Pergi ke konser bukanlah suatu hal yang baru bagi saya. Tidak terhitung sudah keberapa kalinya saya–niat maupun tidak–mendatangi konser. Untuk perhelatan Rock in Celebes sendiri, tahun 2022 ini adalah tahun ketiga saya secara berturut menghadiri event festival musik ini.
Jika pada 2019, tak tanggung-tanggung, saya membeli tiket VIP karena ingin menonton dan berfoto bersama para personil The Adams. Tahun ini saya tidak begitu ingin menonton siapapun. Beberapa nama penampil sebenarnya cukup familiar bahkan masuk ke dalam daftar putar saya. Namun mungkin karena “mabuk konser” pasca pandemi, saya jadi kehilangan energi untuk berkonser. Padahal, di konser-konser yang lalu, tidak perlu alasan besar bagi saya untuk pergi. Memang suka saja.
Berbeda dengan tahun 2021 lalu saat acara yang berpotensi mengumpulkan massa masih begitu sulit digelar. Geliat para penyelenggara konser tahun 2022 ini sangat terasa dan seolah saling berlomba mengundang bintang-bintang hits, hingga konser satu dengan yang lainnya hampir tidak ada beda. Sedang RIC, dengan sematan kata ‘rock’ pada namanya, menjadi menarik sebab tidak hanya mengundang musisi yang rajin mengisi playlist top 100 Indonesia, mereka juga mengundang band dan musisi musik keras. Turut pula genre lainnya seperti rap dan folk, baik melalui undangan maupun program submisi.
Jika diamati sekilas, hal ini membuat penonton RIC 2022 setidaknya terbagi menjadi dua tipe; yang datang untuk Sal Priadi, Pentas Sihir, atau Isyana Sarasvati; dan mereka yang datang untuk Dreamers, Deadsquad, atau Bonga Bonga. Dari penampilan luar, terlihat dua tipe penonton ini cukup kontras. Mbak-mbak bercroptop dan mas-mas modis biasanya akan memenuhi bagian depan panggung saat waktunya Baskara Putra untuk tampil, dan mereka yang mengenakan pakaian hitam-hitam dan sablon huruf ‘akar’ dengan dandanan sangar sudah pasti adalah penonton musik bising di Chambers Stage.
Menariknya lagi, apabila diamati lebih dekat, dua tipe penonton seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya tidak sepenuhnya benar. Sebab, ada saja satu-dua penonton anomali, semisal perempuan berhijab tanpa baju band metal yang juga bisa khidmat menonton band genre rock bahkan hardcore pada hari pertama Rock in Celebes 2022. Begitu kontras penampilan mereka dengan set lighting panggung berwarna ‘merah neraka’ (begitu saya menyebutnya).
Tidak hanya kebetulan menonton, para fans perempuan ini jelas terlihat niat, asik bernyanyi, berjoget, merekam aksi panggung idolanya, bahkan melakukan sambungan video call dengan temannya. Sama sekali tidak terlihat risih dengan sekitar, bahkan mungkin sudah familiar dengan suasana konser band rock. Tidak sedikit pula fans perempuan yang segera berdesakan menuju ke barikade/stage rigging–besi pembatas panggung–paling depan untuk melihat idolanya sedekat mungkin, membuat sangsi anggapan saya selama ini bahwa festival musik, secara umum, bukan merupakan tempat yang cukup aman bagi perempuan.
Lihat lebih banyak foto Aziziah Diah Aprilya di Flickr artefact.id
Penonton-penonton seperti ini membuat saya berpikir bahwa tidak selalu penampilan luar adalah satu-satunya standar untuk menilai selera musik seseorang. Penikmat musik keras tidak selalu mereka yang sangar, dan mengubah penampilan–hijrah–atau apapun namanya juga tidak serta-merta membuat selera musikmu juga harus ikut berubah. Saya kira, kita boleh membawa simbol apapun di hadapan panggung seni.
Saya aktif berpindah dari satu stage ke stage lainnya, Chambers, Bertiga, lalu Scoopy, singgah sebentar memperhatikan penampil yang sudah saya kenali maupun belum, merekam penampilan teman-teman yang lolos audisi, memperhatikan pengunjung, juru rekam, kru FOH, dan semua elemen pelengkap konser. Aktivitas pindah-pindah stage tanpa benar-benar tahu siapa line-up yang tampil juga membuat saya banyak mengeksplorasi musik-musik baru yang ternyata masuk di telinga saya, menambah panjang daftar playlist saya di aplikasi pemutar musik daring langganan.
Sebut saja Boomerang Reload, band rock yang lebih dulu lahir ke dunia dari saya sendiri, dengan tembang berjudul Pelangi yang bagi saya menarik sebab musiknya keras sedang liriknya terasa lembut bertemakan cinta–hal feminin, pun dinyanyikan oleh om-om gondrong berpenampilan ultra-maskulin, dan melihat para fans melakukan headbang khas anak metal sambil berteriak-separuh-menyanyikan lagu yang sedang dibawakan. Juga D’Elite Crew, unit hiphop yang berhasil membuat saya bersatu dengan para penonton lain untuk berjoget menikmati sajian mereka.
Ternyata, menonton para penonton festival adalah sebuah aktivitas yang seru. Energi para fans fanatik meneriakkan lagu-lagu artis kesayangan terasa ditransfer pada saya yang hanya berdiri di pinggir kerumunan sambil menonton mereka. Meskipun sempat terjadi error pada sound system di Bertiga Stage saat Pentas Sihir tampil, saya begitu menikmati sajian-sajian di hari pertama Rock in Celebes 2022, dan berniat lebih mempersiapkan diri untuk hari kedua festival.
Pada hari ke dua RIC, saya sudah membekali diri dengan memilih penampil mana saja yang akan saya masuki crowdnya. Pilihan pertama saya jatuh pada band surf rock asal Jatinangor, The Panturas.
Penampilan The Panturas kali ini adalah yang ketiga kali di Makassar dan yang ketiga kali pula saya saksikan. Saya selalu suka dengan keriuhan crowd band ini sebab pasti ada saja penonton yang crowdsurfing, mengibarkan bendera “Viva Los Panturas”, dan tentu saja sang penampil yang berhasil membangun gimmick seorang nakhoda yang memimpin perjalanan di laut lepas. Di penampilannya kali ini pula, The Panturas menggandeng seorang teman violinist asal Makassar, Hirah Sanada, untuk mengiringi salah satu lagu mereka dengan alunan biolanya. Semakin besarlah keinginan saya menonton mereka.
Jika dibandingkan dengan band lain yang tampil di RIC 2022 ini, The Panturas terbilang cukup muda namun sudah memiliki basis fans yang cukup besar dan penonton yang lebih berwarna-warni. Mata saya asyik berkeliling mengamati para penonton sembari berbaur di tengah kerumunan. Suara-suara nyaring meneriakkan nama personil band begitu mendominasi tiap kali ada jeda antar lagu.
Senang sekali bisa melihat muda-mudi saling merangkul, merekam diri sambil bernyanyi, mengambil konten instastory, dan berbahagia.
Lepas penampilan The Panturas di Bertiga Stage, saya lalu mengelilingi booth makanan dan minuman, memutuskan membeli burger di pop-up kafe Pyur For You lalu duduk di aspal sambil meluruskan kaki yang sudah terasa pegal. Sembari makan, saya ngobrol dengan beberapa teman, berbasa-basi menanyakan siapa penampil yang menjadi alasan mereka datang serta sejak kapan mengetahui event tahunan Rock in Celebes.
“Baruka’ tau sih, Isyana ji juga mau ku nonton.”
“Pernahma’ datang waktu Feast main, 2019 kayaknya. Nda kutau kalo tiap tahun ini we.”
“Dari kapan di’? Pokoknya pertama ka datang itu 2018, belumpi rame Danilla di sini (Makassar) itu hari tapi adami di RIC. Tahun ini Isyana ji iyya mau ku nonton.”
Jawaban-jawaban yang saya dapatkan, baik dari teman perempuan atau laki-laki, memang kebanyakan ingin menonton penampil di Bertiga Stage dan belum terlalu lama mengetahui festival musik yang sudah berumur 13 tahun ini.
Setelah kaki sudah cukup diluruskan, segera saya menuju ke Chambers Stage, tertarik melihat sangat banyak asap-debu beterbangan mirip lokasi demo yang ternyata disebabkan oleh para penonton Frontxside yang sedang moshing. Mengambil jarak aman, saya menyaksikan mereka melompat, berlari, saling membenturkan tubuh, jatuh, bangkit, melompat lagi, dan seterusnya, diiringi dengan scream cadas dari sang vokalis. Sebuah pengalaman yang cukup bikin saya syok sekaligus terpukau melihat orang-orang ini rela babak belur–secara harfiah–dihajar musik. Sepenglihatan saya, tidak banyak penonton perempuan terlibat kali ini, banyaknya debu menyesakkan dan menghalangi saya terlalu banyak mengamati penonton lain di luar moshpit. Tidak terlalu lama tinggal di sana, saya kembali ke Bertiga Stage menunggu penampilan Yacko, Iwa K, dan Tuan Tigabelas.
Pertama kali nonton penampil rap dengan konsep full band lengkap dengan drummer dan gitaris, saya benar-benar terkesima dengan duet tiga rapper hiphop ini, sebab yang saya tahu biasanya musik hiphop hanya membutuhkan DJ Set dan laptop saja. Tidak perlu hafal lagu untuk bisa menikmati penampilan mereka, musiknya saja sudah bisa buat para penonton berjoget.
Di sekitar tempat saya berdiri pun hanya ada satu dua orang berfashion hip hop medok yang mulutnya sibuk komat-kamit ikut menyanyikan lagu-lagu yang dibawakan Yacko, Iwa K, dan Tuan Tigabelas. Selain saat kaget melihat petugas crowd controller menyeret paksa seorang fans yang jelas sedang teler, saya sangat menikmati sajian ini, hati terasa penuh dan puas betul badan berjoget!
Kelelahan, saya duduk lagi di sekitar tenant makanan dan minuman dekat Chambers Stage, menenggak air putih dingin sambil berjaga kalau-kalau sudah waktunya Jamrud naik panggung. Sambil istirahat, saya menikmati sajian di Scoopy Stage yang sedang menampilkan Bottlesmoker, musisi elektronik asal Bandung dengan musiknya yang menurut saya cenderung eksperimental, trippy, dan cocok dinikmati dalam kondisi trance.
Tidak banyak orang yang berkumpul di depan Scoopy Stage dan kelihatannya tidak banyak juga yang tau Bottlesmoker. Jika saja tidak sedang lelah, saya pasti sudah kesana untuk memperhatikan detail visual menarik di layar LED yang membawa pesan-pesan isu lingkungan.
Tiba juga saatnya Jamrud naik ke panggung, terburu-buru saya dan sekian orang lainnya segera merapat ke depan Chambers Stage. Petikan gitar pertama sudah cukup membuat kami bersorak dan tepuk tangan. Lagu pertama mulai dibawakan, di kiri saya ada om gondrong berjenggot lebat yang sudah mengeluarkan gawai dan merekam sedari awal, di belakang saya ada ibu-ibu dengan turban terlihat asik menatap ke atas panggung, jauh di sebelah kanan saya ada laki-laki dengan penampilan mirip vokalis Queen; kutang putih dan celana jins, saling merangkul dan berjoget.
Lagu ketiga dan gerimis mulai turun. Tidak sampai dua bait dinyanyikan, hujan turun cukup deras memaksa saya berteduh ke area indoor dekat Scoopy Stage. Sekelompok kecil orang tetap bertahan di depan panggung, beberapa ada yang segera mengeluarkan jas hujan yang sudah mereka siapkan. Canggih sekali persiapan nonton konsernya, pikirku. Kru panggung juga buru-buru melapisi alat-alat di atas panggung yang tidak boleh terkena air, sambil personil Jamrud juga bersiap-siap membawakan lagu akustik.
Saya pernah nonton konser lalu hujan seperti saat ini, namun saat itu konser terpaksa harus dihentikan. Entah karena kesiapan panitia RIC dibanding konser event anak SMA yang saya hadiri itu jauh berbeda, hingga kali ini konser tetap dapat dilanjutkan tanpa hambatan berarti.
Hujan semakin deras namun keseruan mereka yang bertahan di depan Chambers Stage jauh lebih keras benar-benar membuat saya ingin sekali segera ke depan sana. Kami yang terjebak di area indoor hanya bisa ikut menyanyi tanpa banyak bergerak saking padatnya kiri kanan.
Segera setelah hujan sisa gerimis, saya terdorong kembali bergabung di depan Chambers Stage bersama penonton lainnya. Tidak butuh waktu lama untuk baju kami basah oleh air hujan dan keringat, tetapi aksi panggung Jamrud terlalu asyik untuk dilewatkan!
Semua orang sibuk bernyanyi, berjoget, merekam aksi panggung Jamrud dengan gawai dan ingatan. Suasana sangat seru sekaligus romantis melihat mereka yang saling berpelukan dan bernyanyi bersama pasangan dan teman-teman. Jelas terlihat kebahagiaan di mata kami semua malam itu, apa lagi saat Jamrud menyanyikan tembang-tembang paling hits mereka seperti Surti-Tejo, Putri, dan Selamat Ulang Tahun.
Jamrud menjadi band terakhir yang khusyuk saya nonton di hari ke dua Rock in Celebes 2022, setelahnya saya hanya duduk-dan-mengeluh-lelah sambil mendengarkan alunan musik Soleluna di Scoopy Stage, melihat sepatu yang saya kenakan sudah kuyup dan berlumpur. Lalu menuju ke bagian paling belakang Bertiga Stage untuk penampilan Isyana Sarasvati, bandnya, serta visual di LED sebagai satu kesatuan yang begitu misterius, manis dan magis, menutup malam itu dengan sempurna.
:: Ipa Chadijah/Avi & Aziziah Diah Aprilya, peneliti Tanahindie