuk tugas pertama. Ia bercerita bahwa belakangan dirinya rindu akan masa kecil yang terasa seperti tidak memiliki beban.
“Ndak asikki masa kecilmu kalau ndak pernahko mencuri nah!” candanya saat memperlihatkan foto jeruk nipis yang mengingatkannya akan buah-buah dari pohon tetangga yang sempat ia curi dulu. Saat itu Wildan hanya asik memikirkan ingin bermain apa di waktu sore, berbeda dengan masa kini yang isi kepalanya penuh dengan tuntutan tentang kelulusan SMA dan perkuliahan nanti.
Sedangkan Syakila menceritakan pengalamannya di umur 18 tahun yang harus melalui operasi kista dan sindrom nefrotik sekaligus. Perempuan itu menangis ketika mendeskripsikan foto yang memperlihatkan kursi roda kosong dengan infus di sampingnya, lalu di bagian belakangnya tampak beberapa orang sedang duduk di kursi rumah sakit. Potret itu membawanya kepada satu pengalaman operasi pertama yang baru saja ia alami. Ia juga membawa sebuah swafoto dirinya dengan infus, topi dan baju pasien.
“Kalau lagi capek, saya lihat lagi ini foto karena ternyata bisa jeka lewati operasi yang kurasa berat sekali,” ucapnya.
Perempuan yang akrab disapa Kila itu kemudian memotret teman-temannya dari kejauhan. Dii fotonya, lampu di depan teras pameran juga terlihat jelas dengan warna kuningnya. Baginya itu seperti lampu ruang operasi yang begitu menyilaukan matanya. Sedangkan sekumpulan teman-temannya terlihat seperti dokter dengan percakapan-percakapan asing mereka.
Awan juga mengambil gambar diri dan teman-temannya. Mereka berpose di cermin bersama. Ia menganggap swafoto itu sebagai sesuatu yang berhubungan dengan foto keluarga yang ia bawa dari rumah. Pada potret ia bersama saudara, mama dan papanya, Awan mengingat banyak sekali hal pertama yang mereka alami bersama selama di Jakarta. Dan menurutnya segalanya terbingkai dalam foto keluarganya itu. Namun saat ini ia memiliki keluarga baru, walaupun tidak sedarah namun Awan merasa teman-teman sekolahnya adalah keluarga keduanya.
Lokakarya kami selama dua jam di halaman Artmosphere itu seperti pengalaman membuka album foto keluarga di rumah dan mendengar cerita-cerita yang terjadi saat kita belum bisa menangkap memori. Foto-foto yang hadir hanyalah sebagai pintu masuk untuk mengenal peristiwa, kenangan atau seseorang. Kita tidak peduli merek lensa yang digunakan saat itu, apakah intensitas cahayanya terlalu berlebihan atau kurang, kita hanya ingin tahu bagaimana dan kenapa foto itu diambil. Dan di tengah keriuhan visual saat ini, kira-kira apakah kita masih sempat mengalami fotografi yang seperti itu?
Ini pertama kalinya saya menjadi fasilitator dalam sebuah lokakarya fotografi untuk siswa SMA. Saya juga belum tahu metode bagaimana yang tepat. Namun setiap kali melihat lokakarya, diskusi, bahkan pameran fotografi yang terjadi di Makassar, saya jarang menemui perbincangan akan alasan-alasan seseorang mengalami fotografi atau bagaimana foto bekerja secara personal untuk diri. Bagi saya memotret adalah urusan sesuatu di dalam diri dengan sesuatu di luarnya. Kamera hanyalah memediasi akan itu. Penguasaan teknis mungkin membantu kita menuturkan sesuatu dengan baik secara visual, namun tanpa mungkin harus menjadi seorang pemotret, apakah ada yang layak bagi kita dari fotografi?
Aziziah Diah Aprilya, fotografer dan redaktur ArtefactID