“Refusal to hope is nothing more than a decision to die.”
Pearl S. Buck
Proses kontemplasi Faisal Syarif membawanya membuat karya berjudul “Artist Value”, sebuah karya berdimensi dua kali dua meter persegi berlatar putih yang penuh dengan ‘coret-coret’ berwarna merah, cokelat, biru, kuning, oranye, dan hitam. Coret-coret Faisal Syarif pada karyanya seperti peta dari hasil tur perjalanan pikirannya yang acak dan beragam: mulai dari persoalan pribadi, hingga persoalan seni rupa di Makassar. Puncaknya, ketika ia mengalami hal-hal luar biasa dalam hidupnya.
Tahun 2018 menjadi tahun yang luar biasa bagi Faisal Syarif, seniman kelahiran Makassar 15 Oktober 1978, karena istrinya, Anggreani Muktar Ali yang secara medis divonis tidak bisa hamil, ternyata hamil. Selama lima tahun, penantian pasangan suami-istri ini membuahkan hasil, setelah sebelumnya memutuskan menikah pada tahun 2014 silam. Di tahun yang sama, Faisal juga diajak sebagai “emerging artist” oleh Galeri Marco Antonio Patrizio, sebuah galeri yang berbasis di Padua, Italia. Galeri yang didirikan pada tahun 2017 oleh Dr. Marco Antonio Patrizio ini berfokus pada seni kontemporer.
Harapan-harapan Faisal akhirnya terjawab oleh upaya dan waktu. Itu dibawanya pada proses berkesenian. Ia bersama sembilan seniman di Makassar menginisiasi pameran Makassar Art Initiative Movement (MAIM), sebuah pameran yang bercita-cita menyebarkan “virus” semangat berkesenian yang total, kreatif, maksimal, dan menampilkan ide-ide segar yang inovatif memiliki nilai kebaruan. Gerakan ini memiliki harapan besar Makassar dapat menjadi medan tumbuh kembangnya dunia seni rupa yang dinamis dan dialektik.[1]
“Art of Process” menjadi tema pameran tersebut, dengan menghadirkan presentasi yang tidak biasa dengan membuat display, menghadirkan studio seniman di dalam ruang pameran sebagai presentasi pameran itu sendiri.[2] Konsekuensi dari pameran proses adalah menampilkan ‘rahasia dapur’ dari para seniman yang terlibat pada pameran itu. Kita bisa mengimajinasikan bagaimana sebuah karya diproses dari gagasan hingga visual.
Karya Faisal yang dibawanya pada pameran MAIM adalah representasi visual dari pola pikir seniman yang acak, lalu divisualkan Faisal menjadi karya. “Seniman itu pola pikirnya acak, tapi ketika dia dilihat sebagai satu kesatuan, akan terlihat indah,” Faisal menjelaskan tampilan karyanya. Menurut Faisal, pola pikir seniman yang acak dipengaruhi oleh cara respons seniman yang lebih banyak menggunakan intuisi dan naluri. Pada karyanya, ditandai dengan empat tulisan membentuk persegi panjang berwarna merah. Empat tulisan itu: ego (emosi); IQ, logika (berpikir); EQ, naluri; dan SQ, nurani. Ia meletakkan kata inisiatif tepat di bawah tulisan EQ, naluri. Di tengah empat tulisan berbentuk persegi panjang itu, ia juga meletakkan gambar serupa otak dengan tulisan ‘life’ di tengahnya. Semakin menegaskan, bagaimana seniman menjalani hari-harinya dengan menggunakan naluri, kata Faisal.
Karya Faisal banyak menjelaskan tentang naluri karena menjadi basis pola pikir seniman. Berhubungan dengan hal tersebut, di bagian tengah sebelah kanan karyanya, Faisal menuliskan Hadis Riwayat (HR) Tirmidzi (No. 2344):
“Seandainya kalian benar-benar bertawakkal pada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.”
Sementara itu, kata rezeki pada hadis tersebut diberi tiga tanda seru, Faisal mengatakan, naluri seniman yang membawanya pada rezeki, tetapi naluri tanpa inisiatif tidak bisa mendatangkan apa-apa. Selain itu, di bagian bawah tulisan hadis tersebut, ditegaskan oleh Faisal, tertulis dengan warna hitam, “Tugas manusia untuk memiliki ‘inisiatif bergerak’ untuk mengambil tanggung jawab dan menumbuhkan keyakinan dalam prosesnya mengalami perjalanan spiritual dimulai dari diri sendiri.” Masih berhubungan dengan cara pikir seniman, yang oleh Faisal disebut banyak menggunakan naluri, tulisan ini seperti menjawab pertanyaan ‘apa’ setelah naluri.
Dalam proses berkarya, seniman lewat naluri dan inisiatifnya juga membutuhkan dukungan yang lain. Faisal membuat peta pikiran pada karyanya. Ia membaginya dalam empat bagian, yang ia tandai pada kotak persegi panjang berwarna merah. Masing-masing diberikan persentase sebanyak dua puluh lima persen: bakat, inisiatif, tim, dan keberuntungan.
Pertama, bakat menurut Faisal bukanlah menjadi landasan utama dari proses kekaryaan. Ada juga orang yang melatih keterampilan yang kemudian menjadi bakatnya, pada alam bawah sadar terendap karena terus dilatih dan menjadi kebiasaan. Kemudian, yang kedua, inisiatif pada praktiknya memerlukan kebulatan tekad, kemauan, kesadaran, dan kemandirian untuk mencapai sesuatu. Bakat dan inisiatif menurut Faisal barulah 50% dalam proses berkesenian. Ketiga, keberuntungan yang diporsikan Faisal sebanyak 25%, bukanlah keberuntungan seperti menunggu durian jatuh, tetapi upaya menciptakan keberuntungan oleh seniman sendiri. Untuk yang terakhir, tim, menurut Faisal tidak merujuk pada tim pada kepanitiaan satu kegiatan, tetapi tim yang lebih dipahami sebagai orang-orang di luar seniman yang melakukan publikasi, promosi, dan lainnya. Maka dari itu, kolaborasi menjadi hal yang tak bisa dihindari dalam proses berkesenian, seperti yang dijelaskan oleh Faisal.
Untuk dapat memahami keseimbangan persentase bakat, inisiatif, tim, dan keberuntungan sebagai kolaborasi, Faisal menekankan perlunya titik kritis yang dilewati oleh seniman. Daya juang seniman diasah dengan tantangan yang tidak atau sengaja diciptakan. Titik kritis ini nantinya berfungsi sebagai daya pacu seniman untuk melampaui dirinya yang lama. Ia menganalogikan seperti seseorang yang dikejar anjing secara spontan bisa mengeluarkan tenaga dalamnya. Hal ini menurut Faisal, beda dengan ketika seseorang berlari tanpa dikejar anjing. Hanya saja, anjing dalam analogi ini dipahami sebagai sesuatu yang hadir karena dibuat dan dijemput sebagai tantangan.
Dalam karya Faisal, titik kritis ditandai dengan lingkaran berwarna biru dan merah, yang mana lingkaran biru lebih dominan daripada merah. Di atas lingkaran itu, tulisan “critis” diletakkan dengan huruf ‘K’ di awal kata yang dicoret. Coretan berwarna merah dan biru yang melingkar itu, agaknya menandakan titik kritis yang dimaksud Faisal. Bentuk lingkaran yang tidak simetris, bahkan dengan sengaja dibuat abstrak, menunjukkan adanya kegelisahan yang oleh Faisal disebut tantangan yang sedang dihadapi oleh seniman.
Kata “MAIM” tertulis tepat di sebelah lingkaran biru dan merah dengan kata “critis” di atasnya. Tulisan berwarna biru bertuliskan “MAIM” dan “critis” diletakkan berdampingan bukan tanpa sebab. MAIM hadir sebagai pameran proses dari proses panjang yang disebut ‘titik kritis’. Ada dua hal yang bisa saya catat dari karya dan penjelasan Faisal: pertama, bisa dilihat pada karyanya, ada trafik seni rupa di Makassar yang digambarkan. Dari tahun 1999 hingga 2019, ada rongga ‘kosong’ dari peristiwa seni rupa yang terjadi di Makassar. Dalam pencatatan Ivaa,[3] sepanjang tahun itu, hanya ada dua peristiwa seni rupa kontemporer di Makassar: (1) Pameran Fotografi “Common Ground” yang digelar di Monumen Mandala pada 20 – 30 September 2003. (2) Makassar Art Forum 1999 yang digelar di Gedung Societet de Harmoni, 1 – 12 September 1999. Melihat pencatatan Ivaa, ini tentu jumlah yang sedikit selama 20 tahun. Tetapi, Ivaa hanya salah satu pengarsip digital seni kontemporer. Sependek ingatan saya pada peristiwa seni rupa di Makassar, di Makassar digelar Makassar Biennale pada tahun 2015 dan tahun 2017. Juga di kampus-kampus yang punya jurusan seni rupa di Makassar, semisal UNM dan UNISMUH. Kemudian ada Stasiun (2013), sebuah pameran dengan konsep arisan, door to door, yang oleh Faisal disebut pada wicara seniman di ruang pamer MAIM. Tetapi, titik kritis pada bagian ini oleh Faisal dikatakan ‘kosong’ karena tidak adanya kebaruan pada proses berkesenian.
“Misalnya, relevansi gagasan pada karya dengan konteks zaman terlepas. Sehingga yang kita, para seniman lakukan hanyalah mengulang-ulang gagasan dan karya lama,” jelas Faisal. Ini terjadi karena kebudayaan dibaca sebagai hal yang statis. Konsekuensinya, kebudayaan kemudian hanya dalam frame pelestarian. Tidak ada transformasi dalam seni rupa sehingga yang oleh Faisal, disebut sebagai kekosongan, yang pada akhirnya menjadi titik kritis seniman di Makassar.
Kedua, titik kritis yang hadir dalam proses kurasi karya sebelum pameran pertama MAIM digelar. Mereka melakukan self curated, yang oleh Faisal disebut sebagai ‘pembantaian’, dan bisa mematikan seniman jika direspons secara emosional. Proses self curated, kata Faisal adalah cara baru di Makassar. Pada proses itu, seniman belajar menerima dan mengubah karya bahkan gagasan jika tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi proses ini penting, seperti pisau bermata dua, ia juga berfungsi menguatkan gagasan dan karya seniman, terlebih menguatkan ikatan emosional antar seniman, minimal seniman yang terlibat di MAIM.
Tranformasi pada akhirnya tidak berlaku pada karya dan gagasan yang sesuai zaman saja. Pada pameran MAIM, transformasi ditemukan pada proses kurasi, seperti yang dijelaskan oleh Faisal. MAIM kemudian, seperti harapan Faisal, menjadi pameran yang memprovokasi seniman di Makassar untuk ikut bertransformasi dalam gagasan, karya, bahkan proses. Ada kebaruan yang dihadirkan sebagai upaya menemukan nilai seni rupa di Makassar.[]
Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1]Artefact, http://artefact.id/2019/02/17/makassar-art-initiative-movement-art-of-process/, diakses pada 21 Februari, pukul 00.01 WITA.
[2] Ibid
[3]Ivaa, http://archive.ivaa-online.org/events/index/Event.dari_tahun:1999/Event.ke_tahun:2019/Event.City:124, diakses pada 27 Februari 2019, pukul 22.11 WITA.