, , ,

Pertunjukan Tanpa Panggung: Merayakan Rasa dan Asa Melalui Babakan

Membaca buku Hanya Ada Babak, Tidak Ada Panggung (Makassar Biennale – Tanahindie, 2024) adalah bentuk lain dari upaya mengulurkan tangan pada hal-hal yang pernah saya temui, namun belum benar-benar saya kenali. Buku ini menjadi pintu untuk kembali menyelami Makassar Biennale 2023, perhelatan budaya dua tahun sekali yang pertama kali saya dengar melalui keikutsertaan menjadi peserta Lokakarya Bakka pada Agustus 2024 lalu.

Kala itu, bersama teman-teman dari tujuh wilayah berbeda dari kota di timur Indonesia (Jayapura, Nabire, Lembata, Labuan Bajo, Parepare, Pangkep, dan Makassar), kami belajar saling mendengarkan, merayakan cerita-cerita kecil yang kami bawa, berbagi lelucon internal, hingga berakhir merayakan kebingungan bersama untuk menyiapkan pameran rancangan karya. Melalui Bakka, saya mengenal MB sebagai ruang yang tanpa pretensi menghadirkan/memunculkan kebenaran tunggal, kami justru diberi ruang untuk mendefinisikan dan menemukan makna dari apa yang kami lihat dan rasakan.

Hal serupa saya temukan dalam buku ini. Tidak ada panggung megah. Hanya kumpulan babak-babak kecil yang bersuara lirih namun jujur. Ia menjadi kendaraan bagi pembaca untuk menyusuri tempat dari berbagai sudut pandang, mendengar kisah dari beragam suara, dan memanen arsip ingatan lima kota dari kumpulan pengalaman, observasi, dan refleksi kurator, seniman, penulis residensi, tim kerja, dan pemagang tentang MB 2023.

Makassar dalam subtema “Darat Kian ke Barat” menyorot praktik reklamasi. Aziziah Diah Aprilya dalam tulisan berjudul Mengumpulkan Kembali Memori-memori yang Tertimbun mengungkap tentang praktik reklamasi di pesisir barat yang telah mencapai 157 hektar dari rencana 4.500 hektar, proyek Makassar New Port di utara juga akan menambah 1.428 hektar wilayah reklamasi. Esai lain menampilkan kontras antara kemegahan bangunan di Center Point of Indonesia yang bersanding dengan latar patah tumbuh warga Mariso dalam mempertahankan ruang hidup dan komunitas yang terancam di dalamnya. Jimbo, seniman asal Makassar, yang kini banyak berkegiatan di Bandung, lewat Gementee Makassar, mengajak siapapun menelusuri kembali kota yang sempat ia tinggalkan, membandingkan wajah Makassar dulu dan kini, serta pesan tersirat di balik raut kota yang berubah.

Melewati 171 halaman, pembaca disuguhi cerita dari Nabire dalam subtema “Belantara Suara”. Mereka berbagi bagaimana transmigrasi berdampak pada banyak hal di sana. Saya tertarik pada arsip tulisan Herman Degei berjudul Bokate: Yang Pelan-pelan Mati dari Kita, bercerita tentang pengalaman bertemu Ellya Alexandra Tebay, pegiat seni yang mengaku belum betul-betul pulih dari sakit yang dideritanya. Herman Degei menebak, gejala-gejala yang ada pada Ellya mirip demensia.

AdeKaka sudah tidak bisa lanjut berpikir lagi,” potongan kalimat yang diucapkan Ellya ketika tiba-tiba mengalami stuck dan tidak lagi bisa melanjutkan pembicaraan.

Melalui lukisan berjudul Bokate, Ellya memilah memori berserakan di kepalanya untuk menunjukkan dua hal: ada yang sedang mati atau tidak baik-baik saja di Nabire; ironi dan ketidakberdayaan masyarakat lokal berhadapan dengan negara dan arus modernitas, dalam pesatnya arus migrasi ke Papua.

Lembar demi lembar membawa saya melihat Pangkep dalam subtema “Suara-suara Air”, memunculkan kisah paradoks: kabupaten dengan gugusan karst yang menjulang, secara ekologis berfungsi sebagai sumber dan penyimpanan cadangan air, namun warga mengaku justru kekurangan air saat kemarau dan kebanjiran saat hujan. 

Gandhi Eka, seniman dari Bandung yang beresidensi untuk mencari tahu anatomi gambar gua membagikan pengalaman selama tinggal di rumah sawah milik Pak Haeruddin, salah seorang juru pelihara gua prasejarah di Belae, Pangkep. Dalam ceritanya, Gandhi menampilkan visual sampul album Joy Division, gambar yang baginya merepresentasikan lanskap bukit-bukit yang ia saksikan di Pangkep. 

Memanen Ingatan Kota Tua menjadi judul pembuka untuk subtema “Cerita-cerita Kecil dari Lengkungan Teluk” Pare-pare. Esai ini ditulis oleh Muh Wahbah, pendamping untuk seniman dari Jawa Barat, Muhammad Ilham. Kata ‘Tua’ dalam judul, tak hanya merujuk pada usia, tapi juga menggambarkan bayang-bayang dan mempertahankan ingatan dalam kerentanan. Empat esai tentang Pare-pare, adalah upaya merawat ingatan dalam kerentanan yang sewaktu-waktu dapat menggulung tempat ini, menghanyutkan ingatan kolektif yang ada.

Labuan Bajo hanya diwakili satu esai, Celah Melakukan Pengamatan Sendiri oleh Moses Egideon Beato Lanjong. Ia mencatat wajah ganda Labuan Bajo: antara gunung dan laut, asam dan garam. Ia menceritakan bagaimana seniman mengangkat sisi yang luput dari narasi parawisata sebagaimana tempat itu dikenal, yaitu wajah pembangunan yang sering luput dari perhatian.

Pada Sabtu, 26 Juli 2025, saya mencoba melakukan apa yang Moses tulis dalam pembuka esainya: membekukan kejadian dengan bercerita. Saya membawa kisah lima kota menuju Sikkodasere Pustaka, sebuah perpustakaan di Dusun Sikkodasere, Desa Kanaungang, Pangkep.

Sikdas, singkatan dari Sikkodasere Pustaka, dulunya gudang kecil berukuran 3×3 meter di samping rumah panggung milik nenek Muh Syawal S, rekan saya dari Pangkep sesama peserta Lokakarya Bakka. Setelah neneknya meninggal, rumah itu kosong, Syawal dan teman-temannya kemudian menjadikan rumah itu sebagai tempat berkumpul.

Kurang lebih setahun lalu Syawal membersihkan gudang dan mengisinya dengan buku-buku bacaan yang ia punya. Anak-anak dan remaja sekitar mulai tertarik datang, sebagian membaca yang terpajang, sebagian lain hanya sampai pada membuka lembar-lembar di buku. Perlahan koleksi buku bertambah, koleksi pribadi Syawal ditemani buku-buku hadiah dari Rumah Saraung dan Kampung Buku, berjejer menunggu pembacanya.

Sikdas pun dipilih menjadi lokasi acara yang bertajuk Percakapan Buku dan Memorabilia Pameran Makassar Biennale 2023 di Pangkep, menampilkan beberapa arsip karya yang pernah dipamerkan di Makassar Biennale 2023 Pangkep, bersanding dengan agenda percakapan buku. Nah, salah satu buku yang dipercakapkan ialah buku yang tengah saya ulas ini, selain Tamasya Purbakala, komik yang ditelurkan oleh Gandhi Eka yang masuk di agenda kedua pada Minggu, 3 Agustus 2025.

“Hari ini tidak ada panggung, teman-teman, sama seperti judul buku yang akan dibahas. Hanya ada tikar,” begitu Vera Febrianti selaku moderator, membuka kegiatan percakapan buku, sambil menunjuk alas berwarna biru dengan motif geometris yang ia duduki. 

Vera memanggil kami satu per satu untuk bergabung di sampingnya, membagikan pengalaman membaca MB lewat buku. Saya mendapat giliran kedua, setelah Syawal dan sebelum Sulaeman Gibrhan, salah satu kontributor yang terlibat dalam penulisan buku.

Pada sesi itu, saya sempat menyebut tulisan Zikri Rahman berjudul Hanya Ada Babak, Tidak Ada Panggung, ketika Vera mewakili yang hadir untuk menanyakan apa maksud “Tidak Ada Panggung” dalam buku ini. 

Mengutip tulisan Zikri yang mengatakan bahwa seni modern sering dipandang seperti piramida, seniman dan karyanya di puncak. Tetapi MB secara sadar membalik struktur ini, bahkan jika perlu mengaburkannya. Konsep itu yang kemudian menjadi cikal bakal judul buku ini, begitu saya menafsirnya. Bahwa yang ingin ditampilkan adalah babak-babak kecil berisi proses, keresahan, dan cerita yang mengiringi karya.

Sejak buku ini selesai saya baca, saya terus kembali ke halaman pertama, menuju tulisan Fitriani A. Dalay, “hal mungkin dan paling ideal yang selalu diharapkan terjadi setiap kali Makassar Biennale (MB) dihelat adalah mengalami dan menikmati setiap prosesnya.”

Kalimat itu selalu memunculkan tanya dalam diri saya: “Benarkah selama ini saya benar-benar mengalami dengan bercerita dan mendengar? Atau justru lebih sering memaksakan diri agar terlihat melakukannya?”

Membaca MB lewat buku ini, bukan hanya membantu saya memahami ajang seni rupa, tetapi juga mengajak saya membaca sekitar terutama membaca diri sendiri. Memang tak ada panggung, hanya babak: tapi dari tiap babak itulah kehidupan kita berlangsung.

:: Nurul Azmi, alumni Lokakarya Bakka 2024.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *