Debut Nonton Rock In Celebes

Lafal terakhir adzan maghrib telah selesai dilantunkan. Selang beberapa detik setelah itu, mobil yang kami tumpangi mulai memelankan laju dan berhenti tepat di depan Gereja Katedral Makassar.

Saya dan teman-teman yang menumpangi mobil tersebut pun turun satu per satu dari atas mobil. Saat saya mulai melangkahkan kaki, di sepanjang jalan ada sepuluh, lima belas, atau mungkin lebih dari tiga puluh orang terlihat memadati trotoar jalan. Ada yang berdiri, ada yang berjongkok, dan ada yang bercengkrama dengan sesamanya, mereka semua sedang menunggu hal yang sama, yakni dimulainya konser Rock In Celebes (RIC) di Lapangan Basket Karebosi.

“Ramai juga yah” adalah kalimat yang saya ucapkan dalam hati untuk merespons apa yang baru saja saya lihat itu. Betapa tidak, dalam kondisi konser belum dimulai dan orang-orang yang datang untuk menonton masih terpencar-pencar saja kondisi sudah seramai itu. Membuat saya sempat merasa cemas melihat ada begitu banyak orang. Belum lagi apabila konser sudah dimulai dan orang-orang yang tadi terpencar-terpencar itu berkumpul dalam satu area di depan panggung.

Padahal saat ini, kita masih berada dalam kondisi yang masih belum sepenuhnya lepas dari Covid-19, yang berarti bahwa segala aktivitas masih dilakukan secara terbatas, tak terkecuali RIC. Hal yang membuat saya, yang tidak punya pengalaman nonton konser ini, membatin bahwa andainya kondisi sedang tidak pandemi, pasti ramainya akan berkali-kali lipat.

Ya, saya tidak punya pengalaman nonton konser. RIC menjadi konser pertama yang saya datangi. Hal itu pun bisa terjadi sebab saya ditugaskan untuk melakukan liputan, sehingga saya harus datang dan mengalami konsernya secara langsung. Sebelumnya, saya belum pernah bahkan tidak pernah sama sekali berpikiran untuk meluangkan waktu dan tenaga menghadiri konser. Sebab sulit diterima oleh akal saya ketika harus menikmati musik dengan harus saling berdesakan dan berada dalam posisi berdiri sepanjang konser berlangsung. Tapi di RIC 2021 akhirnya saya ‘pecah telur’.

Saat memasuki Lapangan Basket Karebosi, saya melihat bagaimana lokasi yang umumnya digunakan untuk bermain basket itu seketika menjelma menjadi tempat gelaran konser, yang membuatnya berubah secara tampilan dan secara fungsi. Terdapat panggung, sound system berukuran besar, sinaran lampu-lampu sorot, tenant makanan, dan tentunya orang-orang yang datang untuk menonton penampilan musik dengan menggunakan pakaian bernuansa hitam-hitam sedang berjejer mengantre di loket registrasi.

Saya pun turut mengantre di loket registrasi yang disediakan khusus untuk perempuan. Saat tiba di antrean paling depan terlebih dahulu saya membersihkan tangan saya menggunakan hand sanitizer yang disediakan.

Sebelum masuk ke area konser, ada beberapa tahap pemeriksaan yang harus dilalui terlebih dahulu. Pertama tentu kami diminta menunjukkan gelang tiket atau ID Card. Selanjutnya, suhu tubuh saya diperiksa, kartu vaksin saya diminta agar diperlihatkan, dan diingatkan agar senantiasa mengenakan masker. Petugas juga meminta izin untuk memeriksa tas dan melakukan check body, katanya untuk menyortir barang bawaan yang mungkin saja bisa membahayakan keberlangsungan konser. Selain itu, terdapat pula aturan untuk tidak membawa miras ke dalam lokasi konser, sehingga setiap botol minum yang dibawa oleh penonton pun diperiksa demi menghindari ada penonton yang menyelundupkan miras lewat botol minum mereka. Lalu saya pun masuk ke area konser.

Dua Pertanyaan tentang Menikmati Konser

Setelah memasuki area konser, ada satu hal yang langsung menarik perhatian saya. Hal yang menurut saya berbeda dari referensi konser yang biasanya saya lihat di Youtube: ada panggung dan lokasi lapang di hadapannya sebagai tempat untuk penonton. Kali ini, di lokasi yang seharusnya lapang itu saya melihat ada kursi-kursi yang berjejeran. Kursi-kursi tersebut disusun secara berjarak dengan posisi menghadap ke arah panggung.

Belakangan barulah saya mengetahui bahwa ternyata kursi-kursi yang disusun berjarak itu adalah salah satu siasat yang dilakukan oleh pelaksana untuk berkompromi dengan keadaan yang masih harus waspada virus Covid-19. Kursi-kursi itu juga dimaksudkan agar penonton tidak meninggalkan posisinya dari atas kursi tersebut demi menghindari terciptanya kerumunan saat konser berlangsung, sehingga jarak antar penonton tetap bisa terjaga.

Tapi kemudian muncul dua pertanyaan di kepala saya. Pertama, “bagaimana menikmati konser dengan posisi duduk?” Sependek pengetahuan saya, setelah melihat rekaman video, gambar, dan mendengar pengalaman dari beberapa teman: semua menunjukkan bahwa konser itu enaknya dinikmati dengan posisi berdiri. Katanya agar leluasa untuk menari bahkan melompat demi mengekspresikan semangat dalam mengikuti irama musik yang ada. Ada juga teman yang pernah berpendapat bahwa menikmati konser dengan posisi duduk itu ‘vibesnya gak dapet’, terkesan formal, dan sangat kaku. Sehingga bila memang demikian, bagaimana mungkin menikmati konser dengan posisi duduk?

Kedua, “bukankah konsep menikmati konser dengan duduk menjadi lebih masuk akal bagi saya yang tidak mengamini untuk berdesak-desakan ini?” Sehingga untuk mempercepat mendapat jawaban atas pertanyaan itu, saya pun memilih salah satu kursi yang masih kosong untuk saya duduki dalam menikmati konser yang sebentar lagi akan berlangsung.

Tidak lama berselang, lampu sorot perlahan diredupkan hingga akhirnya padam. Kondisi di area duduk penonton dan di atas panggung menjadi lebih gelap, menyisakan backdrop yang menjadi sumber cahaya yang menyorot dari depan, membuat siapa saja yang di atas panggung hanya akan terlihat siluetnya. Dari atas panggung, saya melihat lima orang sedang menata alat, mengangkat sesuatu yang tampaknya seperti drum, menyesuaikan penyangga untuk pelantang, dan beberapa hal teknis lainnya. Beberapa waktu kemudian, dua orang dari mereka terlihat meninggalkan panggung dan lampu sorot kembali dinyalakan. Ternyata tiga orang yang tersisa adalah personel dari band yang akan tampil. Lalu, terdengarlah suara latar yang menyampaikan sambutan untuk Ambiverbs ft. Artha.

Ambiverbs ft. Artha adalah salah satu penampil lokal Makassar yang pada malam itu membawakan beberapa lagu, satu di antaranya ialah lagu bertajuk Cosmic Love.

Lapbas Karebosi, Titik Awal Sejarah RIC Dimulai

Setelah Ambiverbs ft. Artha membawakan lagu terakhir mereka. Seseorang terlihat menaiki panggung dengan menenteng sebuah buku. Orang itu adalah Andi Muhammad Ikhlas, salah satu pencetus RIC yang akrab disapa Iko.

Kepada penonton, Iko menyampaikan terima kasih karena masih setia untuk hadir menikmati gelaran RIC tahun itu yang telah menemui hari ke-6 pelaksanaannya di Lapangan Basket Karebosi.

Lapangan Basket Karebosi yang menjadi lokasi gelaran pada hari ke-6 tersebut ternyata merupakan lokasi saat pertama kali RIC digelar pada 12 tahun lalu. Saat  itu, 8 Desember 2010, Iko bersama sahabatnya, Ardy Siji, mengawali sejarah RIC dengan menginisiasi sebuah konser yang dihadirkan agar bisa dinikmati oleh semua orang dan bisa menjadi panggung untuk band dan musisi dari segmen musik apa saja, khususnya band-band Makassar.

“Ini membuat saya merinding, mengingat bahwa Lapbas (Lapangan Basket) ini adalah saksi bisu terhadap awal lahirnya festival musik tahunan terbesar di Makassar yang kita kenal sebagai RIC ini,” ucap Iko.

Hal yang disampaikan oleh Iko terkait Lapangan Basket Karebosi sebagai titik awal sejarah RIC tersebut, tercatat dalam buku bertajuk Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar yang ditulis oleh Anwar Jimpe Rachman. Buku yang merekam dan mencatat sejarah musik di Makassar sejak 1920 itu turut diterbitkan bersamaan dengan gelaran RIC ke-12 tahun ini. Selain mencatat sejarah musik pop secara umum, secara spesifik buku tersebut juga mencatat perjalanan Rock In Celebes selama 10 tahun (2010-2019) hadir memberikan warna tersendiri dalam perkembangan musik di Makassar.

Gelaran pertama RIC di Lapangan Basket Karebosi pada saat itu dilaksanakan dengan menampilkan band-band cadas Makassar seperti diantaranya Accidental Killing, Critical Defacement, Hitam Pekat, dan beberapa lainnya. Hal itu membuat RIC dikenal sebagai ‘festival rock pertama di luar Pulau Jawa’ pada saat itu, mengingat bahwa gelaran semacam itu umumnya berlangsung di luar Makassar.[1]

Berbeda dengan saat pertama kali digelar, pelaksanaan RIC di tahun-tahun selanjutnya, hingga pada tahun ke-12 ini, dilaksanakan dengan menghadirkan band-band yang tidak hanya berasal dari satu genre musik saja. Tapi dihadirkan pula band-band pop dan folk, sebagaimana harapan awal RIC yang diharapkan dapat menjadi ruang untuk siapa saja dari segmen musik apa saja. Adapun band-band yang menjadi pengisi pada gelaran hari ke-6 tersebut diantaranya ada Hi Tom/Hi Dave, yang membuka konser pada pukul 16.10 Wita. Kemudian dilanjutkan oleh penampilan dari band-band lokal lainnya yaitu Failures9997, Minor Bebas, Bluemontana, dan Ambiverbs ft. Artha.

Selain di Lapangan Basket Karebosi, gelaran RIC ke-12 ini juga dilaksanakan di sembilan lokasi lainnya di Makassar. Hal tersebut dilakukan sebagai satu upaya untuk menghadirkan pengalaman baru dalam menikmati gelaran RIC. Selain itu juga merupakan salah satu siasat yang ditempuh untuk tetap berupaya mematuhi protokol kesehatan dengan meminimalisir terjadinya kerumunan.[2]

Jason Ranti Menjawab Dua Pertanyaan tentang Menikmati Konser

Pelaksanaan RIC malam itu menampilkan Jason Ranti sebagai penampil terakhir, yang pada tahun ini menjadi panggung keduanya di RIC setelah pada 2018.

Saat mendengar suara latar menginformasikan bahwa musisi yang selanjutnya akan tampil adalah Jason Ranti, para penonton yang hadir pun bertepuk tangan dan berteriak riuh. Dari sisi kiri, terlihat seorang dengan kepala botak menaiki panggung. Kemudian, dari arah belakang saya terdengar salah seorang penonton berkata, “Iya tawwa botak ki dih…” saat melihat penampilan dari lelaki yang akrab disapa Jeje tersebut hadir tanpa rambut gondrongnya lagi.

Jason Ranti menampilkan beberapa lagu yang tidak asing di telinga saya. Namun, dari semua lagu yang dinyanyikan, tidak ada satupun yang saya tahu persis judulnya. Saya hanya tahu dan familiar dengan beberapa penggalan lirik dari lagunya sebab kerap saya dengar dinyanyikan oleh teman-teman di kampus maupun di tongkrongan.

Ketika Jeje menyanyikan lagu pertama, penonton yang dudukikut bernyanyi, tidak ada satu kata pun yang mereka lewatkan, membuat suara sang penyanyi tenggelam oleh suara penonton yang lebih ramai.

Saat tiba pada penggalan-penggalan lirik yang saya tahu, saya pun turut bernyanyi sambil menggerakkan badan saya ke kiri dan ke kanan mengikuti irama lagu.

Penonton yang lain pun demikian.Tanpa meninggalkan kursi, mereka yang hadir terlihat menikmati musik dengan menggerakkan tubuh mengikuti irama. Beberapa terlihat melambai-lambaikan tangan di udara dari kiri lalu ke kanan.

Menikmati konser dengan duduk di kursi ternyata tidak sekaku yang teman saya jelaskan. Buktinya penonton yang mungkin biasanya menikmati konser dengan berdiri dan berdesak-desakan, tampak sangat begitu menikmati meski harus duduk di kursi dan berjarak dengan penonton lain. Apalagi bagi saya yang sama sekali tidak punya pengalaman menonton konser. Menikmati konser dengan duduk, menurut saya, jadinya malah lebih santai karena kaki dan punggung saya jadi lebih rileks, sebab saya bisa merebahkan punggung saya pada sandaran kursi.

Pertanyaan pertama terjawab!

Jeje pun tiba pada lagu terakhir. Saat dia memetik gitar untuk menciptakan paduan nada dari intro lagu yang hendak dia nyanyikan, para penonton kembali riuh dan semakin ramai bertepuk tangan. Dalam hati saya menebak bahwa mungkin lagu terakhir yang akan dibawakan oleh Jeje itu adalah salah satu lagu pamungkasnya, sehingga para penonton bereaksi seperti demikian.

Melihat reaksi penonton yang penuh semangat itu, Jeje tiba-tiba menghentikan petikannya dan bertanya kepada penonton “Pengen berdiri gak? Berdiri aja deh biar seru yah!”

Itu tentu disambut para penonton. Tanpa menunggu waktu, para penonton pun berdiri dari posisi duduk mereka. Beberapa mencoba mendekat ke arah panggung dan beberapa lainnya terlihat naik di atas kursi untuk mendapatkan pemandangan menonton yang lebih luas.

Saya pun ikut berdiri, tapi belum cukup berani untuk maju mendekat ke arah panggung. Akhirnya saya memilih untuk naik di atas kursi. Dari atas kursi, saya melihat para penonton yang tadi maju mendekat ke arah panggung berada dalam jarak yang sangat dekat satu dengan lainnya.Mereka berada dalam posisi berdiri sambil bernyanyi, menari, bahkan melompat untuk menikmati lagu.

Melihat hal itu, hadir perasaan—semacam rasa—semangat yang terpacu dari dalam diri saya. Sensasi gembira dan lega juga saya rasakan sekaligus. Intinya kondisi itu menyalurkan energi yang sangat positif kepada saya.

Saya pun akhirnya tahu alasan mengapa lebih banyak orang memilih menikmati konser dengan berdiri dan berdesak-desakan daripada duduk di kursi dengan posisi berjarak. Sebab sensasinya memang jauh menyenangkan.

Pertanyaan kedua terjawab!

Kemudian muncullah satu pertanyaan baru. Setelah pengalaman yang ternyata menyenangkan itu. Kelak, di hari-hari depan, akankah saya memutuskan untuk nonton konser lagi?[]

Wahyuni Hasdar, tim kerja ArtefactID


[1]Anwar Jimpe Rachman, Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar (Tanahindie Press – Rock In Celebes), 2021.

[2]Sirkuit musik Rock In Celebes, pertunjukan langsung selama sepuluh hari berturut-turut pada 10-19 Desember 2021, https://rockincelebes.com/transformasi-festival-rock-in-celebes-di-tahun-ke-12-2/, diakses pada 16 Desember 2021.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan