Datuk Di Tiro dalam Komik Warna

Cut Putri Ayasofia, seniman asal Banda Aceh, dua pekan sebelum Pameran Makassar Biennale (MB) 2017 dilaksanakan, ia menjalani program residensi kurang lebih satu minggu di Kecamatan Bontotiro, Kabupaten Bulukumba, untuk mengumpulkan bahan dan mempersiapkan karyanya untuk Biennale Makassar 2017 yang bertema “Maritim.”

Karya yang akan dipresentasikan Cut dalam Pameran MB 2017 adalah sebuah karya ilustrasi cerita bergambar (cergam) tentang “Jalan Islam di Tiro”, kisah perjalanan Islam di Sulawesi Selatan hingga terjadi persinggungan budaya yang melahirkan tradisi hari ini. Dalam hal ini, cergam karya Cut menceritakan masuknya Islam ke Sulawesi Selatan pada awal abad ke-16 oleh utusan dari Kerajaan Aceh itu.

Cergam berwarna itu dibuat Cut Putri selama enam hari, terdiri dari 20 halaman kemudian dipajang secara berurutan mengenai kisah tokoh ahli tasawuf yang melakukan syiar Islam di wilayah selatan Sulawesi, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng, dan Tanete. “Cergam dibuat tampak sederhana agar lebih mudah dimengerti oleh anak-anak,” tutur Cut Putri.

Dalam cergamnya, dikisahkan “Ratusan tahun lalu, di ujung Sulawesi Selatan hiduplah seorang raja yang sangat sakti. Tak ada yang mampu mengalahkan kekuatan ilmu sang raja. Namun begitu, raja tetaplah manusia biasa. Tak luput dari rasa cemas. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat seorang berbaju putih yang bisa menjinakkan matahari dan bulan di kedua tangannya. Raja tahu bahwa mimpi itu akan menjadi nyata. Benar saja, sebulan kemudian, tiga orang berbaju putih datang melalui pesisir pantai Tiro.” Salah satunya, dialah Abdul Jawad Khatib Bungsu atau lebih dikenal dengan nama Dato Tiro.

Kemudian diceritakan kembali, pertarungan antara Abdul Jawad dan sang Raja akhirnya diakui kehebatan dan kesaktian seorang tokoh Abdul Jawad. Sebulan setelahnya, raja mengumpulkan rakyatnya yang ingin memeluk agama Islam untuk berkumpul di Bogoh. Di sana Dato membuat sebuah sumur mata air lagi untuk menyucikan rakyat sebelum melakukan pengislaman massa pertama di Tiro.

Dalam residensinya di Bulukumba, Cut mendatangi tiga sejarawan. Salah satunya, Zulfikar yang merupakan keturunan “kadi” yaitu penasihat raja dalam urusan agama. Kadi ini memegang seluruh buku-buku agama dan syair-syair dakwah bernafaskan Islam. Dalam aktivitasnya di Bulukumba selain menemui beberapa sejarawan, ia juga mengunjungi sejumlah situs bersejarah, di antaranya: makam Dato ri Tiro, sumur panjang yang dikenal oleh masyarakat Bulukumba dengan nama pemandian Hila-Hila di Kecamatan Bontotiro, Pantai Limbua, dan batu tempat pelantikan raja.

Program residensi ini merupakan kerja sama Yayasan Makassar Biennale dengan Pemerintah Kabupaten Bulukumba, sebagai upaya melibatkan banyak pihak dalam ajang seni rupa dua tahunan ini.

Dalam obrolan singkat bersama Cut terkait hubungan antara tema Makassar Biennale 2017 yaitu “Maritim” dengan karya yang ditampilkannya, ia mengatakan bahwa maritim merupakan penghubung antar manusia dan berbagai kebudayaan lainnya. Proses masuknya Abdul Jawad, melalui Pantai Limbua pada abad ke-16 ke kerajaan Tiro merupakan bagian dari maritim.

“Cergam bisa menjembatani semua yang telah lampau. Mendekatkan peristiwa silam secara visual ke hadapan kita yang mudah terjerumus dalam hoax berjemaah.”

Harapannya untuk Makassar Biennale, “Lebih maju lagi untuk tahun-tahun berikutnya.” Proses artistik Cut Putri Ayasofya selama ini fokus berkesenian sejak tahun 2010 saat mulai masuk kuliah.

Selain aktif menggambar, Cut juga merupakan salah satu pendiri Panyot, komunitas komikus-komikus Aceh yang mulai aktif berkegiatan sejak 2011. Mereka juga menerbitkan komik secara indie, kemudian menjualnya di beberapa event kota-kota lain, seperti Kota Bandung dan Yogyakarta.

Rafsanjani, mahasiswa Antropologi Universitas Negeri Makassar (UNM), dan sedang belajar dan bekerja di Tanahindie.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan