Menilik Perayaan 10 Tahun Rock In Celebes

Memasuki tahun kesepuluh, Rock In Celebes hadir lebih dari sekadar festival musik. Selain menghadirkan musisi lintas genre yang datang dari berbagai kota di Indonesia maupun mancanegara, festival ini juga turut mengajak para seniman visual dan komunitas untuk berkolaborasi  dalam perayaan 10 tahunnya.

Inisiatif Rock In Celebes (RIC) menjadikan festival ini lebih dari musik festival dapat dilihat lewat salah satu terobosan programnya, “Siasat Trafficking – Visual Art Collaborations” sebagai bentuk upaya pelibatan seniman visual untuk berkolaborasi. Para seniman visual terpilih seperti Misba dari Malang, Halilikhsan dan Daridil dari Makassar merespons sebuah instalasi kontainer yang disusun bertingkat di area festival (Milisi Stage), mereka membuat grafiti dengan komposisi warna bertuliskan “Rock In Celebes 2019” dibalut dengan visual ikon-ikon pop. Sedang di area lainnya (Chambers Stage) terpajang instalasi patung ayam yang dimural dengan komposisi warna yang tak kalah menariknya. Instalasi-instalasi tersebut menjadi salah satu pembeda sekaligus menjadikan festival ini semakin berwarna.

Terlepas dari instalasi-instalasi yang dihadirkan RIC tahun ini, masih ada beberapa sosok yang turut bekerja dibalik tampilan-tampilan desain menarik yang disuguhkan selama  perhelatan ini, seperti Benang Baja (salah satu kolaborator utama yang mengerjakan ilustrasi spesial 10 tahun RIC yang dapat dilihat di beberapa desain poster rilisannya) dan Syahrasi yang akrab disapa Aji, desainer Chambers (lembaga yang menaungi kemunculan Rock In Celebes), sosok yang dari awal sebelum RIC muncul ke permukaan, yang berperan penting dalam memberi warna-warna desain yang ditampilkan. Tak heran, jika RIC menempatkannya sebagai salah satu sosok penting dalam perjalanannya hingga tahun ini.[1]

Selain seniman visual yang dilibatkan, digelarnya sesi pemutaran khusus dan bincang-bincang film “Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar” bersama Tanahindie, lembaga yang mengutamakan aktivitas dan programnya pada kajian kota turut menambah kesan berbeda pada RIC tahun ini.

Film “Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar” merupakan film dokumenter karya Anwar Jimpe Rachman yang menceritakan sejarah perkembangan sebuah kota, dengan menelusurinya lewat pertumbuhan musik populernya dalam rentangan seratus tahun. Film ini menyajikan satu narasi perihal bebunyian yang merayap atau mendentum di relung-relung kota yang kemudian dikenal dengan nama Makassar.

Sesi pemutaran khusus dan bincang film “Bunyi Kota: 100 Tahun Musik Populer Makassar”. (Foto: Rafsanjani)

Pemutaran khusus dan bincang-bincang film ini berlangsung di hari kedua di area Milisi Stage di sebuah ruang medis yang dialihfungsikan sementera ala mini sinema. Ruangan itu hanya dapat menampung sekitar 18 orang karena ukurannya hanya sekira 2,5 x 5 meter. Meski terbilang sempit, namun tampaknya hanya tempat itu yang relevan untuk melakukan pemutaran dan bincang-bincang lantaran jadwal tayangnya jam 19.00, masa transisi para musisi yang akan bersiap untuk tampil usai jeda magrib.

Sesi pemutaran film dan bincang-bincang ini tidak berlangsung lama, hanya sekira 35 menit  lantaran musik mulai menggema di tiga panggung, terutama di Milisi Stage, musik DeadSquad, band death metal asal Jakarta ini sudah mulai menggetarkan dinding ruang medis mendominasi suara di dalam ruangan.

Menawarkan rangkaian selama dua hari jadi strategi menarik dalam penjadwalan musisi-musisi yang akan tampil, seperti Padi Reborn, Efek Rumah Kaca, .Feast, Kunto Aji, TOD, Tashoora, Natinson, Speed Instinct, Hondo, Senograft yang tampil di hari pertama. Sedang formasi yang ditampilkan di hari kedua, ada DeadSquad, Seringai, Frontxside, Kelompok Penerbang Roket, Kapal Udara, Art2tonic, The Adams, NTRL, E.H.G, dan lain-lain menjadikan gelaran dua hari itu sama spesialnya.

Melihat daftar musisi dengan beragam warna dan jenis musik yang disajikan membuatnya tidak berpihak hanya pada genre tertentu, hal ini tampaknya disadari dalam perjalanannya agar festival ini bisa dinikmati lebih banyak orang tanpa memandang jenis musik tertentu. Meski dari penaman Rock In Celebes menyebut secara spesifik kata “Rock”. Namun, bagi RIC, kata rock itu lebih dari sekadar genre; Rock adalah semangat, dan atas dasar semangat itu RIC dapat konsisten hingga saat ini.

Luasnya deretan musisi yang dihadirkan RIC juga turut memperlihatkan keterbukaan ragam penonton yang datang di perayaan 10 tahunnya. Ribuan penonton memenuhi area festival selama dua hari, 23 – 24 November 2019 di sebuah ambalat di bagian utara kawasan Trans Studio Mall Makassar. Di antara ribuan penonton yang hadir selama dua hari itu (meski saya tidak dapat menyebut angka pasti dari ribuan itu), namun yang menarik bagi saya adalah persentase antara penonton perempuan dan laki-laki yang hadir selama gelaran itu.

Menyanyi bersama sambil merekam momen penampilan band idola di atas panggung. (Foto: Aziziah Diah Aprilya).

Berdasarkan amatan saya, jika dapat diukur secara persentase jumlah penonton  antara perempuan dan laki-laki, boleh dikatakan berada dikisaran 42% perempuan dan 58% laki-laki. Meski jumlah penonton laki-laki masih mendominasi, namun persentase antara perempuan dan laki-laki yang tidak terpaut jauh menjadi satu hal menarik untuk kita perhatikan di Rock In Celebes tahun ini.

Saya punya sedikit alasan atau pandangan minimalis dalam melihat tingkat kehadiran perempuan dalam festival Rock In Celebes tahun ini. Saya tentu saja bukan pengamat musik, bukan penggemar konser, apalagi konsultan atau promotor event dalam menuliskan ini. Jadi, alasan ini lebih karena impresi pengalaman pertama saya sebagai penonton awam yang datang menyaksikan festival Rock In Celebes.

Alasan pertama, saya berangkat dari deretan musisi yang didatangkan seperti Kunto Aji, Efek Rumah Kaca, Fiersa Besari, .Feast, Padi Reborn, dan Kapal Udara. Keenam musisi yang saya sebutkan hanya berdasarkan amatan saya dengan mengategorikannya sebagai musisi yang punya pengaruh lebih besar mendatangkan penonton perempuan di RIC tahun ini.

Beberapa kenalan perempuan yang saya temui dan menanyakan alasan utama mereka untuk datang ke RIC tahun ini, saya mendapati alasan yang serupa, yaitu ketertarikan dengan salah satu musisi favorit mereka yang didatangkan. Ada yang datang karena ingin melihat dan mendegar Kunto Aji menyanyikan lagu-lagunya, seperti “Pilu Membiru” yang sempat menjadi trending topic di YouTube atau Padi Reborn yang mengajak penonton bernostalgia, begitu juga dengan para musisi lainnya seperti .Feast, Efek Rumah Kaca, dan Kapal Udara yang mengajak pendengarnya untuk menyanyi bersama.

Terlepas dari deretan musisi yang diminati cukup banyak kalangan perempuan untuk datang ke RIC, alasan kedua adalah sebagian dari mereka jauh-jauh hari sudah saling mengajak dan mengatur waktu untuk datang ke RIC—menjadikan festival ini sebagai melting pot saat weekend sambil merekam momen bersama atau update Instastory lewat penampilan band idola mereka di atas panggung. Sementara alasan ketiga (mungkin sedikit agak asal-asalan), sebagian perempuan yang datang bersama pasangan mereka ‘ingin menjadikan’ weekend-nya lebih berkesan dan berbeda lewat pengalaman menyaksikan festival RIC. Apalagi di dalam area festival ini, beragam jenis makanan dan minuman dijajakan menambah kesan santai sambil menikmati lagu-lagu dari para musisi idola mereka yang tampil.

Ragam ekspresi diri di festival RIC 2019. (Foto: Aziziah Diah Aprilya)

Dibalik antusiasme penonton yang hadir seiring kesuksesan RIC secara konsisten menghadirkan inovasi dari tahun ke tahun dengan berupaya menyuguhkan bentuk yang diinginkan oleh banyak orang, mendatangkan hingga ribuan orang, dan jadi festival musik yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya adalah buah dari kerja tim yang dikelola secara profesional.

Pengalaman selama sepuluh tahun mengerjakan festival secara konsisten tentu bukan hal mudah, saya percaya ada banyak pelajaran dari kekurangan-kekurangan yang coba terus diperbaiki dari tahun ke tahun demi kenyamanan para penikmat musik festival. Konsep acara yang matang menjadi kunci sukses RIC tahun ini. Mulai dari pemilihan zona lokasi, yang terbilang cukup strategis dan ideal bagi festival skala besar lantaran lokasinya begitu luas dan jauh dari suara bising kendaraan yang lalu-lalang, berada di kawasan seluas kurang lebih 5 hektare di area Trans Studio Mall Makassar memberikan kenyamanan tersendiri bagi pengunjung dalam menikmati sebuah festival.

Di sisi lain, manajemen tiket dalam mengatasi penonton yang membeludak, panitia sudah membuat beberapa pintu berdasarkan jenis tiket, seperti pemegang tiket VIP melewati pintu yang berbeda dengan pemegang tiket kelas reguler. Desain tiket yang lebih kreatif dan praktis, yaitu tiket gelang juga menjadi salah satu upaya menghindari penonton ilegal atau pemalsuan tiket. Selain itu, yang tak kalah pentignya adalah petugas keamanan yang mengontrol dan mengantisipasi akan terjadinya kericuhan saat konser berlangsung, meski sepengamatan saya tidak ada kericuhan yang terjadi selama dua hari itu. Beberapa yang saya sebutkan di atas hanya beberapa fragmen-fragmen yang menjadi faktor kesuksesan gelaran RIC tahun ini.

Aksi panggung Padi Reborn sebagai band penutup di hari pertama di Chambers Stage. (Foto: Aziziah Diah Aprilya)

Sekali lagi, saya harus menyebut line up musisi yang dihadirkan RIC tahun ini menjadi salah satu formula tersendiri dalam keberhasilannya mendatangkan beragam penonton. Sebagian besar musisi mencuri perhatian banyak penonton, tentu termasuk saya pada saat itu. Ada pengalaman berbeda yang dihadirkan ketika melihat para musisi tampil di atas panggung yang didesain begitu menarik ditambah dengan latar visual yang menonjol kuat dari setiap musisi yang tampil.

Tanpa banyak basa-basi, menempatkan Padi Reborn sebagai band penutup di hari pertama itu dengan aksi panggungnya yang cukup memukau, membius para penonton dan membawanya pulang  hingga terngiang-ngiang selama beberapa hari. Tentu bukan cuma penampilan Padi Reborn yang membekas di hati para penonton, karena ini bukan hanya soal nama band, tetapi soal selera (perasaan). Dan kali ini, Rock In Celebes ‘menunjukkan’ itu.

Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan