Seperti mengamini salah satu quote dari buku NKCTHI bahwa memang benar adanya, akan selalu ada hal yang pertama (kali) dalam hidup ini. Seperti malam beberapa waktu lalu, pertama kali dalam hidupku ikut dan terlibat secara langsung dalam acara pembukaan Makassar Biennale 2019 – Parepare. Dari sana saya bisa melihat Parepare, sebagai kota kelahiran saya, dengan sudut pandang yang lain. Dari acara pembukaan ini pula saya kemudian mengerti, bahwa seni adalah sebuah kesenangan, di mana semua dilakukan dengan hati agar menyetuh hati lainnya, dan persepsi tak mesti harus sama. Alasannya? Entahlah. Setiap orang mungkin punya alasannya.
Makassar Biennale adalah event seni rupa dua tahunan yang dilaksanakan sejak 2015. Di tahun ini, ada yang spesial, sebab Makassar Biennale melebarkan wilayah kerja mereka ke beberapa kota lainnya, di antaranya Bulukumba, Parepare, dan Polewali Mandar. Berangkat dari tema abadi “Maritim” sesuai asumsi saya, beberapa kota ini memang akrab dengan perjalanan kemaritiman. Atau mungkin dari pihak Makassar Biennale punya alasan tersendiri menentukan ketiga kota tadi sebagai wilayah kerja baru mereka.
Malam itu, seperti halnya Makassar Biennale, kami sama-sama mengalami hal yang pertama. Makassar Biennale pertama kali di wilayah kerja barunya, yakni Parepare, dan saya berada dalam pengalaman pertama kali menjadi pembawa acara di depan banyak orang, menembus tembok resah milik saya yang sepertinya tak punya ujung.
Seremoni pembukaan Makassar Biennale – Parepare dilaksanakan pada 4 Oktober 2019, bertepatan dengan perhelatan Festival Salo Karajae di Parepare. Tetapi bagi saya, Makassar Biennale adalah salah satu jalur menemukan Parepare dari sudut yang lain. Dari perspektif para seniman residen dari beberapa kota di Indonesia yang datang, kemudian memulai aktivitas kesenian mereka dengan memperlihatkan beberapa hal yang kadang kita abaikan. Menjahit beberapa alasan untuk terus menggali rasa penasaran kita. Bagi saya, Makassar Biennale adalah proses berpulang, pulang melihat Parepare lebih jauh dan lebih dalam lagi.
Makassar Biennale (MB) di Parepare mengangkat sebuah tema “Lao Sappa Deceng Lisu Mappadeceng”, sebuah tema yang luar biasa dan juga bisa dijadikan prinsip. Tema tersebut kemudian mengingatkan saya pada obrolan singkat bersama Kak Rani, yang juga merupakan salah seorang tim kerja MB Parepare. Saat itu saya bertanya kepadanya tentang pekerjaan asli orang Parepare, dia menjawab, “Pasompe! Perantau Aya’. Orang Parepare itu perantau.”
Awalnya perantau bagi saya hanyalah seputar orang yang mengadu nasib keluar dari kampungnya mencari rezeki untuk menjadi kaya, pulang membawa kebanggaan. Hanya sebatas itu. Tetapi, setelah mendengarkan narasi yang dibawakan oleh Baqhir, siswa kelas 2 SDN 30 Parepare tentang Pasompe, rupanya merantau bukan hanya sekadar mencari peruntungan, sebab kadang ada yang pergi jauh lantas pulang tak membawa apa-apa. Namun, setidaknya mereka berhasil untuk mendorong dirinya pergi mencari kebaikan di luar dan tak berdiam diri (mereka pergi dan menemukan pelajaran serta pengalaman imaterial)
Setelah mendengarkan Baqhir membacakan narasi, hangat di dada saya semakin menjadi-jadi saat melihat penampilan St. Nurqalbi, mendongengkan dengan apik tentang “Sumur Jodoh”, sumur yang tentunya sangat “sensitif” bagi kami yang berusia 25 tahun ke atas. Penampilan Nurqalbi, siswi kelas enam sekolah dasar ini benar-benar sangat menyita perhatian. Saya pun mengakui saat itu baru mengetahui dongeng tentang Sumur Jodoh, padahal beberapa waktu lalu semasa kuliah kami pernah membuat konten acara televisi dengan judul yang sama—hanya kami tidak menemukan lokasi dan minim informan. Maka “Sumur Jodoh” kami skip dan malam itu akhirnya saya kemudian mendengarkan dongeng “Sumur Jodoh” yang dikemas dengan apik.
Di sisi lain, ada yang menyita perhatian saya kala itu, saat Anwar Jimpe Rachman, Direktur Makassar Biennale memberikan sambutan. Ketika Kak Jim, sapaan akrabnya, memanggil tim kerja Makassar Biennale dan juga seniman yang terlibat untuk bergabung ke atas panggung berbagi kesan, rupanya, bukan hanya saya dan Makassar Biennale yang memiliki momen pertama kali malam itu. Ternyata Alfian Diro Damis, salah seorang tim kerja MB 2019 mengakui bahwa ini kali pertama dia terlibat bekerjasama dengan teman-teman tim kerja yang notabenenya adalah teman tongkrongannya. Rupanya cukup berbeda “rasanya” ketika melakukan kerja bersama bahkan ketika kerja itu dilakukan dengan teman dekat sekali pun. Ian mengakui sempat merasa ingin mengakhiri dan menyerah. Tapi sekali lagi, ini adalah kali pertama yang terjadi dalam diri banyak orang yang ada di Makassar Biennale, bahkan mungkin Makassar Biennale itu sendiri.
Berbagai penampilan yang ditampilkan pada malam pembukaan itu, salah satunya adalah monolog yang dibawakan oleh Kak Fani tentang seorang perempuan bernama Siti yang memilih merantau setelah ditinggalkan sang suami—kapalnya karam ditelan ombak. Siti seumpama perwakilan semangat perempuan Bugis untuk tetap mengais rezeki dan juga semangat membela perempuan lainnya (saat itu ada adegan Fani menerima surat dari salah satu perantau di Malaysia yang mengadu kalau dia disiksa majikannya, permasalahan yang hingga kini terus bergulir, terus bertambah).
Kak Fani juga membacakan puisi BJ Habibie, yang membawa emosi kita naik dan turun, dari kerinduan hingga amarah yang membuncah hingga terjun bebas ke perasaan sedih. Monolog berjudul “Lao Sappa Deceng Lisu Mappadeceng” sebenarnya seperti mantra, “Semoga yang pergi mencari kebaikan bisa pulang membawa kebaikan”. Kebaikan ilmu, kebaikan rezeki, dan kebaikan lainnya. Tentu Pasompe bukan hanya mereka yang pergi mencari rezeki. Lebih jauh lagi di masa kini, asumsi saya tentang perantau juga adalah mereka yang belajar, bersekolah, jauh dari rumah mencari kebaikan agar mampu menebar kebaikan ilmu yang ia miliki kelak.
Di sudut area panggung pembukaan Makassar Biennale saat itu, ada sebuah mobil dengan tampilan unik yang menyuguhkan kopi dan satu spot untuk “minum sepuasnya bayar seikhlasnya”, juga minuman tradisional “kayu secang”, minuman tradisional yang dianggap sebagai minuman pendamping dari dange, yang dibuat oleh seniman kuliner asal Parepare, Muslimin Mursalim atau akrab disapa Mimin.
Saya adalah orang yang kurang begitu paham tentang seni. Saya merasa beberapa hal tentang seni, di luar dari menyanyi, terasa sangat eksklusif. Saya bahkan merasa teman-teman yang terjun di dunia seni, entah itu teater, melukis, dan seni lainnya adalah segerombolan orang yang punya rasa yang berbeda dari kami atau masyarakat pada umumnya. Tetapi, pada acara malam pembukaan itu, semua terpatahkan, mereka para seniman juga adalah masyarakat, di mana mereka bersuara lewat “berkah Tuhan yang dititip lewat karya yang mereka suguhkan”.
Malam itu, Mimin menyuguhkan prosesi Madange’. Jika mendengar kata dange, yang terbersit dalam kepala saya adalah makanan yang sering ditemukan di Pangkep-Segeri. Di Parepare, kita sama sekali tidak pernah menemukan penjual dange, lalu kenapa seniman Parepare ini malah menyuguhkan dange? Rupanya pertanyaan panjang itu terjawab ketika saya memasuki galeri Makassar Biennale, yang di dalamnya berisi hasil karya kolaborasi teman-teman seniman. Ada pameran foto, diorama, dan juga dapur yang berisi bahan dan alat yang digunakan Mimin dalam membuat dange.
Saat itu, rasa penasaran membawa saya untuk bertanya lebih lanjut pada Mimin yang dijawab dengan lengkap. Dari situ pula saya kemudian kembali takjub, jika memang ternyata benar bahwa “selalu ada hal yang pertama kali dalam hidup ini”. Itu pula rupanya yang dialami Mimin dengan dange buatannya, sebuah resep keluarga yang rahasianya terjaga, sebab resep ini juga mencari siapa yang akan menerimanya. Mimin mengakui bahwa resep ini ia terima sebagai generasi kedua. Ayahnya tidak menerima resep ini, jadi ia menjadi pelanjut sang nenek untuk menyelamatkan resep makanan keluarganya. Salah satu harta paling berharga di keluarga Mimin adalah resep ini, tak akan pernah ingin ia bagi sebab ia tak mau resep turun temurun ini kelak tak lagi ketahuan rasa aslinya. Semua itu lantaran terlalu banyak yang mulai bereksperimen dan memodifikasi rasa dange milik keluarganya.
Malam itu, sebelum saya meninggalkan Mimin di ruang galeri, saya sempat bertanya, “Zaman semakin modern, bagaimana jika pada akhirnya tidak ada yang mau ‘menerima’ resep ini? Atau resep ini diterima tapi pada akhirnya malah dimodifikasi?”
Dengan yakin Mimin menjawab, “Ini mi alasanku ke Makassar Biennale, setidaknya ada dokumentasi bahwa dange ini milik keluargaku dan resepnya asli milik kami”.
Saya tersenyum dan menyadari bahwa tak hanya sebuah momen pertama, Makassar Biennale juga menjadi media Mimin untuk menyimpan arsip resep keluarganya.
Saya meninggalkan Mimin sambil tersenyum, dan membawa satu pengertian bahwa beginilah seharusnya seni, bagaimana kita mendengarkan dan memahami karya yang disuguhkan seniman (masyarakat). Saya yakin usaha Kak Jim dan juga beberapa tim kerja Makassar Biennale dalam memudarkan eksklusivitas seni rupa di mata warga bisa terealisasikan, karena sesuai keyakinan Makassar Biennale, seniman adalah warga pun dengan sebaliknya. Makassar Biennale juga percaya bahwa seni harus menjadi jalan keluar dari beberapa permasalahan. Makassar Biennale mampu dan merasa penting menerbitkan kegembiraan dan juga harapan di antara sesama warga.
Makassar Biennale, akhirnya mengantarkan saya dan beberapa yang lainnya menemui hal pertama yang tentu akan terjadi di momen lainnya. Makassar Biennale membuat saya terkagum kagum pada Parepare dengan caranya sendiri. Untuk itu, terima kasih Makassar Biennale, sebab saya jatuh cinta lagi untuk pertama kalinya pada seni yang kadang saya nantikan ketika datang berkunjung ke pameran atau ke pagelaran.
Makassar Biennale bagi saya adalah media bersenang-senang untuk menemukan hal luar biasa melalui pendekatan kesenian.
Soraya Ayu Ananda, penyiar DC FM Parepare.