Suara dalam hidup manusia merupakan hal yang paling dasar untuk berkomunikasi. Untuk menyampaikan gagasan dan mengungkapkan perasaan, misalnya, manusia membutuhkan suara sebagai jembatan untuk menghubungkan maksud dan tujuan. Suara juga membantu manusia mengintervensi sesuatu yang tak ia sukai: perilaku, fenomena, atau lainnya. Kini, suara mulai direduksi oleh fungsi teknologi yang lebih tekstual. Ketika ingin menyampaikan gagasan atau mengungkapkan perasaannya, orang-orang lebih memilih menggunakan fitur teknologi seperti chating di platform media sosial: Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya. Pengaruh digitalisasi kemudian membuat peran suara berkurang dalam proses komunikasi. Lantaran digitalisasi membentuk “cara baru” berinteraksi, komunikasi verbal lambat laun mengalami redefinisi menjadi komunikasi visual.
Hiroshi Mehata, seniman asal Jepang yang lahir pada 23 November 1982, melihat persoalan ini dan membuat karya instalasi berjudul “MOON ECHO: REALM WHERE THE VOICE SEPARATED FROM THE BODY (Gema Bulan: Ketika Suara Terpisah dari Tubuh) pada pameran Makassar Biennale 2019 yang berlangsung di Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie, 1 – 15 September 2019.
Judul karya yang diangkat oleh Hiroshi berawal dari pengalamannya hidup di Tokyo, Jepang. Ketika berjalan di tempat umum, ia seringkali merasakan atmosfir suara yang terpisah dari tubuh. Ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mereka hanya sibuk menatap layar dan sibuk meladeni dirinya sendiri, sehingga komunikasi yang tercipta hanya suara-suara langkah kaki. Ia mencoba mencari dalih dari fenomena yang ia rasakan. Ia berpikir, pengaruh ini datang karena di abad ke-21 ini orang-orang Jepang begitu sibuk bekerja, sehingga berkomunikasi jadi begitu sulit, ditambah lagi komunikasi visual yang jadi “cara baru” berkomunikasi antarsesama manusia.
Menurut Hiroshi, komunikasi verbal lebih penting daripada komunikasi visual dan merupakan cara paling natural dari proses interaksi manusia, sebab lebih mudah dimengerti. Komunikasi verbal kerap mudah dipahami karena bertalian langsung dengan intonasi, volume, dan juga gestur tubuh lawan bicara. Kita jadi lebih tahu, misalnya, ketika dia marah, sedih, senang, dan ekspresi lainnya ketika kita mengucapkan sesuatu, begitu juga sebaliknya ketika kita mendengar sesuatu. Dampak dari komunikasi visual buat Hiroshi menyimpulkan bahwa permasalahan yang akan terjadi adalah miskomunikasi, sebab visual untuk berkomunikasi tidak utuh mengantarkan maksud dan tujuan dari pikiran atau perasaan seseorang.
Lantaran komunikasi visual ditunjang digitalisasi marak di abad 21 ini, Hiroshi masih percaya dengan kekuatan komunikasi verbal yang menurutnya harusnya juga diajarkan di bangku sekolah. Ia merasa sekolah hanya mengajarkan bagaimana menggunakan kata, tetapi tidak pernah diajar bagaimana menggunakan suara. Untuk itu, ia ingin merumuskannya menjadi bahan ajar agar komunikasi verbal tetap determinan di tengah gencar-gencarnya komunikasi visual.
Dalam karya instalasinya, Hiroshi menggunakan bahan-bahan yang mengantar suara seperti earphone, headset, atau headphone. Begitu banyak potongan earphone yang diletakkan di atas mangkuk berwarna abu-abu kaca. Potongan earphone itu merepresentasikan keinginannya untuk menggunting earphone orang lain. Ini terdengar agak aneh, tetapi Hiroshi berangkat dari imajinasinya ketika earphone tidak pernah ada di dunia ini, komunikasi barangkali menjadi terbuka karena tidak ada yang sibuk mendengar ‘bunyinya sendiri.
Ketika melihat karya Hiroshi, saya membayangkan beberapa orang sedang mendengarkan lagu dari earphone-nya di halte sambil menunggu bis datang. Lalu sebuah bis tiba dan semua orang naik ke dalam bis sambil mengganti lagu di gawainya. Kaki-kaki mereka melangkah seperti tahu betul letak tangga bis itu. Semua orang berjalan dengan teratur, kemudian duduk di kursi atau berdiri sambil memegang gagang yang menggantung di bagian tengah dalam bis, sambil menikmati lagu-lagu yang merepresentasikan perasaannya hari ini. Atau sekadar merilekskan diri.
Membayangkan hal itu, saya jadi takut. Bagaimana jika itu berlangsung terus menerus dan kita kehilangan keterampilan walau bahkan sekadar mengucapkan “Selamat pagi” atau “Mau turun di mana?” Dengan senyum tersungging di wajahnya. Hiroshi melihat kemungkinan itu dengan menawarkan sebuah konsep untuk mengenali suara kita sendiri. Dengan empat headphone yang diletakkan pada dua meja, satu meja dengan dua headphone di atasnya, dan satu meja untuk anak-anak dengan jumlah headphone yang sama dengan meja orang dewasa.
Menurut Hiroshi, suara adalah hal yang penting untuk berkomunikasi. Sehingga mendengar bagaimana suara kita didengar oleh orang lain, juga mendengar suara orang lain, merupakan pelajaran untuk mengenal suara kita. Dengan mendengar suara kita sendiri, kita bisa lebih tahu bagaimana harusnya berkomunikasi dengan orang lain agar nanti tidak terjadi miskomunikasi seperti apa yang Hiroshi khawatirkan. Lebih spesifik, misalnya, soal bagaimana intonasi dan bentuk suara kita sendiri, mampu diterima dan ditafsir oleh orang lain dengan maksud seperti apa yang kita ingin sampaikan. Karya instalasi Hiroshi mencoba mengingatkan kita kembali soal pentingnya berkomunikasi via suara.
Alat dan bahan yang Hiroshi letakkan pada karyanya mencoba memisahkan tubuh dari suaranya. Pemisahan itu disimbolkan dalam bentuk gema yang lambat (delay). Hiroshi ingin setiap pengunjung yang berinteraksi dengan karyanya merasakan dan mengenali ‘waktu’ sebagai bagian dari komunikasi, dan gambaran dari fenomena komunikasi di abad ini yang memisahkan tubuh manusia dari suaranya. Walaupun secara eksplisit, Hiroshi mengatakan bahwa efek gema yang lambat hanya karena keinginannya sebagai musisi untuk melihat orang-orang tertarik bermain-main dengan suara.
Saya justru melihat dan menafsirnya dengan cara yang lebih visual dan kondisional. Misalnya, ketika orang-orang berinteraksi dengan karyanya, mereka secara langsung berhadapan dengan cermin yang memantulkan bayangan orang itu. Seperti menggambarkan fenomena yang dialami banyak orang ketika memakai earphone/headset di dalam bis atau mobil angkutan umum untuk mendengarkan bunyi-bunyinya sendiri, lagu-lagunya sendiri. Tetapi, pada karya Hiroshi, orang-orang dibuat mendengarkan seluruh percakapan yang terjadi di dalam ruang galeri, membalik fenomena yang terjadi di abad ini. Ia juga menyediakan beberapa buku untuk dibaca, yang selain belajar untuk mengenali suara kita sendiri ketika suara dari mulut kita dipantulkan dalam headphone, kita juga masih bisa mendengar suara-suara lain selain suara kita sendiri. Headphone lalu menjelma menjadi sesuatu yang jika ditilik dari titik berangkatnya ide Hiroshi, menyekat orang untuk berkomunikasi, jadi sesuatu yang fungsinya lebih terbuka untuk mendengar cerita-cerita orang lain di sekitarnya.
Selain bermain-main dengan suara, Hiroshi meletakkan beberapa QR Code yang berisi beberapa tangkapan suara. Mulai dari suara hiruk-pikuk di jalanan, Pelabuhan Paotere, pasar tradisional di Kota Makassar, kamarnya, hingga air terjun Parangloe. Hiroshi mengajak kita mendekati pelabuhan, pasar, kamarnya, juga kemacetan di Jalan Pettarani lewat suara. Mengenali dan mendengar serta mengimajinasikan apa saja yang ada dan terjadi di daerah-daerah itu.
Ada satu QR Code yang menggabungkan seluruh suara-suara itu jadi harmoni dan menjadi musik. Kita seperti diantar berkeliling ke pelabuhan, pasar, kamarnya, juga melintasi kemacetan di Kota Makassar.
Karya Hiroshi dipamerkan bersama empat karya lainnya pada helatan dua tahunan Makassar Biennale. Ia mencoba merespons tema abadi Makassar Biennale, yaitu “Maritim” dengan menggambarkan bagaimana komunikasi menjadi hal penting bagi pedagang dari Sulawesi Selatan yang kemudian membuat mereka terkenal juga sebagai pelaut yang ulung. Ia berpendapat, kesuksesan itu berasal dari komunikasi yang baik dari pelaut Sulawesi Selatan pada masa itu, dan hal itu yang membuat mereka dikenal oleh dunia.
Berpameran di Makassar Biennale 2019 menurutnya adalah hal yang menggembirakan. Ada hal-hal yang begitu mirip antara kotanya, Matsusaka dan Makassar sebagai kota pelabuhan. Atmosfir inilah yang membuat ia seperti dekat dengan Makassar dan akrab. Hanya saja pada perkembangannya, menurutnnya Makassar adalah kota yang lambat secara harfiah.
Ia berharap Makassar Biennale bisa berkembang ke lebih banyak daerah, bahkan ia menyebut kalau perlu jadi “Indonesia Biennale”. Hal ini diucapkannya karena melihat tim kerja yang begitu optimis dan profesional dalam melakukan kerja-kerjanya, walaupun helatan dua tahunan seni rupa ini dikerjakan oleh lintas disiplin ilmu yang tentunya punya ragam perspektif, yang keuntungannya bisa membuat Makassar Biennale lebih kayak perspektif, tetapi hal ini juga cukup menguras tenaga. Ia menggaris bawahi optimisme Makassar Biennale yang terus berupaya menjalankan pameran ini dengan tepat waktu tanpa terganggu dengan hal-hal lainnya.
Pada akhirnya, optimisme juga patut kita letakkan pada gagasan yang dipresentasikan Hiroshi pada karyanya. Bagaimana orang-orang tetap berkomunikasi secara verbal, meski digitalisasi menuntut, mengubah, dan mengajak orang lebih banyak berkomunikasi secara visual.
Tulisan ini terbit pertama kali di makassarbiennale.org
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.