Imigran, Difabel, dan Keserakahan

FENOMENA gelombang pengungsi sejak awal abad ke-21 memunculkan seabrek persoalan berskala global. Beragam faktor mendasari fenomena ini, mulai dari perang, konflik sumber daya alam berkepanjangan, dan ‘krisis’ pada suatu wilayah tertentu (negara) yang berujung pada ketidakamanan dan ketidaknyamanan sehingga melahirkan jutaan manusia berpindah dan melintasi satu negara ke negara lain.

Seiring proses perpindahan para pencari suaka, beragam faktor mesti mereka hadapi, mulai dari pengurusan dokumen administrasi sebelum berpindah, sampai mengambil risiko yang lebih besar dengan menempuh perjalanan ilegal lewat agen penyelundup.

Perjalanan para pencari suaka menuju negara tujuan tidak serta merta berjalan sesuai dengan harapan. Tak sedikit dari mereka tertahan di negara transit, salah satunya Indonesia, salah satu negara yang meratifikasi Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia—dengan demikian mengakui adanya hak untuk mencari suaka ke negara lain.

Di Indonesia, ribuan pencari suaka dan pengungsi (imigran) tak semuanya bisa ditampung di tiga belas rumah detensi punya pemerintah Indonesia. Karena keterbatasan fasilitas, mereka menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Hanya beberapa dari mereka yang diproses menuju negara baru. Sisanya, yang lebih banyak tertahan selama bertahun-tahun, lantaran menunggu proses dari pihak UNHCR. Mereka tinggal di Medan, Kupang, Jakarta, Pontianak, hingga Makassar.[1]

Imigran yang ada di Indonesia pada umumnya, termasuk di Makassar, bisa dikatakan dalam keadaan survival. Kondisi mereka tidak menentu. Mereka adalah manusia yang tercerabut dari rumahnya (negara asal) di tanah asing (Indonesia) untuk tinggal sementara sebelum ditempatkan ke negara-negara ketiga (negara tujuan). Kendati mendapat izin tinggal di Indonesia, aktivitas mereka sangat terbatas; baik laki-laki maupun perempuan dalam aturannya tidak dapat mencari nafkah, formal maupun informal.

Di Makassar, fenomena atas kondisi dan situasi yang dialami imigran menjadi perhatian Jenry Pasassan, seniman asal Makassar. Ia merangkumnya dalam sebuah karya seni instalasi tembok besar berukuran 10 x 5 meter pada perhelatan Makassar Biennale 2019 yang mengusung tema “Maritim: Migrasi, Sungai, dan Kuliner”. Subtema Migrasi menjadi tema yang coba direspons Jenry. Dalam hal ini, perpindahan orang-orang dari negara asal ke negara lain dikarenakan oleh ketakutan akan penganiayaan, yang dilatari alasan ras, agama, kebangsaan, dan kelompok sosial tertentu.

Karya seni instalasi tembok yang dihadirkan Jenry bertajuk Perlindungan atau Kekhawatiran? Ini adalah dua istilah yang seolah mempertanyakan situasi sulit nan membingungkan, yang digambarkan dalam instalasi tembok yang ditampilkan di halaman depan Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie Makassar selama lima belas hari, 1 – 15 September 2019.

Berbeda dengan tembok pada umumnya berbahan material batu dan pasir, tembok Jenry menggunakan styrofoam atau gabus dan tripleks sebagai bahan dasarnya, kemudian dilapisi semen. Bahan-bahan yang dominan dipakai adalah styrofoam ‘baru’ untuk lebih memudahkan dan mempercepat proses pembuatan karyanya, lantaran waktunya hanya kurang lebih seminggu menuju pembukaan Makassar Biennale (MB) 2019. Dibalik proses pengerjaan karyanya, Jenry menyadari dan merasa berutang budi pada isu lingkungan, lantaran ia masih dominan menggunakan bahan dasar styrofoam baru. Meski demikian, Jenry tak luput memperhitungkan sampah yang dihasilkan dari karya instalasinya.

Proses pengerjaan tembok berbahan dasar styrofoam dan tripleks yang dilapisi semen. (Foto: tim dokumentasi MB 2019)

Karya instalasi tembok Jenry bukan hanya sekadar dinding yang berdiri layaknya sebuah monumen. Tembok tersebut hendak mengajak para pengunjung untuk lebih mengenali, menyadari, dan memahami lebih dekat tembok-tembok tak kasat mata (tembok maya) dalam diri manusia. Entah itu tembok ego, ketakutan, kekhawatiran, identitas, keserakahan, dan ribuan tembok-tembok tak kasat mata lainnya.

Jenry Pasassan, seniman kelahiran Makassar 24 Januari 1971 ini, sejak kecil mulai tertarik mengamati fenomena alam yang terjadi di sekelilingnya. Hal itu kemudian membuatnya sering membatin, misalnya tentang mengapa bulan seolah selalu mengikutinya, tentang mengapa ada bayangan, tentang langit biru, dan beragam fenomena alam lainnya yang kerap ia temui. Seiring waktu, Jenry mulai belajar mimesis gambar objek yang membuatnya tertarik.

Pengaruh dari ketertarikannya sejak kecil itu kemudian membawa Jenry bercita-cita menjadi insinyur. Belakangan, sebelum ia memutuskan kuliah di IKIP Ujungpandang, ia bercita-cita menjadi tentara karena pada waktu itu bagi Jenry profesi itu dikagumi banyak orang. Namun seiring waktu, dalam kenyataannya, profesi itu tidak sesederhana yang ia pikir. Hal tersebut tidak memberi kemudahan dalam segala hal, katanya.

Sejak Jenry mulai kuliah di Jurusan Seni Rupa IKIP Ujungpandang hingga lulus pada 1993, ia mulai merambah seni lukis dengan mencoba memanfaatkan berbagai media, termasuk seni ukir kayu. Dalam perkembangannya, sejak tahun 2000, ia mulai menggeluti seni ukir dengan memanfaatkan bahan styrofoam yang biasa dijadikan latar panggung dengan ragam bentuknya. Dari aktivitasnya itu kemudian, ia kerap mendapat kerjaan pembuatan latar panggung dari bahan stryrofoam pada acara-acara tertentu.

Jenry Pasassan saat diwawancarai di studionya pada Agustus 2019. (Foto: tim dokumentasi MB 2019)

Jenry, seniman dan wiraswasta seni ini memiliki workshop atau studio artisan yang berada di tengah Kota Makassar, tepatnya di Jalan Abdullah Daeng Sirua (Lorong 8), Panakkukang. Studio itu dijadikan sebagai tempat mengerjakan latar panggung pesanan yang menggunakan bahan styrofoam atau kayu bersama beberapa anggota timnya, sekaligus menjadi tempat Jenry mengerjakan beberapa karya-karya pribadinya untuk pameran-pameran tertentu.

Karya-karya Jenry yang biasanya cenderung mengarah ke kritik sosial-politik, ketidakadilan, kemunafikan, dan kadang-kadang romantisme, kali ini mencoba menyinggung soal keserakahan, terutama dari sudut pandang imigran.

Berawal dari kisah imigran Iran kenalan Jenry di Makassar menghadapi berbagai permasalahan hidup (mulai situasi di negara asal hingga kondisi di negara transit selama bertahun-tahun tanpa kepastian), Jenry turut prihatin. Keadaan itu mendorongnya bersimpati dan berempati akan situasi yang dialami para imigran.

Sebagai wujud rasa simpati dan empatinya, bukan kali pertama Jenry menyuarakan keprihatinanya terhadap pengungsi. Pada Oktober 2018, ia terlibat aksi solidaritas untuk para pengungsi tanpa kewarganegaraan yang mulai jenuh dan khawatir soal masa depannya, lantaran bertahun-tahun menunggu kepastian oleh pihak UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) untuk memberangkatkan mereka ke negara tujuan.

Happening arts Jenry di trotoar depan Menara Bosowa, Jalan Sudirman, Makassar, Oktober 2018. (Foto: Facebook Jenry Pasassan)

Dalam aksi tersebut, Jenry menampilkan happening arts di trotoar depan Menara Bosowa di Jalan Sudirman, Makassar, tempat UNHCR dan IOM (United Organization for Migration) berkantor. Sebuah lukisan abstrak berlatar hitam kemerahan dengan lima gambar karakter berwarna putih, dua di antaranya diberi cat merah, dilukiskan Jenry secara langsung di trotoar depan Menara Bosowa. Jenry kala itu menggunakan topi caping, dada dan lengan kirinya dibaluri cat merah, sementara lehernya dililit rantai besi. Setiap ujung dari rantai itu dikaitkan dengan dua buah bola hitam serupa bom waktu. Satunya bertuliskan UNHCR dan satunya lagi bertuliskan IOM.

Sebulan kemudian, tepatnya November 2018 di tempat yang sama, Jenry kembali melakukan aksi solidaritas, yang didedikasikan untuk para pengungsi, lewat sebuah pertunjukan. Dalam pertunjukannya itu, Jenry melukiskan situasi dan keputusasaan yang dialami pengungsi selama bertahun-tahun, dengan menghadirkan tiga patung peraga menggambarkan ibu, ayah, dan anak. Di satu sisi, adegan itu digambarkan seorang anak tampak meminta perhatian (pertolongan) kepada kedua orangtuanya, namun di sisi lain, ibu dan ayahnya tampak tak dapat berbuat banyak lantaran sudah putus asa terhadap kondisi yang sedang dihadapinya.

Pertunjukan karya Jenry di trotoar depan Menara Bosowa, Jalan Sudirman, Makassar, November 2018. (Foto: Facebook Jenry Pasassan)

Dari adegan kondisi pengungsi yang digambarkan Jenry, saya tiba-tiba teringat kisah dari salah satu pengungsi asal Iran di Makassar saat penelitian skripsi berjudul Imigran Iran di Kota Makassar.  Masih segar dalam ingatan saya, sore di Oktober 2018 ketika mengunjungi salah satu community house (penempatan alternatif pengungsi di luar rumah detensi imigrasi berupa indekos, wisma, atau hotel rendah biaya) di Kecamatan Mariso, Makassar, saya bertemu dengan salah satu narasumber pengungsi asal Iran bernama Arash John Sedigh (belakangan saya ketahui Arash adalah kenalan Jenry).

Arash berumur empat puluh tahunan, pipinya cekung, dengan sorot mata ramah saat saya menyambut dan menyalaminya di ruang tamu community house tempat tinggalnya.

Arash menceritakan, ia melarikan diri bersama istrinya dari negaranya enam tahun silam karena merasa takut akan penganiayaan menimpa dirinya dan keluarganya. Setiba di Indonesia pada 2013, sebelum ke Makassar, awalnya mereka ditempatkan di camp Rudenim Denpasar selama satu tahun. Setelah diproses oleh pihak imigrasi untuk kepindahannya, mereka lalu diberangkatkan ke Makassar.

Setahun hidup di Makassar, pada 2015, ia dianugerahi anak laki-laki dari pasangannya bernama Ance. Setelah bertahun-tahun tinggal di Indonesia (Makassar), Arash menghadapi kenyataan lain. Istrinya, Ance, 37 tahun, mengalami depresi. Ketika saya bertemu, sudah tujuh kali istrinya dibawa ke dokter untuk diperiksa kondisinya. Lantaran ia susah makan, sulit tidur, dan emosinya sulit dikontrol. Tidak hanya itu, bahkan anaknya yang masih belia pun mulai mengalami stres karena ketakutan akan kondisi ibunya. Ini membuat Arash mengkhawatirkan kondisi keluarganya.

Arash menuturkan, pernah sekali waktu, anaknya melihat ibunya diperiksa di rumah sakit. Dia pikir ibunya akan meninggal. Karena takut, ia menangis dan lari keluar dari rumah sakit. Tiba-tiba ada mobil lewat dan hampir menabraknya. Sejak kejadian itu, anaknya sering ketakutan. Kata Arash, setiap malam, tidur anaknya mulai terganggu, sering bangun tengah malam dan menangis, sambil berkata, “Saya takut, ibu saya mau meninggal.”

Kasus lainnya yang diceritakan Arash, terjadi baru-baru ini di community house. Istrinya yang tiba-tiba marah, sulit mengontrol diri, langsung keluar kamar, menuju ke kantor polisi (jarak kantor polisi dari community house ini hanya sekira 50 meter). “Polisi menganggap saya berkelahi dan memukul istri saya, padahal tidak sama sekali. Saya bilang ke polisi, kalau istri saya sedang stres dan sulit mengontrol dirinya,” jelasnya.

Community house Kost Mustika 2 di Jalan Flamboyan, Mariso, Makassar. (Foto: Rafsanjani)

Menurut Arash, setiap pengungsi biasanya diperiksa kesehatannya oleh dokter, yang kemudian melaporkan hasil pemeriksaan itu ke IOM. Dari IOM kemudian laporan dikirim ke UNHCR untuk di-justify, kemudian dikirim ke kedutaan sebagai pengajuan ke negara ketiga.

“Istri saya punya masalah lain!” katanya. “Dokter juga bilang demikian: istri saya harus berobat dan harus segera diberangkatkan ke negara tujuan.” Dokter yang memeriksa istrinya sudah mengirim beberapa kali hasil pemeriksaan kesehatan istrinya ke Kantor IOM Indonesia dan sudah diterima, setelah ia mengonfirmasi langsung via email ke Kantor IOM. Setelah itu, ia melanjutkan mengonfirmasi laporan kesehatan istrinya ke Kantor UNHCR Indonesia, tetapi ia mendapat respons jika tidak ada laporan kesehatan bahwa istrinya sedang sakit. Kata Arash, ini masalah. Bagaimana bisa UNHCR tidak membaca laporan yang dikirimkan Kantor IOM. “Ini masalah hidup imigran, istri dan anak saya,” katanya dengan wajah sedih.

“Menurut UNHCR, sekarang ini, proses untuk berangkat ke negara ketiga cukup susah. Orang-orang yang berusia tua, rentan sakit, dan punya masalah lebih besar, akan didahulukan berangkat ke negara tujuan. Sedangkan, orang-orang yang sehat, atau masalahnya lebih kecil, harus menunggu dulu,” jelas Arash.

Selama di Makassar, Arash menghabiskan sebagian besar waktunya di community house kebanyakan berpikir menunggu keputusan dari UNHCR dan pihak negara ketiga untuk diberangkatkan ke negara tujuan untuk melanjutkan hidup. Hidup normal, ia berharap.

“Kebanyakan teman-teman di sini (community house), mulai stres juga memikirkan kapan diberangkatkan ke negara tujuan. Saya biasanya ke lantai bawah untuk merokok, lihat teman juga merokok sambil merenung, teman-teman biasa sharing, kalau mereka pusing juga,” katanya dengan kepala menunduk.

Terakhir, kala itu saya mencoba menangkap maksud dari penjelasan Arash bahwa jika setiap orang (imigran) punya masalah sendiri, namun memiliki emosional dan kesamaan tujuan, yaitu pergi untuk mencari tempat yang aman, dan berjuang untuk melanjutkan hidup, mencari tempat yang dapat disebut sebagai rumah yang sejati.

***

SELAIN isu imigran yang disoroti Jenry dalam Perlindungan atau Kekhawatiran? Pada perhelatan MB 2019, ia juga tak luput menyuarakan orang-orang lain yang berada di posisi rentan diabaikan. Seperti halnya dalam karya seni instalasinya, ia mencoba menghubungkan antara isu pengungsi dan difabel, terutama kelompok tuli.

Pelibatan kaum difabel di MB sejak awal menjadi salah satu misi ajang ini yaitu menciptakan ruang inklusif, wadah bertemunya berbagai kalangan untuk saling berbagi pengetahuan melalui beragam aktivitas di dalamnya.

Upaya MB menghadirkan aktivis kaum tuli dilatarbelakangi oleh karya Jenry yang turut menghadirkan elemen bahasa isyarat tuli untuk diinterpretasi. Hal itu kemudian dilakukan oleh Bambang Ramadan CS, para aktivis kaum tuli, sebagai bentuk kolaborasi. Dalam prosesnya, sebelum kedatangan Bambang dan kawan-kawan ke workshop Jenry, beberapa simbol-simbol bahasa isyarat telah selesai dibentuk si seniman. Simbol itu menggunakan sistem isyarat satu tangan. Namun, setelah Bambang datang ke workshop si seniman dan melihat simbol isyarat satu tangan yang telah selesai, ia kemudian memberi saran agar si seniman juga membuat versi simbol isyarat dua tangan yang lebih praktis digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu kemudian direspons oleh Jenry—dengan turut menghadirkan simbol isyarat menggunakan dua tangan dengan versi ukuran yang lebih kecil dari simbol isyarat satu tangan.

Tembok instalasi Jenry menggunakan isyarat dua tangan dengan versi ukuran lebih kecil dari simbol isyarat satu tangan. (Foto: tim dokumentasi MB 2019)

Hadirnya elemen bahasa isyarat dalam karya Jenry menjadi bentuk perlawanannya terhadap diskriminasi sosial yang dialami difabel, terutama soal stigma, marginalisasi, dan hak-hak difabel (hak untuk diperlakukan setara dan diterima di lingkungan sosial). Sebagai contoh, stigma dan marginalisasi pada difabel hadir dalam hal kesempatan kerja, baik di sektor formal maupun informal.

Dalam sektor informal, misalnya, mungkin kita sering temui informasi penerimaan karyawan di suatu perusahaan yang tersebar di berbagai medium seperti di media iklan daring maupun cetak, dinding ruko, warung makan, hingga yang tertempel di tiang listrik—secara tidak langsung mengeliminasi kaum difabel. Sementara dalam sektor formal, stigma serta diskriminasi pada difabel lewat beragam kebijakan pemerintah terkesan enggan membuka ruang dan akses sebagaimana non-difabel dapatkannya. Kedua hal tersebut bisa jadi karena masih kuatnya stigma sosial terkait cara pandang berdasarkan bentuk dan fungsi tubuh akan kemampuan kerja difabel.

Sementara itu, non-difabel yang memegang posisi penting dalam kekuasaan justru mempraktikkan hal-hal yang bagi Jenry memalukan dan tidak layak dijadikan inspirasi karena mempertontonkan praktik korup, kolusi, dan nepotisme.

Isu difabelitas yang diangkat Jenry tidak hanya dipilih sebagai bentuk ‘elemen tambahan’ dalam Perlindungan atau Kekhawatiran? Namun menjadi satu rangkaian fenomena yang saling terhubung dengan segala persoalannya.

Di titik ini, upaya yang dihadirkan Jenry dalam karyanya, di satu sisi ingin mewujudkan kehidupan yang inklusif: terbuka, saling menghargai, serta meniadakan sekat-sekat yang menjadi hambatan. Di sisi lain, ia menyoroti keserakahan manusia.

Hal tersebut tercermin dalam karyanya yang mencoba membingkai isu imigran dan difabel dalam satu instalasi tembok dengan simbol bahasa isyarat dituliskan dengan mengutip quote Mahatma Gandhi:

“Earth provides enough to satisfy every man’s need, but not every man’s greed”

(Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak cukup untuk orang yang serakah)

Ya, keserakahan manusia adalah salah satu topik yang sangat disoroti Jenry dalam karyanya. Baginya, keserakahan turut andil dalam berbagai permasalahan di dunia, isu imigran dan difabel hanya bagian kecil dari permasalahan atas keserakahan.

Sebagaimana dalam konteks imigran dan difabel, ada kaum-kaum tertentu yang ‘bermain’ dibalik pola permasalahan yang dialami keduanya, sehingga tembok-tembok dibangun sebagai sekat atau batas pemisah dari realitas atas ‘penolakan-penolakan’ yang dialaminya.

Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.


[1]https://tirto.id/nasib-tanpa-negara-para-pencari-suaka-di-indonesia-cqgr, diakses pada tanggal 02 Oktober 2019, pukul 23.40 WITA.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan