Melankoli dan Percobaan Bunyi dalam Soundsphere

Bebunyian dapat mengantar kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melacak jejak masa lalu dengan merekamnya lewat bunyi dan menjumpai banyak kenangan di sana. Namun lewat bunyi pula memungkinkan terjadi banyak hal bagi banyak orang.

Malam itu, Fami Redwan membuka gelaran seri pertama itu dengan menceritakan pengalaman halaman rumahnya bermula dari masa kecilnya. Fami adalah nama lama kancah musik Makassar, personil musik The Hotdogs, sebuah grup musik punk rock Makassar. Pada kurun waktu 2000-an, Fami mendirikan proyek musik solo bernama Tragic Soundsystem dengan memainkan musik-musik dub/reggae/ska/rocksteady lintas zaman, ras, dan teritori dengan maksud mencoba bermusik di aliran lain. Dalam proyek solonya, Fami memutuskan untuk tidak menciptakan lagu sendiri dengan alasan peralatan musiknya yang sub-standard dan skillnya dirasa belum cukup. Pada pertengahan tahun 2014 lalu, Fami dan Elevation Records melakukan kolaborasi audio visual, merilis kaset dan CD berisikan lima lagu di EP International Bitter Day.

Malam itu pukul 19.45, Fami memulai kisah masa kecilnya di Jakarta saat berumur 5 tahun. “Pertama kali saya berinteraksi dengan halaman rumah saat tinggal di Jakarta dan berpindah rumah dari permukiman perkotaan yang padat ke kawasan ‘pinggiran’ yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Halaman rumahku yang cukup luas waktu itu, di sekitarnya tumbuh rumput alang-alang menjadi awal interaksi saya dengan halaman rumah,” kenangnya. Ia lantas mengandaikan halaman rumah sebagai tempat sembunyi paling nyaman.

Disela-sela Fami bercerita, petikan gitar intro lagu Cikal (Iwan Fals) tiba-tiba dimainkannya. Lirik lagu Cikal yang berulang-ulang seketika mengetuk batinku, entah karena apa, saya merasa terlalu sensitif atau merasa aneh saja. Fami kemudian membangun mood dengan isian petikan gitarnya dilengkapi dengan vokalnya yang pelan, rendah, dan basah.

Cerita Fami berlanjut saat pindah ke Makassar dan tinggal dalam lingkungan kompleks perumahan. Fami mengatakan, ketika ingin hidup di kota dan berencana untuk berkeluarga, “Usahakan tinggal di dalam kompleks karena di kompleks kendaraan cenderung lebih pelan dan anak-anak lebih mudah dipantau saat bermain.” Ujaran itu disambut senyum dikulum beberapa penyimak.

Presentasi karya Fami Redwan. (Foto oleh Ibe M Palogai)

Fami kemudian berkisah saat usia remajanya tahun 1991, ketika bapaknya pulang dari sekolah dan diberi hadiah dua buah walkman, satunya merek Sony dan satunya lagi Aiwa. “Kalau saya dengarkan lagu menggunakan walkman Sony, saking bagusnya suaranya, sampai-sampai cewek yang saya taksir lewat di depan halaman rumahku tidak saya perhatikan lagi,” akunya sambil tersenyum. Setiap lagu punya cerita bagi Fami, demikian halnya dengan lagu Waiting in Vain (Bob Marley). Ia nyanyikan untuk mewakili cerita masa remajanya yang disambung dengan Terbunuh Sepi (Slank) sebagai pengantar untuk menceritakan masa SMA-nya.

Tidak lama setelah lagu Slank itu selesai, ia melanjutkan kisah masa SMA-nya di bilangan Jalan Cendrawasih, Kota Makassar saat masih duduk di kelas satu. “Suatu ketika sepulang dari sekolah menuju rumah, saya langsung mengambil gitar dan memainkannya di halaman rumah dalam keadaan telanjang,” jelas lelaki berkacamata ini.

Lagu Bob Marley menjadi salah satu lagu yang kerap kali dinyanyikan Fami yang membuatnya teringat dengan Malino, kawasan wisata berupa bukit dan lembah. Fami mengakui dirinya menyukai tempat ketinggian, berada di tempat yang tinggi memberinya kebebasan tersendiri. Seperti halnya saat Fami tinggal di Bandung dengan menyewa kos-kosan bertingkat di lantai paling atas—selalu menjadi temapat pilihannya.

“Begitu jendela dibuka terlihat semua pemandangan yang ada di bawah, baik pohon-pohon, atap-atap perumahan, dan kendaraan seperti suatu kesatuan halaman rumah milik saya meskipun bukan kepunyaan saya,” cetus Fami. Lagu Redemption Song kemudian dinyanyikan Fami sebagai representasi kebebasan berpikirnya, kebebasannya dalam berkarya. Bagi Fami musiklah yang menyadarkan sekaligus mendamaikan perasaannya dan hidupnya tidak pernah jauh-jauh dari musik.

Beberapa seri lagu dari dalam maupun luar negeri yang dicover Fami dengan gaya musik story tellingnya yang polos dan sederhana, ibarat kaleidoskop pengalaman masa kecilnya hingga menginjak umur empat puluh tahun. Pendengar seakan diajak tur menikmati cerita pengalaman fase hidupnya.

Tiba giliran Suhud Madjid mempresentasikan karyanya. Berbeda dengan model presentasi Fami, Suhud mengawalinya dengan memperkenalkan alat temuannya yang dirangkai sederhana. Alatnya berupa kabel jenis standar yang disambungkan dengan skun (sepatu kabel) berfungsi sebagai penyambungan kabel yang diberi selotip bening kemudian ditempelkan ke tempat atau benda (yang menjadi sumber bunyi). Selain skun kabel tadi, komponen speaker juga digunakan—disambungkan dengan kabel yang dilekatkan ke suatu benda yang akan direkam bunyinya. Nama alatnya adalah sound contact/med-contact, dan “Bisa dipakai di bidang penelitian bunyi,” kata Suhud.

Alat eksperimen bunyi (sound contact) yang dibuat Suhud sangat sederhana dan terbilang praktis. Bahan untuk membuat alat perekam bunyi ini hanya membutuhkan modal sepuluh ribu rupiah sampai lima belas ribu rupiah, bahannya bisa didapatkan di toko listrik, “Khusus untuk speaker, bisa kita ambil dari radio atau sound yang rusak,” jelas Suhud. Alat perekam bunyi ini dapat digunakan untuk mengelola bunyi-bunyi yang sering kita dengar dalam aktivitas sehari-hari atau bunyi khalayak sekitar.

Percobaan Suhud Madjid dengan mangkuk yang diisi air. (Foto oleh Ibe M Palogai)

Malam itu, Suhud mencoba mempraktikkan alat eksperimen bunyinya yang ditempelkan ke sisir yang kemudian digosok secara perlahan menghasilkan bunyi gesekan yang direkam dalam mixer audio. Dalam percobaan lainnya menggunakan mangkuk, di mana mangkuk ini diisi air yang dituangkan dengan pelan menghasilkan bunyi efek air yang mengalir. Percobaan terakhir menggunakan komponen speaker yang dilekatkan pada kursi drum bekas yang diketuk-ketuk dengan tempo pelan menimbulkan tiruan ketukan bunyi drum.

Dalam percobaan-percobaan yang dipraktikkan Kak Suhud, penonton tampak dibuat takjub mendengarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan lewat alat perekam bunyi yang sederhana dan praktis itu. Mungkin karena sebagian besar pengunjung dibuat penasaran dan keheranan akan bunyi yang dihasilkan dari sound contact rakitan Kak Suhud membuat penonton tiba-tiba mengubah posisinya, yang awalnya duduk kemudian berdiri, yang jauh kemudian mendekat, merapat. Suasana malam itu seperti pertunjukan penjual obat keliling di pinggir-pinggir jalan atau di pasar-pasar tradisional.

Dalam petikan catatan konsep karya Kak Suhud, Bermain dengan Bunyi, ditulisnya, “Sadar ataupun tanpa sadar kita telah berinteraksi dengan lingkungan kita. Di sekitar rumah banyak sekali elemen-elemen pembentuk suasana lingkungan. Ada suara mesin bengkel di samping rumah sebagai suatu penanda telah dimulainya sebuah aktivitas. Bahkan jika di kota masih tersisa suara burung di pagi hari. Saya senang mendengar dan merasakan itu semua, bahkan sejak lama saya selalu berpikir untuk merekam bunyi dari aktivitas-aktivitas itu. Teknologi pun sangat mendukung ide tersebut. Perkembangan dunia digital yang tidak semakin ekslusif akhirnya terjangkau juga. Di sebuah halaman rumah, jika kita mengamati lebih jauh, banyak peristiwa bunyi yang terjadi dan bisa untuk dinikmati, bahkan sebenarnya kita bisa bermain dengan bunyian itu.”

Menurut Kak Suhud, kita dapat berinteraksi atau bermain lewat bunyi dengan merekam lingkungan sekitar. Secara pribadi, Suhud berharap ada kolaborasi meskipun background seseorang adalah pemusik, “Kita bisa ke luar mengeksplor bunyi di kota, halaman rumah di kota bisa di mana saja, di jalanan, jembatan, atau di area lain di kota,” cetusnya.

Setelah presentasi Suhud, giliran Juang Manyala menceritakan pengalaman masa kecilnya hingga sekarang berkeluarga. Juang merupakan eks penghuni Melismatis, band yang bubar pada pertengahan 2016, lalu melanjutkan kiprahnya dalam band bernama Loka. Sejak kecil Juang sudah belajar les musik di sekolah musik sampai masa kuliah. Masa kecilnya tinggal bersama neneknya di Bone, 174 km dari arah timur Kota Makassar dan menyelesaikan sekolah dasarnya di sana.

Aliran musiknya yang harmoni dan melankoli tertuang dalam konsep karyanya, yakni “Bunga di Halaman”. Suasana halaman rumah semasa di Bone bersama neneknya menjadi hal yang tak terlupakan bagi Juang. Neneknya yang sering kali menyiram bunga di halaman rumah sambil menunggu suaminya yang sedang sibuk dengan halaman rumah yang lain berbekas dalam ingatannya.

“Nenek orangnya setia, dialah yang mengajari saya menjadi lelaki yang setia,” kenangnya. Memori tentang halaman rumahnya di Bone merupakan wujud dalam proses berkeseniannya hingga saat ini. “Setiap kali saya mengerjakan musik atau berbicara tentang musik, saya selalu teringat dengan nenek dan suasana halaman rumah di Bone,” akunya.

Sesi bincang-bincang bersama Juang Manyala. (Foto oleh Aziziah Diah Aprilya)

Empat tahun belakangan, Kak Juang kerja musik di komputer, lebih banyak di komputer. Ia membuat studio di Jalan Metro Tanjung bernama Prolog dijadikan sebagai tempat berkantor dan berkarya, mengerjakan iklan dan film, misalnya film Atirah berperan sebagai penata musik. Juang mengatakan film garapan Riri Riza itu film yang menggambarkan kisah hidupnya. Ia kemudian memainkan gitarnya dengan menerjemahkan pesan dalam petikannya ke dalam lirik “Omale.. Omale… Omale… Usalai.. Utaro Uddani… Emma’.. Emma’… Emma’… Emma’……”

Selanjutnya, Kak Juang menyuguhkan kolaborasinya dengan DJ Tesar dari Makassar Noise Teror. Dalam kolaborasinya menciptakan sebuah lanskap bunyi penuh komposisi dengan petikan gitar yang diotak-atik—diimprovisasikan dengan ramuan bising. Semakin lama frekuensinya semakin cepat berkejaran dan perlahan berubah menjadi noise riuh berfrekuensi rendah. Komposisinya lebih repetitif, satu atau dua jenis nada yang ditekan terus menerus selama lima menit menghasilkan resonansi berulang-ulang dan berlapis-lapis. Uniknya, trek yang dikolaborasikan meskipun terdengar berbeda, tetapi terasa ada benang merah yang saling menghubungkan. Pendengar lalu diantarkan pada nuansa musik padat berisikan irama menggebu.

“Sesi Soundsphere pertama sebagai permulaan yang sangat baik, sangat menarik, menjanjikan, ada benih-benih yang lebih eksploratif yang ditunjukkan Suhud, soal melankoli dimunculkan  Juang dan Fami. Percobaan-percobaan seni bunyi yang dimunculkan tadi menjadi sangat penting dalam skena seni bunyi di Makassar,” jelas Kurator Soundsphere, Anwar Jimpe Rachman. “Soundsphere juga menjadi pra event Makassar Biennale 2019 untuk memancing  para pemusik mengerjakan karya-karya dalam lintas seni dengan bekerja sama berbagai kalangan dengan orientasi bunyi dipakai sebagai alat bekerja bersama menceritakan tentang halaman rumah,” lanjutnya.

Untuk edisi berikutnya, Soundsphere akan mengundang secara bergilir para pemusik lain dengan berkolaborasi bersama orang yang bukan pemusik yang rencananya akan digelar Juli 2018 di Taman Belajar Ininnawa, Bantimurung, Maros.

Soundsphere merupakan pelebaran jangkauan proyek seni dan penelitian “Halaman Rumah”, dengan melibatkan banyak pihak. Kali ini pemusik Makassar diharapkan berkontribusi dan berkolaborasi dengan menceritakan hal-hal paling sederhana, semisal pengalaman mereka tentang halaman rumah. Halaman rumah bukan hanya dalam artian fisik, tetapi sebagai sebuah gagasan tentang ruang yang lebih luas.

:: Rafsanjani, Mahasiswa Antropologi Universitas Negeri Makassar dan meneliti di Tanahindie.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan