Lepas setengah jam setelah azan ashar mengumandang di masjid Pondok Pesantren DDI Asshiratal Mustaqim, Bonto Perak, Baru-Baru Tangnga, sebuah avanza putih merayap pelan tidak begitu jauh dari tempat ibadah. Dua orang lelaki turun dari kendaraan dan dihampiri dua lelaki yang lain.
Mereka berempat kemudian menurunkan seperangkat alat pelantang suara, proyektor, tripod, dan sejumlah peralatan lain dari mobil lalu menyusuri jalan sepanjang 100 meter di selah dua rumah panggung. Di ujung jalan setapak itu terdapat beberapa rumah panggung, satu di antaranya rumah Rosdiana atau akrab disapa Daeng Caddi yang letaknya di sebelah kiri ujung jalan, sedangkan di sisi kanan merupakan rumah adiknya yang kolong rumahnya dipilih untuk menggelar diskusi buku.
Saya merasa kembali menemukan situasi yang akrab ketika pada September tahun 2020 lalu mengunjungi rumah Daeng Caddi untuk keperluan pendokumentasian penelitian. Riuh sejumlah anak-anak, senyum warga, kerumunan ayam dan bebek. Dan, kini, sawah di sebelah kanan rumah Daeng Caddi sudah ditumbuhi padi di mana dulu mengering dan menjadi area bermain anak-anak.
Senin, 14 Juni tempo hari, kami dari Rumah Saraung kembali ke rumah Daeng Caddi untuk menyampaikan hasil kerja yang telah dilakukan. Penelitian tentang kiprah Daeng Caddi sebagai pengobat tradisi yang ditulis F Daus AR bertajuk Tiupan untuk Tembuni yang Tersisa bersama laporan penelitian dari tim peneliti dari enam kota (Makassar, Pangkep, Parepare, Bulukumba, Labuan Bajo, dan Nabire selengkapnya terangkum dalam buku Ramuan di Segitiga Wallacea Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores Hingga Teluk Cendrawasih.
Diskusi buku digelar di kolong rumah Sitti Hamisah, adik Daeng Caddi. Semula dalam pembicaraan awal bakal digelar di depan rumahnya Daeng Caddi saja, tetapi Saenal menyampaikan kalau panas masih terik di area itu meski sudah pukul empat sore.
Gelaran diskusi buku ini merupakan yang ketiga kalinya, sebelumnya dilakukan di Rumah Saraung pada 31 Januari dan 8 Maret. Pada diskusi buku kali ini, kami mengajak Muhammad Asrul, Kepala Puskesmas Bonto Perak dan, untuk pertama kalinya melibatkan secara langsung Daeng Caddi.
***
Sore yang mendung–tetapi hujan masih enggan turun walau serintik. Bagas, yang sepekan lalu mendapat tugas menemui Lurah Bonto Perak dan Kepala Puskesmas bersama Saenal menyampaikan kalau cuma pihak Puskesmas yang bakal hadir, pihak kelurahan berhalangan karena ada kegiatan yang bersamaan.
Bagas, teman sejawat Saenal di STAI DDI Pangkep berandil penuh menyiapkan lokasi kegiatan. Sejak Senin pagi, keduanya bekerja menyulap kolong rumah agar representatif dijadikan ruang berbincang. Puluhan pot bunga yang memenuhi kolong rumah ditata. Sebuah meja dan empat buah kursi plastik disiapkan untuk pembicara dan moderator. Menjelang pukul empat sore, proyektor dan layar juga sudah terpasang sebagai media memutar video dokumentasi.
Sebelum sesi diskusi dimulai, Ical, sapaan akrab Achmad Faisal yang memandu jalannnya kegiatan menyampaikan jika kegiatan ini masih bagian dari Pra Event Makassar Biennale 2021 sebagaimana proses penelitian yang telah dilakukan. Selanjutnya ia mengajak belasan warga yang hadir untuk menonton sebuah video. Mata warga termasuk kerumunan anak-anak yang sedang bermain menyorot layar putih di hadapannya. Dalam video itu menampilkan sosok Daeng Caddi menjelaskan bagaimana ia menjalankan pengobatannya.
Di ujung lorong bersisian, duduk Pak Asrul, F Daus AR, Ical, dan Daeng Caddi yang duduk terdiam mengatup mulut dengan kain jilbabnya. Wajah Daeng Caddi datar. Ia melihat dirinya sendiri dalam tayangan itu. Usai video diputar, Ical mengajak hadirin bertepuk tangan sebelum menyilakan F Daus AR berbicara tanda dimulainya dialog.
“Waktu pertama kali diposting di laman facebook Makassar Bieannale, banyak sekali komentar warga, baik yang pernah datang berobat atau pun yang mengenal Daeng Caddi. Semua menanggapinya kalau pengobatan yang dilakukan Daeng Caddi itu bermanfaat,” urai Daus.
Kesaksian warganet itu juga menurutnya menambah keyakinan tim peneliti bahwa, jauh sebelum penelitian dilakukan, Daeng Caddi sudah banyak mengupayakan penyembuhan orang yang datang maupun tidak karena terkadang pula Daeng Caddi melakukan pengobatan lewat telepon. Daus menghitung sejak ia menemui Daeng Caddi untuk pertama kali, rupanya sudah 30 tahun lebih beliau menjalankan praktik pengobatan tradisi minyak kayu putih itu.
Diskusi berjalan selama kurang lebih satu jam, menjawab keraguan kami kalau rupanya kegiatan seperti ini bisa juga dilakukan di pemukiman warga. Ical memadukan bahasa Indonesia dengan bahasa Makassar yang menimbulkan kesan kelucuan tersendiri sehingga memantik gelak tawa. Saya menyaksikan Daeng Caddi tertawa lepas. Gurat datar di wajahnya sewaktu menononton dirinya di layar tergantikan senyum lepas. Sebelumnya memang Saenal menyampaikan kalau ada beban tersendiri jika membuat kegiatan seperti ini dengan mengundang warga. Sebagai kemenakan Daeng Caddi ia bisa menerjemahkan psikologi sosial warga Baru-Baru Tangnga. Sebagaimana yang dirasakan Daeng Caddi kalau pengobatannya tak ingin disampaikan secara meluas. Ia maunya alamiah saja sehingga tidak menimbulkan persepsi di masyarakat kalau keahliannya dalam mengobati itu terkesan dipublikasikan.
Maksud Daeng Caddi, ia tidak mau dikatakan sombong oleh warga dengan mengumbar keahliannya. Kami dapat memahaminya dan menyampaikan kalau kegiatan seperti ini bukan untuk menyombongkan diri. “Iye, tidak apa-apa. Ini malah baik karena menyampaikan hal yang bagus. Berbuat baik saja kadang disalah artikan. Intinya pada niat,” ucap Pak Asrul di hadapan Daeng Caddi.
Umpan Balik
Ical mengumpan tanya pada Pak Asrul yang tepat duduk di hadapannya perihal pengobatan yang dilakukan Daeng Caddi. Menurutnya, apa yang dilakukan Daeng Caddi juga sejalan dengan program kesehatan. “Kita di kesehatan juga ada program yang namanya Battra (Poli Pengobatan Tradisional). Kalau kita hubungkan dengan pengobatan yang dilakukan Daeng Caddi, tentunya sejalan dengan program kesehatan juga. Dalam pengobatan, mungkin bapak atau ibu sudah sering mendengar istilah Toga atau Taman Obat Keluarga seperti serai dan semacamnya. Jenis tumbuhan yang biasa dipakai bumbu dapur dan juga untuk bahan pengobatan,” terang Pak Asrul.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Pak Asrul, selain aspek kepercayaan, dalam dunia kesehatan sendiri ada aspek lain yang merupakan bagian penting sebagai upaya penyembuhan penyakit, yaitu social physics. “Ada aspek seperti psiko sosial yang sangat mempengaruhi tingkat kesembuhan seseorang. Walaupun kita mengonsumsi obat yang sangat mahal, misalnya, kalau dalam hati kita ragu memakannya atau hanya terpaksa, mungkin akan sembuh–tetapi lama prosesnya. Namun, jika kepercayaan dari dalam diri kita tumbuh, walaupun obatnya murah, atau cuma menggunakan daun-daun yang dianggap memiliki khasiat, maka proses penyembuhan bisa saja cepat,”ungkapnya. Menurut Pak Asrul dari sana jugalah kepercayaan masyarakat terhadap obat tradisional itu berasal.
Sitti Hamisah (54), adik Daeng Caddi mengisahkan keluhnya. Sebulan lalu ia pernah mengalami keseringan buang air kecil. Istilah Makassarnya, ta’mea ri’ri. Setelah beberapa kali diurut oleh kakaknya ia merasakan perubahan. Ia bahkan menyatakan dirinya sembuh.
Kembali ditanggapi Pak Asrul, kalau dari pihak Puskesmas perlu menerima masukan data tentang pengobat tradisional. Mengingat sejauh ini adik-adik dari Rumah Saraung yang telah melakukan kerja penelitian maka data Daeng Caddi perlu kami terima sebagai usulan dari kelompok masyarakat. Hal ini sebagai proses keterlibatan kami untuk mengetahui bahan pengobatan yang digunakan. Sepanjang tidak bertentangan dengan praktik penggunaan bahan yang bertentangan dengan hukum maka perlu kami dukung karena tentu membantu kami di pelayanan kesehatan masyarakat. “Mengenai pengobatan modern dan tradisional sudah bukan ranahnya dipertentangkan sebab masyarakat punya pilihan. Apakah menempuh pengobatan modern atau tradisional atau menggabungkan keduanya,” imbuhnya.
Hari sudah mulai gelap dan mendung masih menggantung di langit. Orang-orang di kolong rumah sore itu masih setia menyimak. Dua penutur, F Daus AR dan Pak Asrul sudah menguraikan penjelasannya. Dari tangan Pak Asrul, mikrofon kini beralih ke tangan Daeng Caddi. Ical menyilakannya berbicara yang dibalas gestur tampikan oleh Daeng Caddi. “Beda tongi anjo punna riciniki ri vidioasiagang sigappaki langsung,” canda Ical dalam bahasa Makassar yang disambut gelak tawa dan tepuk tangan warga.
Di hadapan hadirin yang sebagian besar keluarga dan tetangga, Daeng Caddi memulai ceritanya dengan sebait salam. Sebagaimana yang terlihat dalam vidio yang baru saja dinonton, Daeng Caddi sejak awal hingga akhir bertutur bahasa makasssar. Kian lama bicara, mikrofon yang digenggam makin menjauh dari mulutnya. Kami, juga peserta yang lain harus berkali-kali memberikan isyarat supaya posisi mikrofon diletakkan di depan mulut agar suaranya terdengar jelas. Perempuan baya yang dikenali pula sebagai penjahit itu terlihat sangat menikmati situasi. Tutur katanya lancar dan tidak canggung.
Dari cerita yang dituturkan ada penggal kisah lain yang tak sempat ia tuturkan semasa penelitian. Kini, ia baru ungkapkan. Saya melihat ada semangat terpancar pada diri Daeng Caddi lewat penuturannya yang enteng dan jenaka. Sangat berbeda saat diwawancara beberapa bulan lalu. Ia hanya sesekali tersenyum dan hanya berbicara saat ditanya.
Saya ingat bagaimana Daeng Caddi sangat berhati-hati ketika kami antar ke toko kelontong membeli sejumlah bahan rempah untuk meracik obat minyak urutnya. Apalagi ada kamera yang terus menyorotnya. Tetapi, sore kemarintawanya justru sangat lepas. Terlebih ketika ia menceritakansaat ia memenuhi usul keluarganya untuk berjualan minyak kayu putih yang dimodalinya hasil pinjaman senilai satu juta.
Dalam menjalani pekerjaannya, emak dari anak semata wayang bernama Akbar ini memegang prinsip: “kodi taua appala” (Makassar: tidak baik orang meminta). Daeng Caddi memang berulangkali mengucap kalimat itu jika ditanya perihal harga yang ia dapat dari orang-orang yang datang berobat padanya. Usai pasiennya dia urut, Daeng Caddi memberitahukan harga minyak kayu putih yang ia sediakan sendiri di rumahnya kala itu. Ada 40 ribu, ada juga 50 ribu. Yang membuat geli dan memancing tawa Daeng Caddi, karena pasien tetap memberinya uang seharga minyak kayu putih yang mereka ambil atau malah, di bawah nilai harga minyak kayu putih.
“Kupauangi, kukana antu minyak kayu putia antu patampulo, antu limampulo. Ee, iyaji anjo ballinna minyak kayu putia nasareanga. Kukana garring lompooja kusarring anne,”(Makassar: Saya bilang pada mereka, minyak kayu putih itu harganya 40 ribu, yang itu 50 ribu. Ee, yang ada mereka tetap memberi uang seharga minyak kayu putih. Saya bilang, ini justru akan menjadi penyakit berat bagiku). Kenang Daeng Caddi, disusul tawanya yang meledak bersama seluruh warga yang hadir di sisa sore itu.
Sejak saat itulah Deang Caddi tak lagi menyiapkan minyak kayu putih di rumahnya kepada pasien yang datang. Sebaliknya, pasien dipinta membawa sendiri minyak atau membeli di toko kelontong yang tak jauh dari rumahnya. Hal ini juga sekaligus menjawab pertanyaan terpendam kami yang sedari awal penelitian urung kami sampaikan tentang mengapa bukan Daeng Caddi yang menyediakan minyak putih.[]
Afdhal AB, Tim Peneliti Rumah Saraung