Pengaruh kebijakan rezim Orde Baru lewat program Revolusi Hijau mereprensentasikan penyajian teks koleksi Museum La Galigo yang menyebutkan bahwa sagu sebagai makanan “alternatif” masyarakat Sulawesi Selatan. Di Kapubaten Luwu di Sulawesi Selatan yang berjarak sekisar 367 kilometer dari Kota Makassar, dulunya masyarakat di sana menjadikan sagu sebagai makanan pokok dan komoditas andalan, lantaran memiliki peranan penting selain sebagai makanan utama bagi warga setempat: sisa batang sagu, pelepah, dan daunnya juga dimanfaatkan.
Ketika Orde Baru mengimplementasikan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dari RPJPT-I (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama) muncullah revolusi hijau sebagai wacana dominan.[1] Seiring dengan hal tersebut, “…pengetahuan asli petani dan warga desa yang sebelumnya mendukung ketradisionalan dan subsistensi pertanian, bersama nilai, norma, pranata, dan kelembagaan lokal-asli yang mengawalnya, digeser ke posisi paling pinggir dan peran paling minimal…”[2] peminggiran atas yang asli itulah menampilkan “keseragaman” sumber pangan (beras) menggantikan pangan selain beras, seperti sagu.
Pada sesi kunjungan lapangan peserta dan fasilitator program “Storytelling in Museums-Lokakarya Kuratorial” ke Museum La Galigo di dalam Kompleks Fort Rotterdam, pengunjung diajak menyusuri areal museum—tiap ruangan “pembabakan” dilewati: mulai dari prasejarah, masyarakat terpencil, agraris, kebaharian, hingga perkotaan.
Di depan dua puluh sembilan peserta dan fasilitator yang sebagian besar berasal dari luar Sulawesi Selatan, Iwan Pirous, antropolog yang menjadi fasilitator bercerita di museum, meminta Anwar Jimpe Rachman, salah satu fasilitator program yang juga ikut dalam kunjungan lapangan ke museum, menjelaskan tentang konteks budaya pangan masyarakat Sulawesi Selatan. Jimpe menyebut berdasarkan penelusuran Muhlis Hadrawi dan Nuraidar Agus[3], bahwa wilayah Sulawesi Selatan mengenal ragam pangan selain padi yang sudah familiar dengan sejarah kerajaan di Sulawesi Selatan, yaitu gandum, dalam naskah lontara disebut wetteng (wheat), dan juga tiuseng (millet) atau milet, sereal berbulir kecil.
Perjalanan berlanjut menyusuri “Ruang Budaya Pedalaman Agraris” di lantai dua Museum La Galigo, yang di dalamnya menampilkan peralatan panen dan berkebun, jenis-jenis lesung, tanaman pangan, dan tanaman palawija. Koleksi lesung yang tampak menonjol di ujung ruangan—ukurannya yang panjang dengan lima alu dijejer berdiri di atasnya, Iwan Pirous mencoba menafsirkan konteks sosial benda ini sebagai benda yang “ribut”, lantaran suara yang dihasilkan dari alu yang repetitif saat proses menumbuk, diselingi dengan perbincangan orang satu sama lain.
“Dari situlah nasi yang kita makan berasal, tapi tidak ada informasinya.” Padahal, “akan lebih baik apabila suatu objek secara emosional bisa membangkitkan kenangan masa kecil pengunjungnya karena sebetulnya kita adalah makhluk yang teralienasi dan hidup di zaman modern,” cetus Iwan Pirous.
Berbagai uraian yang muncul dalam sesi kunjungan lapangan ke museum di hari pertama, terutama penyajian konten narasi yang ditampilkan di Museum La Galigo belum begitu merepresentasikan bagian hidup masyarakat Sulawesi Selatan sesuai dengan konteks (objek masa lalu) dan latar belakang budayanya, sehingga menggambarkan bahwa ada narasi yang “terputus” atau mungkin sengaja dihilangkan.
Di sisi lain, kita dapat melihat adanya keseragaman konsep penyajian museum yang diadopsi dari pengaruh rezim Orde Baru, yang cenderung menghilangkan narasi-narasi yang menggambarkan situasi atau konteks tertentu, sehingga ada bagian atau praktik budaya yang masih ditutupi dalam penyajian koleksi museum. Dalam hal ini, “Orde Baru belum benar-benar pergi dalam penyajian museum,” kata Iwan Pirous.
Program “Storytelling in Museum—Lokakarya Kuratorial”, yang berlangsung di Makassar (29 Juli-2 Agustus) di dua lokasi: Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) dan Museum Kota Makassar adalah sebuah program yang diprakarsai oleh Goethe Institut bekerja sama dengan Makassar Biennale menginisiasi dan mengorganisasi ruang belajar dan bertukar pikiran secara langsung untuk membahas isu dan tantangan yang relevan dan mendesak yang dihadapi museum di Indonesia. Seperti pengembangan strategi konten museum yang menarik, relevan dan praktis dalam berbagai aspek pada pencarian identitas. Dalam hal ini, program ini berfokus membicarakan berbagai aspek praktik museum kontemporer: penanganan dokumen dan arsip fotografis di museum, kerja sama di antara lembaga pendidikan, karya seniman, dan berbagai komunitas serta ekspektasi publik.
Pada program lokakarya tersebut, Goethe Institut—Makassar Biennale melibatkan peserta dari berbagai perwakilan museum dan komunitas di Indonesia setelah melalui “proses penyaringan”, didampingi kurator-kurator dan profesional dari Jerman, Selandia Baru, dan Indonesia. Di antaranya, Annisa M.Gultom (museolog Indonesia), Paul Spies (Direktur Stadmuseum Berlin/Museum Kota Berlin), Puawai Cairns (Kepala Mautaranga Maori/Koleksi Maori di Museum Selandia Baru Te Papa Tongarewa), Anwar Jimpe Rachman (Direktur Makassar Biennale), Iwan Meulia Pirous (antropolog dan periset di agensi konsultan kehutanan GAIA dan Forum Indonesia untuk Studi Antropologi), Hendro Wiyanto (penulis dan kurator seni rupa independen), dan Dias Pradadimara (peneliti dan dosen sejarah di Universitas Hasanuddin).
Di kesempatan lain, pada sesi kunjungan lapangan ke Museum La Galigo, Iwan Pirous memberi gambaran atau “sudut pandang lain” dalam menginterpretasi koleksi museum. Sejumlah peserta dan fasilitator terlihat antusias memperhatikan Iwan Pirous sambil melihat-lihat ragam koleksi beserta panel-panel informasi koleksi museum. Kamera gawainya sesekali diarahkan ke objek yang dianggap menarik.
Menurut Iwan Pirous, koleksi yang dipamerkan di Museum La Galigo dapat digolongkan sebagai koleksi klasik atau koleksi prima dengan “klasifikasi standar museum”. Klasifikasi museum yang memiliki nilai sejarah dan dapat diidentifikasi menjadikan museum sebagai referensi dalam melihat identitas budaya masyarakat, lantaran museum memberi informasi kultural. Dalam hal ini, “museum dapat dimanfaatkan sebagai studi untuk mempelajari budaya manusianya (antropologi) dengan mengkaji koleksi-koleksi benda budaya yang disajikan di dalamnya.”
Iwan Pirous memberi contoh dari penelitiannya tentang suku Dayak Iban yang hidup di daerah pedalaman bukit-bukit di Sarawak di wilayah Malaysia dengan suku Dayak Iban yang hidup di pedalaman hutan Kalimantan Barat, Indonesia. Studi literatur tentang perikehidupan Dayak Iban hanya sedikit yang tercatat di Indonesia, sebagian besar literatur lainnya ada di Museum Sarawak, Malaysia. Dalam hal ini, penelitian-penelitian tentang kebudayaan Dayak Iban di Kalimantan sebagian referensinya ada di Museum Sarawak, dan menjadi studi penting untuk melihat dan memahami realitas kultural dan pola migrasi mereka lewat sungai serta pengaruh kolonial Belanda dan Inggris. Berdasarkan hal tersebut, Iwan Pirous menyarankan agar di Kalimantan dibikin “Museum Sungai”.
Di sesi lain, sesi hari pertama, yang berlangsung di Chapel Fort Rotterdam, Hendro Wiyanto, penulis dan kurator seni rupa independen, menjelaskan tentang “bagaimana sejarah seni nasional berimpitan dengan nasional dan narasinya pada pameran Galeri Nasional”, Ia menyebut bahwa ketika kita melihat pameran, sebetulnya kita tidak sedang mengingat wacana seni rupa, tapi mengingat wacana sebuah rezim.
Sementara itu, pada sesi diskusi kelas yang sama, Anwar Jimpe Rachman, menjelaskan tentang “Seni rupa Indonesia bagian Timur dengan fokus di Makassar dan presentasinya pada publik”, salah satunya terkait dengan minimnya upaya pencatatan seni rupa Makassar, setidaknya pada periode sebelum 1998. Meskipun, “catatan sejarah seni rupa Makassar sebagian ada di beberapa dosen, namun kita mesti lebih proaktif “mengejar mereka”, karena waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengajar di kampus-kampus,” ungkap Jimpe.
Di konteks lain, Jimpe menceritakan bagaimana dinamika seni rupa di Makassar lebih diwarnai dengan seni yang berhubungan dengan seni sebagai aktivisme dengan menceritakan praktik-praktik berkesenian Firman Djamil, seniman asal Sulawesi Selatan, saat melakukan seni pertunjukan outdoor pada pameran seni rupa MAF 99’, yang konsepnya lebih dinamis. Di bulan Mei setahun setelah reformasi, Firman Djamil menghimpun dan mengajak warga setempat menutupi dinding Fort Rotterdam dengan koran, hingga kendaraan-kendaraan seperti becak, bahkan orang-orang arak-arakan menggunakan busana dari koran pada masa itu.
Praktik lainnya juga disampaikan Jimpe dalam pendekatan yang dilakukan “Bom Benang”—menggunakan seni sebagai “jalan keluar”. Dalam praktiknya, Komunitas Quiqui, komunitas perajut Makassar bersama Tanahindie yang memprakarsai Bom Benang sejak awal (2012) mencoba untuk menghubungkan antara karya dan warga. Mereka mengajak sekelompok warga menjadi kreator karya. Seperti pada tahun kelimanya, tahun 2015, Bom Benang mengangkat tema “Benang Kandung”, judul yang memplesetkan istilah kekerabatan seperti “anak kandung” sebagai cara menunjukkan bahwa orang-orang bisa saling terhubung dengan menggunakan medium benang.
Di sesi lain, sesi studi kasus kelompok di hari ketiga, peserta dibagi menjadi lima kelompok secara acak, masing-masing grup terdiri dari 5-6 orang. Setiap grup mengurai identifikasi masalah dari tema yang sudah ditentukan oleh fasilitator setelah kunjungan lapangan ke Museum La Galigo dan Museum Kota Makassar.
Salah satu kelompok peserta menyoroti “arah narasi” yang ditampilkan di Museum La Galigo dan Museum Kota Makassar terkait keberagaman etnis di Sulawesi Selatan. Etnis Toraja, Mandar, Tionghoa, dan beberapa etnis lainnya di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar terkesan termarginalkan karena minim penyebutan dalam penyajian konten museum, baik secara narasi maupun koleksi benda. Sementara itu, etnis Bugis-Makassar menjadi etnis yang paling dominan disebut, khususnya di Museum La Galigo. Dari kedua hal tersebut, kita dapat melihat penyajian narasi yang ditampilkan di kedua museum di atas hanya menampilkan “narasi-narasi besar”.
Dengan kata kunci “narasi-narasi besar”, Dias Pradadimara, peneliti dan dosen sejarah di Universitas Hasanuddin, menjelaskan konteks tentang “Multikulturalisme di Makassar” saat sesi kunjungan lapangan ke Museum Kota Makassar di hari kedua. Menurut Pak Dias, pengubahan nama Kota Ujung Pandang menjadi Kota Makassar merupakan wujud etnisasi, dietniskan menjadi Kota Makassar, seolah-olah asal usulnya dari kerajaan Gowa-Tallo atau Somba Opu. Hal tersebut menggambarkan narasi besar yang dibangun dari proses penamaan Makassar yang menegasikan narasi-narasi kecil di Kota Makassar, seperti etnis di luar Makassar.
Dalam konteks koleksi Museum Kota Makassar, kita bisa melihat potret perempuan hanya menampilkan Ratu Wihelmina dan putrinya, Juliana, yang menjadi salah satu contoh narasi besar dalam penyajian museum. Sementara itu, kata Pak Dias, fragmen-fragmen narasi kecil tidak diberi ruang dalam presentasi museum. “Ada realitas yang begitu kompleks disajikan secara terpotong-potong, seperti sejarah perkembangan masyarakat kota yang hanya menggambarkan kisah bagian permukaannya saja,” ujar Pak Dias.
Berbagai acuan identifikasi yang muncul tentang arah narasi dalam penyajian museum, para peserta melakukan dialog intens bersama fasilitator dalam menyikapi hal tersebut dengan satu terobosan “menarasikan ulang museum” untuk memahami konteks-konteks tertentu yang menggambarkan proses pembabakan sejarah dan praktik budaya masyarakat Sulawesi Selatan. Model Storytelling in Museum menjadi pintu masuk dalam membentuk narasi-narasi baru yang lebih kontekstual (membangun mood museum) sebagai bagian penting dalam pelibatan audiens bagi keberlanjutan museum.
Sehubungan dengan upaya menghubungkan museum dengan audiens-nya, maka perlu untuk melakukan pengembangan penelitian untuk lebih memahami museum secara bertahap. Mulai dari memahami cara pelibatan, siapa yang harus dilibatkan. Van Mensch, ilmuwan Belanda di bidang museologi, menyatakan sehubungan dengan keterlibatan audiens, Museologi Baru mengembangakan metode dari komunikasi satu-arah menuju pelibatan audiens dalam penyusunan presentasi museum, terutama dalam penyajian identitas budaya komunitas saat ini, yang berkemungkinan tak menyadari perubahan dalam hidup mereka, materi budayanya, atau tidak memiliki kesadaran akan “tradisional” dan “modern”.[4]
Pelibatan audiens atau pihak pengguna dan pewaris langsung budayanya, Puawai Cairns, kurator Museum Te Papa Tongarewa Selandia Baru, menjelaskan tentang praktik kuratorial indigenous yang dijalankan sebagai bagian dari organisasinya di Selandia Baru. Poin-poin yang disampaikan, di antaranya, pertama, memelihara koleksi dan cerita: mengembangkan, menafsirkan, mengelola, dan menggabungkan, dalam konteks ini, bagaimana Maori (Suku Maori) menghargai benda-benda karena nilai budaya dan spritualnya. Kedua, untuk membuat pameran dari koleksi-koleksi dengan menggabungkan cara berpikir Maori sebagai “pintu masuk” dengan komunitas untuk menceritakan kisah mereka dengan istilah mereka sendiri. Ketiga, memahami sumber peran komunitas dengan ceritanya—memberikan otoritas untuk menceritakan kisah mereka. Keempat, memperjuangkan mereka yang dimarginalkan.[]
Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1] Darmawan Salman, Sosiologi Desa: Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas, Penerbit Ininnawa: 2012, hal.41-44
[2] Ibid, hal.48
[3] Muhlis Hadrawi & Nuraidar Agus, “Wanua and the Communalism System of Ancient Soppeng: A Manuscript-Based Study”, dalam “Selected Topics on Archaeology, History and Culture in the Malay World”, Springer Nature Singapore, 2018, hal.77
[4] Annissa M Gultom, Ikhtisar sumber bacaan Lokakarya Storytelling in Museums, hal.2