Mengukur Jauh Terbang Cendrawasih

Pria itu duduk menghadap ke arah timur. Dengan sepatu boots hijau dan masker putih yang tetap menempel di dagu, ia menceritakan peristiwa ketika ia melamar istrinya, “Waktu itu, sa cuma bilang ke dia, ‘Eh, ko itu sa pu istri. Terus sudah. Kami menikah”. Orang-orang yang duduk di deretan kursi tepat di hadapannya, berhamburan tawa. 

Setengah jam sebelumnya, mereka duduk dengan mimik wajah serius mendengar tiap ocehan pria itu. Ada yang duduk memangku dagu, ada yang tiap akhir kalimat pria itu, menyambut dengan anggukan, ada juga yang melipat kaki dan tangannya dengan posisi bersandar ke deretan kursi berwarna biru itu. Mereka sengaja datang untuk mendengar proses kreatif yang lahir dari buku “Terbanglah Cendrawasih” (Gerakan Papua Mengajar [GPM]: 2020), sebuah buku yang diinisiasi oleh Aleks Giyai, seorang penyair dari Papua dan Dadolin Murak, seorang penyair dari Timor Leste. 

Sore itu, Aleks Giyai sedang mendiskusikan buku itu pada gelaran Makassar Biennale 2021 – Nabire, yang bertempat di Aula Gedung Dinas Pekerjaan Umum Nabire, Kamis 28 Oktober 2021. Setelah mendengar banyak soal proses kreatif bukunya yang cenderung menguras perhatian, para peserta diskusi dibikin tertawa dengan cerita Aleks yang seperti bertolak belakang: penyair yang puitis dan seorang manusia yang melamar perempuan hanya seperti mengajak jalan sore.

Sa kalau menulis puisi romantis itu kacau sekali. Biasa orang bilang, ‘Ah, penyair baru tulis puisi kayak bikin orang tidak merasa dirayu’. Karena saya memang menulis puisi-puisi realis,” jelas Aleks. 

Realisme dan romantisisme memang kadang tak sejalan. Sebagai gaya berkesenian, realisme tampil sebagai tanggapan atas romantisisme. Apabila romantisisme cenderung menghadirkan objek dalam penggambaran yang diidealkan dan dengan aura mistis yang sengaja ditebarkan, para seniman realis hendak mengembalikan objek sebagaimana adanya dalam kenyataan, tanpa gincu dan mistifikasi.[1]

Persentuhan Aleks Giyai dengan realisme terjadi begitu saja. Seperti kali pertama ia menulis dan membacakan puisinya. Ketika itu tahun 2011, enam karyawan Freeport di PHK. Aleks terlibat dalam aksi massa dengan menulis puisi. Puisi yang ia bacakan lalu dilirik oleh Ibiroma Wamla, salah seorang sastrawan yang ikut membesarkan Komunitas Sastra Papua (Kosapa) di Papua. Ibiroma lalu mengarahkan Aleks untuk terjun ke dalam sastra realisme.

Selain Ibiroma, ia pun belajar sastra realisme dari Saut Situmorang, “Saya kalau menulis puisi, salah satu orang yang saya kasih lihat duluan itu Saut Situmorang. Karena di antara banyak penyair, dia lebih fokus pada bagaimana melahirkan sastra-sastra kemanusiaan. Lebih pentingnya itu,” jelas Aleks. Selain Saut dan Ibiroma, sebelum menerbitkan puisinya, Aleks memperlihatkannya terlebih dulu pada Faiz Ahsoul (Radio Buku).

Semangat realisme inilah yang juga membikin Aleks menyambut ide Dadolin Murak untuk membuat karya sastra untuk solidaritas kemanusiaan. Tujuan dari solidaritas ini adalah membangun kesepahaman antara orang Papua dan luar Papua, juga antar negara dan negara.

“Yang bersolidaritas di buku ini (Terbanglah Cendrawasih), ada dua orang dari Malaysia, satu penyair dari Myanmar, ada empat penyair dari Timor Leste, termasuk Dadolin Murak. Dari Papua, ada saya, Victor Yeimo, Oskar, sama Bastian Tebai. Sisanya dari Indonesia,” jelas Aleks. 

Buku ini diinisiasi sejak tahun 2018. Lantaran terkendala biaya cetak, buku ini tunda terbit hingga tahun 2021. Dua tahun di antaranya dimanfaatkan oleh Dadolin Murak dan Aleks Giyai untuk mencari donatur untuk percetakan. Rupanya tak mudah. Akhirnya mereka memutuskan untuk menerbitkan buku ini dengan cara urun biaya. Aleks menyumbang sebagian, dan sisanya ditanggung oleh empat penyair dari Timor Leste. 

Biaya yang dihasilkan dipakai untuk mencetak buku sebanyak lima ratus eksemplar. Buku-buku ini kemudian didistribusikan sebanyak tiga ratus buku di luar Papua, dan dua ratus buku di Papua. Alasannya, ketika buku ini lebih banyak atau hanya dijual di Papua, Aleks memikirkan soal proses penyadaran—persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi di Papua—yang menurutnya mesti lebih banyak diketahui oleh mereka yang di luar Papua.

“Kalau lebih banyak didistribusikan ke Papua, bagaimana orang Papua membaca apa yang dia alami sendiri, apa yang dia rasakan sendiri? Artinya, untuk memberi tahu apa yang dialami oleh orang Papua, lebih bagus dikirim keluar,” jelas Aleks. Tiga Ratus yang dikirim ke luar Papua itu, tersebar ke Jogja, Surabaya, Jakarta, dan Makassar. Di luar negeri, buku ini disebar ke New Zealand, Timor Leste, juga ke Australia.

Di buku ini, Aleks Giyai menyumbang tiga puisi. Di antaranya: “Papua bagai Rumah Dansa”, “Monolog Bumi Terjarah”, dan “Demokrasi Bertopeng Bedil”. Puisi pertama menceritakan tentang Papua yang dijadikan tempat dansa oleh setiap orang dan kalangan. Mulai dari aparat sampai orang Papua sendiri. Puisi kedua bercerita tentang penjarahan alam yang terjadi di Papua. Sedangkan puisi ketiga bercerita tentang demokrasi yang kerap dikontrol dengan bedil.

Dalam sesi tanya jawab, Nomensen Douw, peserta diskusi, bertanya soal irisan sastra dan media di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini. Aleks menanggapi dengan memberikan contoh kerjasama media antara Kosapa dan Jubi, salah satu media di Papua. Setiap hari jumat, koran yang diterbitkan Jubi memberi kolom pada Kosapa untuk diisi dengan tulisan-tulisan sastra.

“Kalau saya lihat, khusus untuk anak-anak Papua, mereka seperti terburu-buru menulis puisi. Karya-karyanya pun terkesan seperti mengikuti satu orang penyair terkenal saja,” jelas Aleks, menanggapi pengaruh teknologi pada sastra. Ada godaan instan, kecepatan muncul ke permukaan dengan lewat jumlah like, comment, dan share.

Puisi kemudian agaknya menjadi cara berpikir yang “kalkulatif” jika melihat apa yang dikhawatirkan Aleks. Cara berpikir “kalkulatif” yang jamak ditemui di berbagai manifestasi budaya kontemporer dengan cara berpikir “meditatif” yang tumbuh dari pemahaman yang puitis-etis atas kehidupan, punya ekspresi yang bertolak belakang; cara berpikir kalkulatif menghasilkan teknologi, sementara cara berpikir meditatif menghasilkan seni.[2]

Godaan-godaan instan seperti itu pun tak jarang membikin banyak orang salah kaprah. Puisi-puisi dicomot tanpa diberi keterangan, misalnya, seperti yang ditanyakan Piter, peserta diskusi, pada Aleks, menjadi indikasi teknologi dan sastra punya irisan yang begitu kompleks. Tentu saja pun dengan menimbang sisi baik dan buruk.

Sa punya puisi yang diambil itu lebih banyak anak-anak Papua dan Timur ke sini,” jawab Aleks. Meskipun kerap ada beberapa kata yang sengaja diubah, ia merasa akrab dengan puisi itu. Hal ini menurutnya terjadi karena karya yang lahir dari refleksi dan perenungan panjang, pasti akan terasa. Selain puisi, ia juga menghitung setidaknya ada tiga lagu yang diciptakan dari puisinya tanpa memberitahunya lebih dulu. Ia coba untuk bertanya pada mereka, tapi hanya sedikit dari mereka  yang mengakui hal itu. 

Pertanyaan selanjutnya datang dari Karolina Butu. Pertanyaan ini menarik Aleks ke masa-masa ketika ia menulis sebuah puisi. Apa saja yang ia siapkan? Tentu saja, dari awal ia bilang bahwa realitas adalah gurunya. Mengamati apa yang terjadi, meneliti lebih jauh, kemudian memikirkan ide untuk mengeksekusinya dalam bentuk puisi. Lebih lanjut, kata Aleks, membaca buku membantu penyair dalam menulis puisi lantaran memperbanyak referensi dan perbendaharaan kata.

Sore itu Aleks banyak sekali mendapatkan pertanyaan dan tanggapan. Diskusi yang pada mulanya dijadwalkan hanya berlangsung satu jam saja, ternyata baru berhenti setelah azan Maghrib selesai berkumandang. Sekitar dua jam lebih kami membayangkan sejauh apa sastra membawa cendrawasih terbang berbagi kabar. 

Salah satu peserta diskusi, Yosep Adii, di menit-menit akhir membawa kami kembali mempertanyakan hal yang paling dasar dari diskusi ini, “Apa itu puisi?”. Forum sejenak hening dan hanya ada pikiran melayang sebelum Aleks menjawab dengan tenang, “Jiwa”.[]

Fauzan Al Ayyuby, tim kerja Makassar Biennale 2021 – Nabire

[1] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta Barat: Penerbit Gang Kabel, 2016), hal 502.

[2] Martin Suryajaya, Sejarah Estetika, (Jakarta Barat: Penerbit Gang Kabel, 2016), hal 706.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan