Melihat Bunyi ‘Galon Raksasa’ dan Ironi Air: Catatan Residensi Seniman di Pangkep Bagian 2

Gelombang kedua kedatangan seniman residensi Pangkep dimulai pada Sabtu, 18 Januari 2021. Mereka adalah Kifu dan Dian dari Palu, Sulawesi Tengah. Seniman dari Forum Sudut Pandang. Mereka tiba saat tim kerja sedang menyiapkan proses rekaman monolog esai Adnan Muis di studio Kominfo Pangkep. 

Selain Kifu dan Dian, Ule dari komunitas Muara Suara Samarinda, Kalimantan Timur yang rencananya datang bersama Dahri juga tiba di hari yang sama. Ule terkendala persyaratan vaksin sehingga tak bisa berangkat dua pekan sebelumnya.

Beragam siasat mulai tergambar kembali guna menemani para seniman ini berkunjung ke sejumlah tempat di Pangkep. Seperti Dahri, satu hal yang membuat seniman datang ke Pangkep adalah magnet lukisan purba di sejumlah gua.

Waktu makin kasip mengingat jadwal perhelatan MB 2021 di Pangkep dibuka pada 25 September. Menjelang tanggal itu, segala hal disiapkan, mulai dari tempat pembukaan hingga jadwal pelaksanaan sejumlah program yang akan dilaksanakan secara perdana itu. Tim MB Makassar yang telah selesai melakukan pendokumentasian di Parepare keesokan harinya singgah ke Pangkep untuk melihat lokasi yang bakal dipakai.

Pada titik itu, rumah informasi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Kampung Belae yang semula dipilih menjadi tempat penyelenggaraan belum menemukan titik terang, surat yang telah dilayangkan sebelumnya mentok karena meminta tambahan persyaratan dari Satgas Covid 19 setempat. Sayangnya, hal tersebut tidak didapatkan karena tim kerja Pangkep tak mampu memenuhi syarat yang diminta, sehingga perlu dilakukan upaya lanjutan. 

Komunikasi lanjutan yang ditempuh dengan BPCB akhirnya membuahkan kebijakan alternatif, rumah informasi boleh digunakan tetapi cuma dua hari dan peserta tidak menginap. Upaya lain yang ditempuh ialah, tim kerja melalui Afdhal dan Saenal mengusulkan agar rumah eks kepala Kadis PU di Belae yang biasa digunakan untuk pengkaderan himpunan mahasiswa bisa menjadi pilihan. Pada akhirnya rumah di ujung Kampung Belae itulah yang dipakai dan menjadi pusat perhelatan MB Pangkep. 

Ironi Air dan Strukturisasi Pengalaman

Hari ketika Kifu, Dian, dan Ule tiba di Pangkep, tim kerja masih berusaha mendapatkan rumah indekos yang bisa disewa selama sebulan. Upaya itu tidak membuahkan hasil hingga menjelang azan duhur berkumandang. Jadi, selama kurang lebih tiga jam Kifu dan Dian beristirahat di gedung Kominfo Pangkep. 

Menjelang pukul dua siang, informasi indekos kunjung ada kabar. Setelah mengontak beberapa teman, mereka  mengabarkan jika mustahil mendapatkan indekos hari itu juga. Tapi, kira-kira seminggu sebelumnya, Badauni AP sudah menawarkan rumahnya di Kabba untuk dipakai sebagai tempat menginap seniman residensi, termasuk pagelaran MB juga bisa di sana. Tawaran itu kami pending dengan pertimbangan mengenai beberapa hal. Termasuk riuh pelaksanaan program yang mungkin saja membuat risi tetangga di sana. 

Namun karena indekos belum ada kabar, tawaran itu dikomunikasikan kembali ke Badauni.  Kabar baiknya, ia kembali mengulang kalimatnya kalau teman-teman seniman bisa tinggal di rumahnya.“Orang tua juga senang kalau ada keramaian di rumah. Dulu juga ketika Asdar Muis RMS masih hidup, ia kerap berteriak membacakan esainya di malam buta,” sambutnya. 

Hal yang menakjubkan sekaligus mengherankan rupanya dialami tiga seniman selama tinggal di Kabba, rumah Badauni. Tentu ada keheranan di benak Kifu, Dian dan Ule mengapa air tidak mengalir lancar. Semula mungkin biasa saja, tetapi keheranan itu mulai mengusik ketika di satu malam, Ady Supriadi bertandang ke Kabba dan berbincang mengenai galon raksasa, istilah yang dipakai Ady menggambarkan bentangan karst.

Secara teknis, jalur pipa PDAM yang terpasang di kawasan rumahnya Badauni itu memang kecil. Keluhan kurangnya debit air juga sudah lama berlangsung dan dirasakan warga. Situasi itu semakin parah ketika memasuki siklus kemarau yang biasanya mulai berlangsung pada bulan Juli. 

Rupanya, pengalaman selama tinggal di Kabba, direspons Kifu dan Dian dengan mengontruksinya menjadi sentilan kritis dalam pementasan yang diperagakan di malam akhir gelaran MB di Pangkep. Di satu kesempatan, Kifu pernah menanyakan tentang satu bangunan yang dilihatnya sebagai konstruksi futuristik karena bentuknya sungguh berbeda. Bangunan yang dimaksud ialah tempat penampungan air PDAM yang orang Pangkep kadang sebut sebagai senter terbalik.

Di tengah kota, ada yang berpura-pura menjadi galon raksasa.

Tidak hanya terbuat dari batu, ia adalah campuran semen dengan penampilan yang lebih futuristik.

Menjanjikan air di musim-musim kemarau.

Demikian Kifu menarasikan menara air PDAM itu. Imajinasinya terkoneksi dengan fakta yang memang terjadi. Di kompleks perumahan saya juga, yang jaringan pipanya bersumber dari menara itu, memang tidak bisa diandalkan. Sejauh ini, warga di kompleks masih ada yang membeli air untuk memenuhi kebutuhan. Semakin ironi karena itu tetap dilakukan di musim hujan. Jadi, ada pemandangan kontras ketika hujan menderas dan warga memesan air. Meski begitu, sembari mengeluhkan air PDAM yang tidak mengalir, kewajiban membayar beban meteran air tetap menjadi kewajiban warga.

Selama sepekan menjalani residensi di Pangkep, Kifu, Dian, dan Ule memang fokus pada pengamatan bentangan “galon raksasa” itu. Tim kerja menunjukkan variasi pemanfaatan kawasan karst baik itu berupa gua yang menyimpan lukisan cadas maupun lokasi karst yang dijadikan kawasan wisata sekaligus sumber air yang dikelola PDAM untuk didistribusikan ke rumah warga.

September seharusnya memang musim kemarau. Siklus ini sudah dipahami dengan baik oleh warga. Musim panen kemarau sudah selesai dan sisa menunggu musim hujan yang biasanya mulai turun di akhir Oktober. Namun, pembacaan tersebut mulai berubah. Siklus perubahan musim membuat heran karena hujan deras sesekali mengguyur. Jika memakai rujukan perubahan cuaca maka fenomena ini tentu berkaitan dengan perubahan cuaca ekstrem (climate change) akibat pemanasan global.

Hujan di musim kemarau.

Air segan mengalir, sekalinya turun

dari langit, ia beradu dengan tanah.

Kalimat puitik di atas juga bagian narasi pementasan Kifu. Ada kesaksian hujan di musim kemarau. Ini mengingatkan satu larik dalam lagu berjudul Biar Putih Tulang  yang dipopularkan Dinamik, band Malaysia dekade 90-an.

Terbakar dalam hujan mustahil bagi diriku

Banjir dalam kemarau takdir yang akan menentukan

Kifu, Dian, dan Ule serasa melihat bunyi air yang melepaskan dahaga-sekaligus itu ironi baginya. Kita bisa menebak keheranannya.

Kalau mau, cukup menempuh beberapa kilometer saja hingga sampai ke bebatuan kapur besar.

Bebatuan itu ‘hidup’, dan mengeluarkan air. 

Kalau kata orang sini, galon raksasa.

Lokasi bebatuan kapur besar yang dimaksud ialah Leang Lonrong, kawasan karst di Desa Panaikang yang dijadikan kawasan wisata, berjarak sekitar 3 km dari lokasi rumah yang ditempatinya. Di sana pula hulu jaringan pipa PDAM. Namun, sayangnya, debit air yang sampai sangat sedikit.

Berjarak sekitar 4 km dari Leang Lonrong ke sisi timur, ada bekas area produksi PT Semen Tonasa yang mulai beroperasi pada 1968 hingga 1984. Rentang 16 tahun masa produksi itu tentu telah terjadi perebutan air antara perusahaan dan kebutuhan air untuk warga. 

Dari kesaksian warga di Kabba, pada dekade 70-an mereka sudah mengalami kekeringan air sumur sehingga perlu antre di beberapa sumur komunal untuk mendapatkan pasokan air di musim kemarau. Saat itu jaringan pipa PDAM belum terpasang dan baru mulai dibangun pada paruh akhir 90-an.

Air memang menjadi ironi di Pangkep. Di satu lokus, air masih melimpah dan di tempat lain sungguh miris dan menjadi horor bagi warga. Dulu, ada masa Kabba menjadi ruang sosial bagi warga kampung sebelah, Baru-Baru Tangnga dan Japing-Japing untuk mengambil air di musim kemarau melalui sumur warga. Lokasi sumur warga itu tak jauh dari rumah yang ditempati Kifu, Dian, dan Ule. Sayang, tim kerja lupa membawa ketiganya melihat kondisi sumur tersebut. Namun, setelah jaringan pipa PDAM terpasang, perubahan perilaku warga dalam mendapatkan air tentu berubah. Di balik kepraktisan memutar keran air, ruang sosial di beranda sumur juga hilang begitupun dengan perlakuan atas sumur.

Danau Cinta atau Lubang Derita?

Sebuah hadiah romantis dari perusahaan

semen, sebagai balasan karena telah

diberikan kesempatan untuk memiliki

sepenuhnya (tanah dan air) untuk mimpi-mimpinya

yang tinggi.

Ketika tim kerja mengantar Kifu, Dian, dan Ule ke lokasi bekas tambang Semen Tonasa, selain area pabrik yang kini disulap menjadi wahana wisata yang dinamakan Tonasa Park, ada juga bekas galian C yang masih tersisa dan kini disebut ‘Danau Cinta’, entah siapa yang memulai penamaan ini. Tetapi, jika merujuk pada situasi yang berkembang, area itu sering dijadikan ajang jumpa muda mudi. Jadi, penamaan ‘Danau Cinta’ mungkin sebutan generik karena di tempat lain di Pangkep ada juga ‘Jembatan Cinta’ yang dijadikan ruang bagi pasangan muda mudi berjumpa.

Galian C itu harusnya ditimbun kembali sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan, tapi karena dibiarkan begitu saja, banyak dampak yang ditimbulkan. “Saya melihat anak-anak mandi-mandi di situ,” tukas Kifu. Dalam sesi bincang usai presentasi, Ady Supriadi menanggapi kalau kedalaman galian itu pernah diukur menggunakan dua batang bambu dan itu tidak cukup. Selintas mungkin saja nampak indah, namun area itu tetaplah bekas galian tambang.

Ada keganjilan jika itu disebut hadiah romantis sebab ada pengaburan tanggung jawab perusahaan bersangkutan. Seingat saya, bekas galian itu tidak bebas akses. Di masa sekolah menengah pertama (SMP) pada 1997-1998 tak pernah ada teman sepantaran yang tinggal dekat dari lokasi itu yang menyampaikan keberadaan danau tersebut, yang sering disebut dan didatangi justru bekas galian lain yang dikenal Kuari karena lokasinya berada di tepi jalan poros Tonasa I. Artinya, dari seliweran informasi, jika kita melakukan browsing dengan kata kunci: danau cinta maka jawabannya lokasi tersebut “wisata tersembunyi”. Ya, tentu tersembunyi karena memang lokasi bekas tambang.

“Saya belum pernah mengunjungi Tonasa Park,” tukas Ady. Area bekas pabrik Tonasa I itu mulai dibuka pada 2018 sebagai wahana wisata sejarah. Tetapi, bagi Ady, konsep itu justru sebagai ruang melihat derita masa lalu. “Kita seperti menyepakati eksplorasi karst di masa lalu,” tambahnya. 

Mengumpulkan kisah di balik peristiwa memang tidak bisa cepat. Ada kompleksitas yang perlu diuraikan. Meski demikian, apa yang telah diupayakan Kifu dan Dian, juga Ule dalam menjalani residensi MB di Pangkep bisa disebut sebagai prolog yang mengantar kita pada penelusuran lebih panjang ke depannya. Semoga.[] 

F Daus AR , tim kerja Makassar Biennale 2021 – Pangkep

***

Referensi:

Mengumpulkan dan Meramu, Lalu berbagi. Materi pementasan Kifu dan Dian. Pangkep 18-28 Oktober 2021

https://ms.wikipedia.org/wiki/Dinamik_(kumpulan_muzik) (Diakses pada Selasa, 12 Oktober 2021. Pukul 10.00 Wita)

https://id.wikipedia.org/wiki/Semen_Tonasa#Tonasa_I (Diakses pada Selasa, 12 Oktober 2021. Pukul 11.20 Wita)

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan