Aula Gedung Dinas Pekerjaan Umum Nabire malam itu berwarna remang. Lampu-lampu sorot mulai menyala ketika senja turun dari arah belakang gedung itu. Orang-orang sedang bersantai. Memantau gawai, mengunyah sirih dan pinang, juga hanya sekadar menyandarkan punggung ke kursi atau putih tembok gedung.
Cahaya kuning dari lampu-lampu itu, menyorot empat karya yang sedang dipamerkan pada gelaran Makassar Biennale 2021 di Nabire. Karya-karya itu disusun dalam bentuk huruf “L” dilapisi tripleks putih setinggi 2,44 cm. Di depan partisi itu, seorang perempuan duduk memasang kembali kaki-kaki koper hitam yang ia bawa dari rumah.
Ia adalah Riany Prastika Mentari, pemateri workshop “Face Painting” yang berlangsung 26 Oktober 2021 di Aula Dinas PU Nabire dalam gelaran Makassar Biennale 2021 di Nabire. Ia tiba pukul empat sore seperti waktu yang telah disepakati. Pada mulanya, workshop direncanakan berjalan seperti biasa. Sayangnya, tak ada perempuan yang datang hari itu.
“Sa pu muka bisa ‘kah tidak?” Saya menawarkan diri untuk dijadikan media praktik. Tapi ia menolak lantaran muka saya ditumbuhi banyak bulu. Sedangkan kawan-kawan lain yang hadir, rupanya mengalami penolakan dengan alasan yang sama. Setelah berdiskusi sebentar, ia sepakat untuk tampil live performance di dalam galeri. Ia akan melukis wajah dengan tema Hallowen—suatu perayaan yang dapat dijumpai di sejumlah negara pada tanggal 31 Oktober, yaitu malam Hari Raya Semua Orang Kudus di Kekristenan Barat. Kebetulan waktu perayaannya sudah dekat.
Ketika ia menyiapkan alat-alat, warna putih cat mukanya habis. Saya dan Iman, seorang tim kerja Makassar Biennale – Nabire, pergi membeli bahan yang dimaksud. Pada mulanya kami berangkat dengan penuh percaya diri. Tapi setelah tiba di lokasi yang direkomendasikan Mentari, kami saling dorong lantaran tak tahu produk yang dimaksud, terlebih lagi, kami berdua pria brewok yang bakal masuk ke toko alat-alat make up—toko yang lebih sering didatangi perempuan.
Dengan masker, saya masuk ke dalam toko dan menunjukkan sebuah gambar pada penjaganya—gambar ini sengaja saya minta untuk menguatkan kesan saya baru kali pertama mencari produk ini. Tentu saja dengan menambah mimik muka kebingungan setelah ia menyebut merk lain dengan varian warna lain.
Dari empat toko yang kami datangi, tak ada produk dan warna yang dimaksud Mentari. Akhirnya ia bersiasat mengganti warna putih dengan bedak bayi—sesuatu yang pada mulanya tak saya pahami. Tapi Mentari bilang, “Pigmen bedak bayi bisa hasilkan warna putih yang lama melekat di wajah,” jelasnya.
Bagian mulut Mentari sudah setengah jadi ketika saya dan Iman sampai ke ruang pameran. Dengan tangan kanan memegang kuas dan tangan kiri memegang cermin, ia menggambar tulang-tulang wajah berwarna hitam menyerupai tengkorak. Bagian bibir sudah sepenuhnya hitam. Hal ini membuat ia hanya mengangguk dan berbicara dengan suara yang tak jelas ketika ada orang yang bertanya padanya.
Di hadapannya, pengunjung duduk berderet memerhatikan ke arah tempatnya melukis wajah. Dengan cahaya putih yang kontras dengan warna lampu sorot, ia sesekali mengganti alat dari kuas, tisu kering, tisu basah, juga varian warna face painting yang ia bawa. Beberapa pengunjung memerhatikan sambil sesekali berbincang. Beberapa pengunjung pun sengaja mendekat untuk melihat detail-detail yang digambar Mentari.
“Ada Instagram-nya kakak?” Tanya seorang pengunjung perempuan yang baru saja tiba. Ia hendak melihat gambar-gambar wajah yang sudah dikerjakan Mentari. Dengan mulut setengah terbuka, ia menyebut nama akunnya. Beberapa pengunjung bahkan mendekat dengan kamera hingga mengambil detail-detail lain seperti posisi tangan dan kepala ketika sedang menggambar, warna-warna yang dipakai, sampai referensi yang dilihat Mentari dari gawai yang ia tempel pada cermin dalam kopernya.
“Koper beauty case make up ini saya beli waktu ada audisi Indonesian Idol. Kami (yang mendaftar) jadi bagian make up-nya,” jelas Mentari. Ia berusaha mengingat harga pastinya, tapi urung. Barangkali karena fokus melukis wajah.
Masalah lain segera saja muncul ketika ia mencampur bedak bayi dengan sedikit air untuk mendapatkan warna putih. Rupanya, bedak bayi yang kami beli hanya punya sedikit pigmen, sehingga warnanya tak kelihatan sama sekali. Tapi dengan pengalaman di bidangnya, ia lagi-lagi mengakalinya dengan memberikan warna kuning lebih dulu, kemudian dilapisi bedak agar menempel di cat yang sebelumnya menempel.
Kosmetik body painting termasuk bagian dari kosmetik dekoratif. Kosmetik dekoratif adalah kosmetik yang semata-mata hanya melekat pada suatu media tubuh yang dirias dan tidak bermaksud untuk diserap kedalam kulit serta tidak mengubah secara permanen kekurangan atau cacat yang ada.
Mentari pada mulanya adalah seorang pelukis kanvas. Lantaran juga menyukai dunia kecantikan, ia coba pindah media dari kanvas ke wajah. Ia kemudian memulai face painting sejak itu. “Sekarang sa su tidak bisa menggambar di kanvas. Saking lamanya tidak sentuh,” jelasnya. Sehari-hari, ia juga mengerjakan make up untuk pernikahan, ulang tahun, wisuda, juga untuk orang-orang yang hanya make up untuk kepentingan pemotretan.
Di Papua, face/body painting sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Suku Asmat, misalnya, menggunakan warna-warna untuk wasse mbi (rias tubuh). Mereka mengambil warna merah dari tanah pegunungan Lorentz, putih dari kulit siput yang dihaluskan dan diberi air, juga hitam dari arang yang dibakar. Kebanyakan akan dipakai ketika melangsungkan acara adat. Sementara Suku Mee bagian Mapia, memakai homi, juga dipakai pada acara-acara adat dan kebudayaan. Misalnya untuk penyambutan tamu. Homi terbuat dari pankreas babi yang dicampur dengan tanah liat untuk mendapatkan warna kuning-kuning oranye. Warna itu digosokkan pada bagian wajah, dada, dan perut.
Setelah dua jam melukis wajah, bagian mulutnya selesai. Di bagian mata kanannya, menggambar laba-laba. Ia memanfaatkan bagian kelopak mata sebagai tubuh laba-laba itu setelah diberi sentuhan warna hitam. Kaki laba-laba itu menyebar di bagian atas, bawah, kiri, dan kanan mata. Di bagian hidung, ia memberi warna hitam pada kulit kedua rongganya. Persis di tiap tepi garis hitam di permukaan wajah yang ia lukis, ia membuat bayangan dengan memberi warna hitam yang tipis untuk menciptakan bentuk tiga dimensi.
“Sa hapus sudah ‘kah?” Tanyanya pada saya ketika ia selesai berfoto. Tapi pertanyaan itu segera ia ralat lantaran masih ingin memakai riasan itu hingga tiba di rumah. Ia pun bercerita soal beberapa pengunjung yang keheranan melihat gambar di wajahnya. Pengalaman-pengalaman live performance di ruang terbuka yang barangkali akan menjadi pengalaman baru, mengingat selama ini ia bekerja di dalam ruangan dan hanya ada beberapa orang.[]
Fauzan Al Ayyuby, tim kerja Makassar Biennale – Nabire
[1] Wasitaatmadja dalam Wandani Aprilita dan Dra. Hj. Suhartiningsih, M.Pd, Pengaruh Jenis Kosmetik Body Painting dan Volume Baby Oil Terhadap Hasil Jadi Face Painting, (e- Journal. Volume 05 Nomer 01 Tahun 2016, Edisi Yudisium Periode Februari 2016: Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya), hal 165 – 171.