“Hanya Ada Babak Tidak Ada Panggung” judulnya. Kumpulan tulisan yang lahir dari perhelatan Makassar Biennale (MB) 2023, sebuah festival seni rupa dua tahunan yang berusaha menghubungkan persoalan seni dengan realitas sosial dan sejarah lokal. Buku ini menjadi wadah refleksi bagi para penulis, seniman, dan pemagang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Melalui rangkaian tulisan yang tersusun di dalamnya, buku ini menjadi panggung perjalanan yang menghadirkan beragam perspektif tentang ruang, identitas, dan relasi manusia dengan kotanya.
Dengan jujur saya harus mengakui bahwa interaksi saya dengan MB sejak dilaksanakan pertama kali hingga saat ini hampir dipastikan tidak ada. Jadi, ketika buku ini diberikan dengan barter sebuah resensi untuk merespon tulisan di dalamnya, cukup ragu saya iyakan. Melalui sebuah buku - ibarat seorang penonton - saya menonton MB dari sisi terjauh panggung. Tentunya tidak akan secara penuh berimbang mengingat hanya ada 28 tulisan dari 27 penulis di 5 kota tempat pelaksanaannya (Makassar, Nabire, Pangkep, Pare-Pare, dan Labuan Bajo) yang diberi kesempatan bercerita kepada saya. Tapi layak untuk dicoba.
Judul “Hanya Ada Babak Tidak Ada Panggung” dipilih dari sebuah tulisan karya Zikri Rahman di buku ini. Ia bercerita tentang sebuah rasa yang tidak pernah benar-benar selesai ketika mengalami MB. Tulisan tersebut melihat MB bukan semata-mata sebagai peristiwa, tetapi sebuah proses pemeristiwaan yang terus berkesinambungan sehingga tidak lagi terlihat ujungnya. Sebuah penegasan bahwa MB, seperti kehidupan adalah serangkaian peristiwa yang terus berjalan, tanpa batasan jelas yang memisahkan mana yang merupakan panggung dan mana yang hanya sekadar babakan saja.
Setiap tulisan dalam buku ini diramu dengan cukup detail dalam melihat proses kreatif kerja kesenian yang berlangsung selama MB 2023. Para penulis dalam buku ini tidak mencoba menghadirkan panggung yang megah untuk memamerkan ide-ide mereka, tetapi membawa pembaca ke dalam babak-babak kecil yang kadang remeh, kadang subtil, namun selalu bermakna.
Esai-esai dalam buku ini adalah hasil dari interaksi langsung para penulis dengan berbagai dinamika yang terjadi di sekitar mereka. Para penulis menggali isu-isu lokal seperti perubahan lanskap perkotaan, peminggiran tradisi, serta transformasi budaya yang mengalami abrasi akibat digerus arus zaman. Dalam setiap babak, para penulis menghadirkan cerita-cerita mendalam tentang bagaimana seni dapat menjadi bagian dari perlawanan, adaptasi, dan rekonsiliasi terhadap perubahan tersebut. Namun karena terlalu dalam melibatkan diri pula ada beberapa bahasan yang terkesan repetitif utamanya pada bagian ‘Kurator, Seniman, dan Penulis’ dan ‘Makassar’. Mungkin karena pusat aktivitas MB adalah di Makassar, sehingga pembahasan banyak tertuju pada kota ini. Tapi hal ini cukup minim terjadi pada bagian setelahnya.
Ada esai yang terasa sangat personal menceritakan pengalaman penulis dalam menghadapi proses pemeristiwaan dalam MB. Seperti pada tulisan Jasmine Isobel Hanan Badriyah atau Bobel yang berjudul ‘Belajar Meneliti di MB 2023’. Saya tidak pernah menyangka kalau ini akan menjadi salah satu tulisan yang saya suka dalam buku ini. Bobel meminjamkan matanya kepada saya - yang belum pernah melihat MB secara langsung - untuk melihat MB 2023. Di usianya yang masih sangat muda, terlibat bekerja dengan orang-orang yang terpaut jauh usia tentu sangat membosankan. Tetapi Bobel selalu punya cara untuk melihat sesuatu dengan menarik. Sekalipun di beberapa kesempatan ia tetap merasa asing berada di antara orang-orang ini. Dan itu semua mampu ia ceritakan di dalam tulisannya. Karena itu pula saya dapat terhubung dan ikut merasakan MB 2023 tanpa hadir secara langsung.
Ada pula tulisan yang lebih bersifat analitis, menyoroti dinamika sosial dan politik yang membentuk lanskap kota-kota tempat berlangsungnya MB. Seperti pada tulisan Anita Halim yang bertajuk ‘Jelajah Mata Burung dan Mata-Kaki-Telinga’. Anita menulis dengan cukup komprehensif beberapa perspektif pembangunan kota sesuai dengan bidang keilmuannya tanpa bermaksud menggurui. Bagaimana perbedaan perpektif pembangunan ini terjadi di kota-kota besar lain, dan kini juga terjadi Makassar. Tentu ia juga memasukkan beberapa pandangan pribadinya dalam melihat proses ini baik saat berada di dalam Makassar, maupun saat melihatnya dari luar.
Kombinasi ini membuat Hanya Ada Babak, Tidak Ada Panggung menjadi buku yang tidak hanya menarik bagi mereka yang berkecimpung di dunia seni, tetapi juga bagi pembaca umum yang ingin memahami lebih dalam bagaimana seni dan budaya berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa yang digunakan dalam buku ini cenderung reflektif. Para penulis mencoba menyampaikan fakta atau analisis yang mereka alami secara langsung sekaligus menghadirkan nuansa emosional yang kuat dalam setiap tulisannya. Hal ini membuat saya merasa seolah-olah sedang mengobrol langsung dengan penulis, merasakan kegelisahan, harapan, dan kebingungan yang diungkapkan dalam babak-babak tersebut. Pendekatan ini menciptakan keterhubungan yang lebih dalam antara saya dan cerita yang disajikan sebagai babak dengan buku menjadi panggungnya.
Salah satu esai yang mencuri perhatian adalah ‘Pangkep: Prehistoric Pleasures’ karya Gandhi Eka. Sebagai satu-satunya esai bergambar di dalam buku ini, karya Gandhi adalah 6 halaman paling menyenangkan dalam pengalaman saya membaca buku ini. Sayangnya tidak ditulis/gambar dengan lebih panjang lagi.
Topik terbanyak tentu saja berisi tentang reklamasi dan dampaknya bagi warga di sekitar Kota Makassar. Mulai dari cerita di Sokola Pesisir, Pulau Lae-Lae, Pantai Marbo, dan Kera-Kera. Banyak kegelisahan tentang perubahan gaya dan cara bertahan hidup masyarakat, yang tertulis di dalam buku ini. Melalui kegelisahan ini, proses pengkaryaan pun terjadi. Dan seperti pengantar Kak Jimpe di awal, melalui MB, seni dalam pengertian luasnya, memang dijadikan sebagai panggung untuk menampakkan isu-isu yang terjadi.
Babak lain yang dikisahkan oleh Herman Degei dari Nabire memperlihatkan degradasi yang dirasakan oleh seorang seniman bernama Ellya Alexander Tebay pada beberapa aspek. Tentang Ellya yang melihat ketidakberdayaan manusia menghadapi arus modernitas yang pelan-pelan mampu mematikan rasa kemanusiaan seseorang, kemudian melukiskannya menjadi sebuah pesan untuk diwariskan ke masa depan. Esai ini menggambarkan bagaimana seni dapat menjadi media refleksi dan katalisator perubahan sosial dan pembangunan komunitas yang lebih inklusif dalam jangka panjang setidaknya di Nabire kota tempat asalnya.
Seperti kumpulan esai lainnya, buku ini memiliki struktur yang fleksibel. Pembaca dapat memilih untuk membaca esai secara berurutan atau secara acak tanpa kehilangan benang merah yang menghubungkan setiap bagian. Meskipun demikian, ada sebuah narasi besar yang terasa menyatukan seluruh esai dalam buku ini. Narasi tentang kota sebagai ruang yang terus bergerak, berubah, dan berkembang dengan segala pahit-manis yang menunggu untuk diceritakan.
Secara keseluruhan, Hanya Ada Babak Tidak Ada Panggung adalah sebuah buku yang layak mendapat perhatian selain sebagai teman berbagi pengalaman, juga untuk melihat bagaimana sebuah festival seni mampu menjadi media berproses dalam memotret isu-isu kontemporer yang dihadapi masyarakat di beberapa kota di Indonesia.
Buku ini mengajarkan bahwa seni telah melampaui estetika. Ia juga tentang bagaimana kita memahami dan merespons kota di sekitar kita. Babak-babak yang diceritakan oleh para penulis menyadarkan bahwa selain menjadi penonton, kita juga adalah aktor dalam panggung kehidupan yang terus berlangsung. Dan setiap kita layak untuk bercerita, menambah babakan pada luasnya panggung yang telah disediakan oleh MB dalam buku ini. Selamat membaca.
Judul Buku : Hanya Ada Babak, Tidak Ada Panggung
Jenis Buku : Kumpulan Esai
Penulis : Fitriani A. Dalay, dkk
Penerbit : Yayasan Makassar Biennale - Tanahindie
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Oktober 2024
Tebal : xii + 304 halaman
Prayuda Said, penulis dan pranata Humas Pemkab Gowa
Tinggalkan Balasan