Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Teater Pemberdayaan

 

Pertunjukan itu bukan hanya panggung.

Tapi ketika orang kembali bergotong-royong.

Kita perlu cara pandang yang lebih jauh dari sekadar memproduksi, kerja seni, yang hanya meninggalkan artefak dan komoditas. Tapi bagaimana menyentuh relasi kemanusiaan, dan daya keberlanjutan yang dimiliki kebudayaan. Padahal, inilah yang dikerjakan oleh kesenian. Kita seringkali lupa, bahwa kebudayaan kita sebenarnya tidak dipelihara. Inilah pentingnya mempunyai daya keberlanjutan.

Dengan suara yang cukup cepat, Luna Vidya mulai melanjutkan bahwa mestinya kesenian dan kebudayaan bisa menjadi platform untuk menggali gagasan yang dimiliki suatu komunitas, bukan sekadar melatih menari kemudian pertunjukan.

“Bayangkan kita semua yang ada di dalam ruangan ini. Kembali ke dalam diri dan pengalaman-pengalaman kita. Kemudian mengeluarkan gagasan sesejati dirinya. Lalu, gagasan itu dijadikan manifesto. Pernyataan dan sikap terhadap sesuatu,” lanjut Luna Vidya, dalam bincang tentang Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Teater Pemberdayaan, Sabtu, 21 Juli 2018, dalam rangkaian acara Mahakarya: Mata Air Kenangan, peringatan milad Teater Kampus (Terkam) Fakultas Seni dan Desain (FSD) Universitas Negeri Makassar (UNM). Luna Vidya hadir untuk menyosialisasikan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan Teater Kebudayaan, dan dimoderatori oleh Anwar Jimpe Rachman.

Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017. Ada lima pertimbangan mengapa sampai UU ini dibuat: (a) bahwa Negara memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) bahwa keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia; (c). bahwa untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia, diperlukan langkah strategis berupa upaya Pemajuan Kebudayaan melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam Kebudayaan; (d) bahwa selama ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang memadai sebagai pedoman dalam Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; (e) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemajuan Kebudayaan.

Anwar Jimpe Rachman, melihat dua hal yang berlawanan dalam diskusi ini. Undang-undang sebagai sesuatu yang formal, dan teater pemberdayaan justru mengarah ke informal.

Luna Vidya kemudian memulainya dengan menjelaskan potensi dan cara pandang alternatif yang bisa dipakai untuk melihat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan ini, supaya orang-orang yang bergiat dalam kesenian, mulai bergerak lebih jauh.

Ia mulai dengan pertanyaan, “Apa makna UU Pemajuan Kebudayaan no 5 tahun 2017 untuk ekosistem kebudayaan dan rencana pembangunan?”

Menurutnya, ekosistem kebudayaan dan rencana pembangunan adalah dua dunia yang berbeda. Tapi maknanya satu, bahwa pemerintah sekarang bersedia memasukkan strategi kebudayaan dalam pembangunan. Dalam pengamatannya, selama ini pembangunan nasional tidak pernah memasukkan kebudayaan dalam strategi pembangunan. Juga tidak pernah menjadikan kebudayaan sebagai referensi. Dengan adanya UU Pemajuan kebudayaan, yang dibangun oleh pemerintah sendiri, kemudian menjadi payung hukum untuk berinovasi.

“Selama ini ‘kan peristiwa kebudayaan ketika muncul dalam peristiwa pemerintahan, hanya aksesoris. Karena mereka tidak bisa bergerak lebih jauh dari itu. Makanya teman-teman biasa diundang menari hanya untuk pembukaan. Tidak ada relevansi, tidak ada gagasan luar biasa dari tarian yang diundang, karena tidak ada ruang untuk itu,” singgungnya.

Dengan hadirnya UU Pemajuan Kebudayaan, ada payung hukum membuat inovasi-inovasi dalam mekanisme yang sangat formal. Kemudian, ini juga menjadi payung hukum bagi kita untuk mengelola kebudayaan. Bukan soal uang, kata Luna. Tapi dengan UU ini, kita diberi harga diri oleh pemerintah. Kita juga punya posisi tawar untuk mengajukan gagasan kita. Jadi kita bukan lagi sekadar hiasan dalam strategi pembangunan.

Cara Pandang Alternatif

Dengan adanya UU Pemajuan Kebudayaan sebagai payung hukum untuk mengeola kebudayaan, kebudayaan bukan lagi melulu soal minta gedung, juga ingin membuat pertunjukan. Ini kemudian menjadikan ekosistem kebudayaan sebagai pengemas sebuah karya seni dalam rangkaian pariwisata. Jadi, menurutnya, kita harus berpikir menyeluruh.

“Ini tawaran alternatif. Bukan gagasan satu-satunya. Teater kebudayaan juga bukan alternatif satu-satunya. Karena saya berteater, saya memakai elemen teater untuk memberdayakan,” kata Luna.

Menurutnya, lima puluh tahun ke depan, Indonesia sudah bisa bilang bahwa pembangunan di negara saya sudah punya strategi kebudayaan di dalamnya. Ini sudah seperti cita-cita kemerdekaan baru. Kesenian, tegasnya, bukan hanya menampilkan pertunjukan. Tapi kesenian dan proses kesenian yang melahirkan begitu banyak gagasan, justru sekarang berharga dalam mengambil keputusan-keputusan. Dia berkontribusi pada regulasi. Ini yang dijanjikan oleh UU Pemajuan Kebudayaan.

“Saya bilang luar biasa, karena saya ada pekerjaan yang menuntut saya memfasilitasi orang untuk membangun gagasan, juga untuk merencanakan pembangunan.”

Cara pandang alternatif lainnya menurut Luna, adalah supaya orang-orang kesenian ini, bisa membangun kesenian yang lebih holistik terhadap potensi kebudayaan dalam masyarakat. Gagasan holistik yang dimaksud, bahwa kesenian adalah metode, fasilitas, alat, dan platform, untuk membuat masyarakat mengeluarkan gagasannya. Kita harus berpikir holistik, menyeluruh.

“Bukan berpikir soal festival lagi dan lagi, tapi justru memikirkan apa manfaatnya,” tegasnya.

Gagasan Teater Pemberdayaan dan Pembangunan

Pembangunan meninggalkan jejak kesenjangan. Masyarakat selalu ditinggalkan sebagai penonton tetap. Penonton tetap itu adalah anak, perempuan, masyarakat dengan disabilitas, dan kaum miskin. Menurut Luna, kalangan ini tidak pernah diajak untuk terlibat dalam memutuskan sesuatu. Pembangunan pun merupakan narasi asing yang represif terhadap mereka.

Menjadi represif, kata Luna, karena kita seenaknya datang ke masyarakat lalu bilang, “Ini proker bagus. Terima saja”. Tapi toh, mereka yang mengelola hidupnya di situ. Kenapa kita yang menentukan dan mengubahnya. Mereka tidak punya akses, seperti yang banyak terlihat.

Menurutnya, pembangunan lebih bisa intervensi oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan. Dan kita selalu hidup dalam keadaan tertekan. Tidak pernah diajak bicara. Padahal, kata Luna memberi contoh, barangkali ada perempuan cuma butuh kesempatan memeriksakan kesehatan reproduksinya, dan puskesmas paling dekat mesti berjalan kaki sepuluh kilometer lagi, ditambah biaya yang sangat berat. Tapi pembangunan yang sekarang digalakkan oleh pemerintah, menurutnya, bahkan dengan mekanisme yang sangat formal, malah asing, menekan, dan kita hanya dijadikan boneka. Padahal di masyarakat, ada kemampuan untuk bertahan, kemampuan untuk mengekspresikan diri, mengomunikasikan gagasan, karena mereka memang harus bisa membela diri mereka. Maksudnya, dalam konteks kebudayaan, kita menemukan jalan keluar untuk masalah yang dilemparkan oleh pembangunan.

Karena itulah UU Pemajuan Kebudayaan perlu menyelipkan konteks sosial-budaya sebagai referensi pembangunan.

“Teater memungkinkan itu. Kesenian apapun memungkinkan itu. Jadi teater di sini, bisa saya bilang sebagai seni pemberdayaan. Teater menawarkan anti-dosis dari represif. Karena di teater, orang diajak bicara, dan mereka bicara dengan bahasanya. Tapi sayangnya, banyak yang masih mengurung peristiwa penggalian gagasan, ekspresi orang, dalam ruang-ruang pertunjukan,” jelas seniman yang kini aktif bermonolog.

Mestinya, kata Luna, ruang-ruang pertunjukan yang berlangsung di gedung dan mewah, memakan banyak biaya, keluar dari keadaan-keadaan itu, karena memiliki potensi lain untuk memberdayakan masyarakat. Lebih jelasnya, ia mengatakan teater pemberdayaan itu seperti manifesto gagasan: menyatakan, menampilkan diri dan sikap terhadap kesehatan, ekonomi, dan semua gagasan tentang aspek kehidupan yang mereka butuhkan untuk bertahan.

Yang dibutuhkan oleh kita semua adalah bahwa proses kesenian kita masing-masing itu yang menjadi alat bantu identifikasi persoalan-persoalan sosial. Misalnya, Fesival Sungai Mandar. Ada identifikasi soal ekologi kalau hutan bambu dibabat, ada persoalan sampah, persoalan kualitas kehidupan lewat kualitas air yang turun. Bukan saja kolaborasi atas sebuah peristiwa, tapi dia mengenali isu sosial, persoalan ekonomi, dan asetnya.

Jadi, kata Luna, pembangunan itu harus bermakna, juga mandiri. Jadi ketika bicara soal pembangunan, bukan lagi bicara soal jembatan, jalan tol, atau mal baru. Tapi bagaimana orang-orang di tempat paling dekat bisa mandiri.

Bom Benang, Aset, dan Kemandirian

Mendengar Luna Vidya tentang kemandirian, persoalan sosial-budaya, dan aset, saya teringat Bom Benang 2017, yang mengangkat tema ‘Benang dan Sungai’, mengajak warga di sekitaran Sungai Sinre’jala, sungai yang berada di belakang Kampung Buku, untuk berpameran. Tim kerja yang bergabung kemudian hanya bertindak sebagai fasilitator. Warga kemudian berperan sebagai seniman.

Aset apa yang kemudian dimiliki oleh warga di sekitaran Sungai Sinre’jala? Aset dalam KBBI berarti sesuatu yang mempunyai nilai tukar; modal; kekayaan. Tim kerja kemudian berembuk untuk mencari sesuatu, bahan, yang akrab dengan warga, yang paling dekat dengan mereka. Dalam proses ini, saya memahami, bahwa menjadi fasilitator juga mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman. Bukan hanya warga saja yang belajar, tapi proses kemandirian yang dimaksudkan, barangkali berlaku holistik pada tim kerja dan warga. Satu kegiatan yang kemudian memberdayakan dua sisi.

Eceng gondok kemudian dipilih sebagai bahan membuat karya lantaran tanaman air ini banyak ditemui di Sungai Sinre’jala. Warga difasilitasi untuk belajar menganyam eceng gondok untuk dijadikan karya, sementara tim kerja difasilitasi belajar. Dalam prosesnya, belajar menganyam kemudian menjadi ruang untuk mengumpulkan gagasan warga, yang kemudian berujung pada narasi penelitian yang disebar-luaskan. Ada juga Focus Group Discussion (FGD), pembuatan video yang menampilkan runutan kerja warga, dan akhirnya, warga berpameran di halaman rumahnya sendiri, setelah berhasil menyelesaikan karya. Karya yang dihadirkan kemudian juga mempunyai nilai ekonomis.

Kesenian, dalam Bom Benang, tidak hanya berlaku dalam pemberdayaan, tetapi juga dalam merespon isu dengan tidak dipretensikan sebagai solusi. Senada dengan apa yang dijelaskan Ishaq, salah seorang peserta dialaog dari Festival Sungai Mandar, seni kemudian menjadi metode dan alat, atau platform seperti kata Luna, untuk kemandirian dan merespon. Juga sebagai ruang kolabolatorium: kolaborasi dan labolatorium, untuk lebih banyak melibatkan orang, juga belajar memanajemeni kegiatan, terutama untuk memanajemeni diri.

Apa Artinya UU Pemajuan Kebudayaan?

Apa makna UU ini bagi pekerja seni? Menurut Luna, secara umum, selama ini kita bekerja dengan pemerintah, hanya sebatas penerima proyek, atau penghias acara, tari-menari atau musik. Dengan UU ini, tanggap Luna, kita bisa melangkahi diri lebih jauh untuk mengerjakan hal-hal yang lebih penting dari sekadar tampil dalam acara, misalnya, datang ke Dinas Pendidikan dan menawarkan untuk mengumpulkan aspirasi anak sekolah di Sulawesi Selatan, dengan model teater, atau dengan sebuah proses tari. Dengan begitu, yang bisa kita peroleh bukan hanya kemahiran menari, tapi gagasan besar dari anak-anak sekolah tentang pendidikan seperti apa yang mereka mau untuk Sulawesi Selatan. Kehadiran UU ini mengaharuskan pekerja seni lebih gigih, karena kita punya posisi tawar yang lebih baik.

Mengapa harus menyebut pemerintah di atas? Luna menyatakan, sponsor seringkali kewalahan pada persoalan keuangan, apalagi kegiatan yang berjangka waktu panjang. Karena itu, hanya pemerintah yang punya dana yang stabil dan waktu yang panjang. Dengan begitu pula, Luna menyebut contoh, ini bisa menghadirkan teater pemberdayaan untuk pendidikan informal di kampung-kampung.

“Bayangkan, pejabat kampung turun dan diajak dan dilatih teater, ketimbang tidak bekerja dan menerima gaji. Lalu mereka kemudian menjelma fasilitator untuk kampungnya,” lanjutnya, “Bayangkan, jika ketua RT atau RW adalah seorang sutradara yang sudah dilatih. Yang bisa membuat naskah dan mementaskan sesuatu, misalnya, pada acara 17 Agustus. Tapi PR-nya, bagaimana membuat mereka merasa bahwa ini penting. Bukan sekadar memperingati 17 Agustus, misalnya, tapi bagaimana mengumpulkan gagasan. Jadi, jualannya teman-teman, dengan adanya UU Pemberdayaan, bukan lagi sebuah paket pertunjukan. Tapi fasilitas untuk mengumpulkan gagasan.”

“Ini tersosialisasi ndak di DPR?” tanya Arifin, pencipta Mars Sulawesi Selatan yang juga hadir dalam diskusi ini. Menurutnya, seharusnya pemerintah yang menyosialisasikan ini. Karena kalau seniman, katanya, ada indikator bahwa dianggap ‘onani’. Ia juga mengatakan bahwa penting memikirkan sejauh apa mengawal kebudayaan itu. Karena menurutnya, ini bahasa konstitusi. Ada masalah yang ditakutkan oleh Arifin. Katanya, di provinisi programnya sudah ada dan berjalan.

“Konsep yang dibawa dari dusun atau desa kemudian ke kelurahan dan selanjutnya, bisa tidak langsung direspon sekaitan dengan UU Pemajuan Kebudayaan ini?” tanya Arifin.

Martin Talib, peserta yang juga hadir, mengomentari, bhwa untuk masuk ke masyarakat, diperlukan cara masuk dengan menggunakan bahasa mereka—bukan bahasa undang-undang, supaya subtansi UU Pemajuan Kebudayaan ditangkap dengan baik. Menurutnya, banyak seniman yang tidak mau tahu dengan undang-undang seperti ini. Tapi menurutnya ini bukan halangan. Ia mengatakan dengan semangat, bahwa gerakan ini harus didorong. Bahwa kita mau pemerintah harus pro terhadap kebudayaan.

Menyinggung sosialisasi, pekerja seni, Andri Prakarsa, mengatakan bahwa ia belum baca baik-baik UU Pemajuan Kebudayaan ini. Tapi diakuinya wacana itu sudah keluar. Namun, menurutnya, penurunan mekanisme undang-undang pada tingkat desa sekalipun, itu belum pernah tercapai. Sebagai contoh, dana desa ditambah ADD, subsidi daerah, sekitar dua milyaran sekian tiap desa. Kemudian di dalam dana desa itu, kata Andri, ada 12 item, yang di dalamnya termasuk kebudayaan.

“Cuma itu tadi, mekanismenya yang tidak pernah sampai, karena stigma yang pemerintah bangun ke masyarakat adalah pembangunan infrastruktur. Bukan malah infrastruktur sosialnya yang mereka lihat terlebih dahulu. Misalnya, kemampuan masyarakat untuk menjangkau pendidikan, aktualisasi kultur: pertanian lewat tradisi misalnya, yang bisa meningkatkan perekonomian mereka,” jelas Andri.

Penurunan mekanisme yang dimaksud oleh Andri adalah berubahnya dana wilayah menjadi dana aspirasi, dalam bentuk bagaimana menyosialisasikan undang-undang, peraturan pemerintah, kemudian perda, dalam fungsi masing-masing. Jadi, menurutnya, selama pengalamannya mengikuti sosialisasi, stigma yang dibangun memang infrastruktur. Soal UU Pemajuan Budaya dan semacamnya, misalnya, tidak pernah disinggung sekalipun.

Asia Ramli Prapanca, kurator Mahakarya: Mata Air Kenangan, menyinggung soal Indonesiana sebagai platform pendukung kegiatan seni budaya di Indonesia yang bertujuan untuk membantu tata kelola kegiatan seni budaya yang berkelanjutan, berjejaring, dan berkembang. Indonesiana diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Indonesiana dikerjakan dengan semangat gotong royong dan dengan melibatkan semua pihak yang memiliki kepedulian dan kepentingan atas pemajuan kebudayaan di Indonesia.[1]

“Delapan sampai sembilan festival Indonesiana yang sedang berjalan ini, ternyata, dalam satu provinsi, bisa tiga atau lebih kota kabupaten bersama-sama. Yang punya karakter kebudayaan yang sama, misalnya, konteks bahari, melibatkan Gowa, Bulukumba, dan Bantaeng. Tiga kota/kabupaten itu bisa bersama-sama mengumpulkan uang 50% itu, kemudian ditambah 50%. Atau festival bissu: Pangkep, Bone, dan Barru. Tapi tidak boleh mengundang guru-guru kesenian untuk tampil di atas panggung. Kalaupun dipanggil, mereka hanya akan jadi fasilitator. Yang pertunjukan, harus masyarakat,” kata Asia Ramli.

Bagaimanapun, menurut saya, undang-undang ini sudah ada. Soal sosialisasi, bisa dilakukan pelan-pelan. Seperti tujuannya, pemberdayaan, harus pula dilakukan pelan-pelan dan bertahap. Kita harus kembali belajar manajemen, agar tahap-tahap yang akan dilewati, bisa dialami sebagai sebuah proses berkesenian.

[1] http://indonesiana.or.id/, diakses pada 22 Juli 2018, pukul 21.03 WITA.

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan