“Kebanyakan dari pasompe’ (perantau) mengalami nasib yang kurang beruntung, karena hak-hak mereka dirampas,” kata Muhammad Suyudi, perupa Makassar.
Ia menceritakan, misalnya si A pergi merantau, kemudian punya warisan dari orang tuanya dalam bentuk sawah. Sawah ini dikelola oleh anaknya yang lain. Ketika bapak si A ini meninggal, ia tidak mendapat hak apapun dari sawah itu. Ini dialami oleh hampir semua pasompe’ yang ia temui di Sengkang, Wajo (190 kilometer di utara Makassar). Lebih ironisnya lagi, selain harta benda, kadang istri pasompe’ ini pun diambil oleh orang lain. Ia mengatakan bahwa istri pasompe’ yang berhasil mempertahankan hubungan keluarganya adalah pencapaian yang sangat luar biasa.
Menjadi istri seorang pasompe’ bukanlah hal yang mudah. Menunggu seorang pasompe’ pulang, kadang membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Inilah yang kemudian diapresiasi oleh Suyudi pada istri para pasompe’ dalam bentuk karya yang ia tampilkan pada Makassar Biennale 2017.
“Bukan pekerjaan yang mudah. Karena ‘kan biasanya mereka mencatat bahwa hari segini bulan segini akan ada kapal yang datang. Mereka bahkan tidak tahu suaminya datang atau tidak, tapi mereka menunggu,” jelas Suyudi.
Pattiro Sompe’ adalah nama salah satu gunung (mungkin lebih tepat disebut bukit) di Kota Sengkang. Belum ada informasi yang pasti tentang asal-usul penamaan Pattiro Sompe’ ini. Jika diartikan secara etimologi, pattiro dalam bahasa Bugis berarti ‘melihat dari kejauhan’ sementara sompe’ berarti ‘merantau’. Jadi Pattiro Sompe’ dapat diartikan melihat orang merantau[1]. Gunung bernama Pattiro Sompe’ itulah, yang menurut Suyudi, menjadi tempat para istri pasompe’ melihat perahu layar suaminya, datang atau tidak. Jika mereka melihat perahu layar, mereka seperti melihat cahaya harapan untuk keberlangsungan hidup keluarganya.
Muhammad Suyudi adalah salah satu seniman dari dua puluh seniman yang memamerkan karyanya pada Makassar Biennale 2017. Karya yang ia bawa ke Makassar Biennale berjudul Sompe’. Sompe’ dalam bahasa Bugis memiliki arti beragam; bisa berarti layar, bisa berarti perantau. Karyanya menceritakan kehidupan seorang perantau.
Dalam karyanya, ada bentuk padi yang turun mengucur ke dalam belanga. Padi itu berwarna emas, di mana Suyudi menyimbolkan itu sebagai lambang kesejahteraan. Belanga yang ada pada karyanya, mempunyai lubang seperti pecah. Ia menyebut itu sebagai lambang dari sebuah ironi yang dialami keluarga pasompe’.
Tiga bulan sebelum Makassar Biennale, ia mendapat kabar dari salah seorang panitia yang menjelaskan konsep dan tema biennale ini adalah maritim. Dari penjelasan panitia, ia kemudian berupaya agar maritim tidak hanya sekadar membahas tentang laut, melainkan pengaruh-pengaruh yang dibawa maritim ke dalam kebudayaan-kebudayaan di Sulawesi Selatan. Kemudian dengan waktu tiga bulan, sambil mengajar, ia melakukan riset di Sengkang.
Menurut Suyudi, maritim mempunyai peran penting dalam membentuk sebuah kebudayaan. Hanya saja, maritim dewasa ini dilihat hanya sebatas laut saja. Padahal, maritim membentuk pola perilaku, cara kita berinteraksi, dan lainnya.
Di Sengkang, ia banyak berinteraksi dengan perantau-perantau yang sudah berusia lanjut. Ia diceritakan pengalaman para perantau itu yang pergi mengarungi laut dengan perahu layar. Menurutnya sekarang sudah enak, karena ada pesawat. Keakraban perantau pada zaman dahulu dengan perahu layar, membuat istilah sompe’ yang berarti layar, diapakai untuk menyebut para perantau. Kegiatan masompe’ ini pun hanya dilakukan oleh tulang punggung keluarga saja. Dengan kegigihan orang Bugis, tulang punggung keluarga selalu berupaya untuk menyejahterakan keluarganya. Ini dilakukan agar belanga-belanga di dapur keluarga terisi semua oleh air, beras, dan bahan makanan lainnya.
Muhammad Suyudi lahir pada 24 September 1989 di Sengkang (Lajokka). Ia adalah seorang alumni Fakultas Seni dan Desain UNM, yang menyelasaikan pendidikan S1 Seni Rupa pada tahun 2013, dan S2 pada tahun 2015. Sejak kecil ia mulai tertarik pada seni, terutama seni bela diri. Namun pada saat latihan kejuaraan dia sering bermasalah, orang tuanya melarangnya melanjutkan aktivitas ini. Ia juga tertarik pada seni rupa, namun pendidikan di sekolah tidak menunjang aktivitas itu.
Suyudi, memulai proses kreativitasnya sejak menyandang status mahasiswa. Walaupun sejak SMA ia sudah mulai gemar menggambar tato di badan orang, dan juga tertarik dengan kartun dan komik. Ia sempat lulus SMNPTN Jurusan Keperawatan, namun berkat dorongan keluarga, ia pun memberanikan diri untuk memilih seni rupa. Pada proses berkeseniannya, ia mengaku sering berkarya namun jarang dipamerkan karena ia malu. Ia merasa belum percaya diri. Pada tahun 2011, ia bergabung di Makassar Art Gallery. Di sana ia bertemu dengan Mike Turusy dan Budi Haryawan, kemudian banyak mendapatkan amunisi-amunisi positif dari orang-orang di sana. Muncullah kepercayaan dirinya secara perlahan untuk memamerkan karya-karyanya.
Pada tahun 2012, ada pameran bersama bertema Narasi Zaman, yang digagas oleh Galeri Nasional Indonesia. Saat itu banyak seniman Makassar dan seniman internasional yang terlibat. Suyudi pun tak ketinggalan menjadi pameran besama ini menjadi sebuah batu loncatan baginya di dunia kesenian. Ini menjadi pameran pertama di luar kampus yang diikuti oleh Suyudi dengan karya lukis yang dipamerkannya. Pameran ini sekaligus menjadi amunisi bagi gairah berkeseniannya.
“Makassar Biennale itu semacam menciptakan atmosfer baru dalam ruang pamer. Bagi kami anak-anak generasi 90-an, ruang pamer yang selama ini ada di Makassar, hanya seperti ruang pesta,” kata Suyudi. Menurutnya, ruang pamer selama ini yang selalu mendempet-dempetkan karya, tidak efisien dalam sebuah pameran. Setiap karya punya aura tersendiri. Jika didempetkan, aura setiap karya akan berbaur satu sama lain. Sehingga kita akan sulit menikmati atau mendalaminya.
Pada pameran Makassar Biennale, karya Suyudi ini menarik perhatian saya karena bentuknya yang unik. Simbol-simbol yang ia tampilkan berupa beras berwarna emas, sendok dari kayu yang berada di atas beras, dan sebuah belanga yang pecah. Ia seperti membuat sebuah dapur keluarga di dalam sebuah pameran. Penjelasan Suyudi di atas kemudian memahamkan saya, bahwa dapur adalah hal yang paling vital dalam keluarga, sehingga seorang pasompe’ mengarungi lautan untuk mengisi belanga-belanga yang kosong di dapur seorang keluarga. Seorang pasompe’ dan gambaran seorang perempuan tangguh yang dihadirkan pada karyanya, menjadi pelengkap bagaimana dapur keluarga bukan hanya akrab dengan perempuan saja, akan tetapi bagaimana laki-laki dan perempuan sama-sama berjuang untuk mengisi belanga-belanga yang ada di dapur keluarga.
Di Makassar Biennale, atmosfer setiap karya terasa. Peningkatannya menurut Suyudi, mencapai 20 hingga 30 persen dalam penyajian dan menikmati karya. Ia berharap, Makassar Biennale menjadi baromoter berkesenian di Makassar pada khususnya. Ia menambahkan, bahwa seniman yang produktif di Makassar sudah banyak, hanya saja yang menuliskan itu kurang, sehingga atmoster kesenian di Makassar tidak terlalu dilirik. Sehingga ia berharap Makassar Biennale juga menjadi virus literasi positif.
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1]Erwin Musdah, http://orangecoklat.blogspot.co.id/2014/08/pattiro-sompe-dan-cerita-tentang.html, diakses pada 26 November 2017, pukul 21.11 Wita.