Dayat, Wilham, Rifal, dan Enal, sore itu berboncengan dari Pacerakkang setelah hujan reda menuju Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) yang berlokasi di Jalan Baruga Raya Antang, Makassar, pada hari Sabtu, 3 September 2022. Cukup mudah keempat pemuda itu menembus jalan menuju lokasi acara Gigs Underground (acara musik bawah tanah) Dance in Danger (DiD), karena mereka lewat Moncongloe, atau sering disebut lewat “belakang” (merujuk pada jalan Moncongloe dan jalan sekitarnya tanpa lewat Perintis Kemerdekaan). “Dekat ji, Kak, karena lewat belakang ji,” ujar Dayat.
Empat pemuda Paccerakkang itu cukup antusias setelah mendapat kabar dari temannya ada acara musik bawah tanah yang dilaksanakan oleh Rockfort. Mereka sudah lama tidak datang ke acara seperti itu, sebab pandemi yang melanda dua tahunan ini. Memakai rompi yang dipenuhi emblem dan manik-manik melengkapi gaya mereka untuk menikmati band-band yang akan tampil.
Bagi Dayat, Wilham, Rifal, dan Enal, datang ke acara musik bawah tanah seperti upaya mempererat persaudaraan. Sejak 2016 mereka selalu bersama mendatangi acara musik bawah tanah yang ada di Kota Makassar dan sekitarnya.
Dayat dkk. datang ke DiD ingin melihat aksi panggung The Game Over. Band punk Makassar yang akan main di pukul 20.20 Wita jika melihat susunan acara yang dipublikasikan lewat akun Instagram @danceindanger.
DiD diinisiasi oleh Rockfort, salah satu ruang yang masih konsisten menyelenggarakan acara musik bawah tanah di Kota Makassar sampai saat ini. Rockfort sendiri berlokasi di Ruko New Zamrud, Komp. A. P. Pettarani, Kota Makassar. Ruko itu disulap menjadi tempat penyelenggaraan acara musik bawah tanah, studio bermusik, dan kedai kopi. Awalnya DiD akan dilaksanakan di Taman Pakui Sayang, Jalan Pettarani, Kota Makassar, kemudian menjelang hari H acara harus pindah ke lokasi lain. Lewat Instagram @danceindanger panitia mengumumkan kalau pesta para pecinta musik bawah tanah itu harus dipindahkan ke Lapangan Tenis UPRI.
Tetap Menari Saat Izin Dipersulit
Pemandu acara malam itu menyampaikan DiD pindah karena izin dipersulit oleh pemerintah terkait. Sebenarnya Lapangan Tenis UPRI cukup akrab dengan para pecinta musik bawah tanah karena beberapa kali menjadi lokasi penyelenggaraan. Semua yang pernah menghadiri acara musik yang dilaksanakan Rockfort di Lapangan Tenis UPRI akan merasa bernostalgia malam itu. “… karena izin birokrasi yang berbelit-belit makanya kami pindahkan ke sini … mari kita jaga tempat kita karena beberapa tempat tidak bisa lagi dipakai,” ujar pemandu acara malam itu, “… dengan bergaul kita bisa mandiri,” tambahnya.
DiD menampilkan 16 band dengan berbagai genre, mulai dari Punk, Slamming Death Metal, Reggae, Grunge, dan Hardcore. Selain penampilan musik, ada live mural, lapakan buku, jual makanan, dan lapakan tato. DiD terlaksana secara mandiri tanpa sponsor. Seperti yang disampaikan pemandu acara malam itu DiD hanya mengandalkan penjualan tiket sebagai pembiayaan utama.
Menariknya, panitia acara ini hampir semuanya anak muda. Mengurusi penjualan tiket sampai teknis di lokasi. Hal itu juga terlihat pada pengunjung yang ikut dalam mosh pit rerata masih sangat muda.
Saya membeli tiket on the spot sebesar 40rb, saat di pintu masuk, saya diperiksa panitia untuk jaga-jaga, membawa senjata tajam dan larangan yang sudah ditetapkan panitia lewat media sosialnya.
Saya masuk di lokasi pukul 5.45 Wita saat Silver Sunday sedang “membakar panggung”. Terlihat sudah ada beberapa orang di depan panggung menghentakkan kaki dan tangannya, memutar tubuh; membuat gerakan tendangan putar.
Saat sedang menikmati aksi Silver Sunday, empat pemuda, Dayat, Wilham, Rifal, dan Enal terlihat masuk ke lokasi. Mereka menonton tidak jauh dari tempat saya berdiri. Saya kemudian membuka obrolan dengan mereka berempat sambil menawarkan rokok diiringi musik reggae dari Homeless. Sore itu kami melepas sore dengan melihat penonton lain di depan panggung saling merangkul menghentakkan kaki kanan dan kirinya ke depan secara bergantian.
Para pecinta musik bawah tanah mulai berdatangan saat mulai gelap. Tidak henti-hentinya mereka muncul di atas dinding pembatas mencoba menonton gratis, sibuk melobi panitia, dan membeli tiket bagi mereka yang tidak mau susah. Mereka yang datang berkelompok dan ada juga yang berpasangan.
Lepas magrib, Indestructible membuka pesta bagi punkers (sebutan bagi anak punk) malam itu. Sayangnya, saat sedang tampil terjadi insiden listrik padam yang menghentikan acara. Barulah sekitar 20 menitan panitia dapat menyelesaikan masalah. Situasi jeda itu dimanfaatkan para punkers untuk kembali dalam kelompoknya masing-masing sekaligus mengembalikan energi mereka.
Ikut ke dalam pusaran mosh pit (ruang yang tercipta di depan panggung dipakai untuk saling membenturkan badan saat band sedang main) sudah tujuan utama pemburu acara musik bawah tanah. Diiringi band kesukaan, saling membenturkan badan seperti gerakan ritual yang wajib dilakukan. Begitu juga Dayat dkk. waktu yang mereka tunggu akhirnya tiba tepat penampilan Supermen Karet. Enal dan Wilham ancang-ancang dengan memposisikan Dayat di tengah untuk diangkat menuju pusaran mosh pit memakai teknik crowd surfing (gerakan yang memposisikan satu orang di atas pusaran mosh pit). Tidak lama berselang mereka bertiga menghilang di balik orang-orang yang berdiri melingkari mosh pit.
Salvation melanjutkan pesta DiD dengan sedikit kericuhan. Pemandu acara malam itu mengimbau agar tetap santai dan menikmati acara. Sulitnya izin yang didapatkan acara musik bawah tanah serupa DiD membuat pemandu acara terus mengingatkan agar tetap saling merangkul dan damai.
Gerakan saling membenturkan tubuh dan melayangkan tendangan hal yang wajar terjadi di sebuah mosh pit. Biasanya jedah lagu jadi kesempatan saling memberi isyarat mengangkat tangan dengan jari telunjuk dan tengah sebagai simbol berdamai. Ketika unit Slamming Death Metal, Sinuses, mempercepat pusaran mosh pit, bentrokan kecil kembali terjadi. Lagi-lagi mereka berdamai saat lagu selesai. Vokalis Sinuses pun ikut memberi imbauan agar tidak berkelahi.
Pesta kembali berlanjut di tengah waktu yang diberikan kepolisian sangat terbatas. Discern Middle membuka keran hardcore malam itu. Dilanjutkan oleh Frontxside, unit hardcore yang menyebut penggemarnya sebagai familia itu membuka penampilannya dengan nomor “Semangat Pencari Kerja”. “Saya tahu kurang olahraga ko semua, tapi di sini tempat bakar keringat bukan berkelahi,” ujar Indhar sang vokalis. Mengingat waktu sangat menipis, Frontxside melanjutkan dan menutup penampilannya dengan nomor andalannya, “Di Mata Badik.” Kerumunan semakin pecah dan meluas saat Indhar mengarahkan membuat dua kelompok lalu berlari dengan arah yang sama untuk membenturkan tubuh.
Penampilan Frontxside juga menjadi band terakhir yang saya saksikan. Masih ada beberapa band yang akan tampil untuk menghibur pecinta musik bawah tanah sebelum acara malam itu selesai.
Malam itu, salah satu yang menarik adalah bisa dihitung jari orang yang memegang gawai merekam band yang sedang membawakan nomor andalan mereka. Semuanya seperti sedang khusyuk menikmati tiap lagu yang dibawakan band kesukaannya.
Meskipun DiD harus dipindahkan, para pecinta musik bawah tanah tetap solid menciptakan kerumunan. Mereka terlihat tidak memedulikan tempat yang harus berpindah lokasi. Intinya DiD menjadi ruang mereka bisa melepas kerinduan melakukan tarian di dalam mosh pit.
Dayat, Rifat, Wilham, dan Enal salah empat pecinta musik bawah tanah Kota Makassar dan sekitarnya yang selalu merindukan acara musik bawah tanah. Kerinduan yang terus-terusan mendapatkan tantangan karena penyelenggara musik bawah tanah yang skalanya kecil mengalami kesulitan mendapatkan izin pemerintah.[]
Andi Musran, pegiat skena musik Sulawesi Selatan.