Bertepatan persiapan bedah buku “Bertahan di Tengah Gempuran Budaya Massa” karya La Oddang To Sessungriu di Gedung Taumalebbi Parepare, saya bersama kawan bernama Ian berjalan kaki menuju lokasi pelaku street art (grafiti dan mural) Parepare yang hanya berjarak satu blok dari Gedung Taumalebbi. Saya bertemu dengan para bomber (sebutan untuk pelaku street art) sedang membuat karya graffiti dan mural di sebuah dinding rumah tua dalam rangka memperingati Indo Grafiti Day (IGD). Mereka memilih dinding rumah tua yang sudah kerap kali dijadikan media melakukan bombing (menggambar grafiti dan mural).
Kedatangan kami di lokasi bombing disambut hangat oleh para pelaku street art Parepare yang sebagian berkumpul di seberang jalan. Tidak menunggu waktu lama, saya langsung mengambil gambar menggunakan gawai sambil berbincang dengan R-Ween Jr, akrab kami sapa Erwin yang saat itu sedang beristirahat dan mengamati karyanya yang belum selesai.
Erwin bercerita bahwa kegiatan ini adalah ajakan dari jejaring grafiti Gardu House untuk memperingati Indo Grafiti Day, yang diperingati setiap 15 Maret serentak di Indonesia. Tanggal 15 Maret itu dipilih lantaran pada tanggal itu Gardu House didirikan.
Gardu House merupakan kolektif yang berangkat dari kecintaan terhadap grafiti dan seni jalanan sekaligus art space bagi bomber di Indonesia yang bertempat di Jakarta dan menjadi salah satu penyelenggara acara street art skala internasional yang dikenal dengan Street Dealin Festival.
Siang menjelang sore hari itu, Erwin menceritakan bahwa kegiatan ini dadakan tanpa persiapan yang matang, sehingga mereka tidak sempat melakukan observasi lokasi (dinding yang akan di gambar) lantaran masing-masing dari mereka punya kesibukan. Sebagai alternatif, mereka pun menyepakati menggambar kembali tembok lama berlatar biru yang sudah digambar komunitas grafiti Parepare sebelumnya.
Pemilihan tembok lama itu juga dikarenakan sudah banyak brosur-brosur iklan yang menempel. Mereka berharap setelah tembok berlatar biru itu digambar kembali bisa menjadi spot foto di sudut Kota Parepare.
Kegiatan memperingati IGD ini juga menjadi ajang kolaborasi perdana komunitas grafiti dengan komunitas mural Parepare di jalanan. Erwin dari komunitas grafiti mengajak komunitas mural Animesh untuk berkolaborasi. Selama ini mereka hanya bertemu dalam satu acara. Dalam merespons IGD, dua komunitas yang memiliki medium berbeda ini juga saling membantu untuk mentaktisi bahan yang ada. Menurut Erwin, grafiti dalam sekali gambar bisa menghabiskan 10 cans (cat semprot khusus grafiti), satu kaleng saja lumayan harganya. Karena itu cat sebagai bahan utama mural menjadi penyeimbang cans sekaligus jadi uji coba mereka.
Sebagai pelaku yang pertama kali memperkenalkan grafiti di Parepare, Erwin menceritakan awalnya membawa seni jalanan yang menjadikan tembok sebagai kanvas ini. Kala itu pertengahan 2008, Erwin mulai memberanikan diri untuk menggambar beberapa tembok-tembok di Parepare yang dianggapnya menarik. Ia juga aktif berjejaring dengan menghadiri acara street art di Kota Makassar.
Erwin sempat beristirahat dari dunia grafiti, hingga pada 2013-2014 ia bertemu dengan Suek dan Aster yang keduanya adalah bomber, grafiti mulai kembali eksis di kota Bandar Madani.
Selain berbincang dengan Erwin yang mewakili grafiti, hari itu juga saya berbincang dengan Onet dari komunitas mural Animesh. Onet mengaku baru pertama kali menggambar di tembok. Sebelumnya dia hanya menggambar pada kanvas atau di kaca depan kafe sesuai permintaan pemesan.
Selain Onet dari Animesh, juga ada Loadkiss dan Brocall yang punya karakter gambar masing-masing. Gambar karakter menjadi salah satu kunci identitas mereka untuk lebih mudah dikenal. Loadkiss yang pernah berkolaborasi dengan Isrol Medialegal, salah satu seniman residensi Makassar Biennale 2019 di Parepare, dengan mencoba menggambar karakter singa pada dinding. Baginya singa menjadi simbol perkasa dengan kebebasannya. Sementara itu, Brocall sendiri, awalnya hanya menggambar karakter kepala dari samping kemudian dieksplorasi menjadi sarung tinju dengan tambahan mata dan mulut. Saya sendiri melihatnya seperti gambar-gambar Suku Maya.
Sebagai bagian memperkenalkan grafiti dan mural di Parepare, sosial media menjadi salah satu alat yang begitu penting dalam menjangkau khalayak luas. Membicarakan sosial media tentu membicarakan kontennya, kata Onet, untuk pengerjaan konten, Animesh sering berkolaborasi dengan konten kreator seperti Susukentalmaniz.
Kegiatan memperingati IGD juga menjadi ajang pemanasan bagi pelaku street art Parepare menjelang Antween Fest dan Animesh Fest, dua festival subkultur yang turut melibatkan beragam komunitas yang rencananya berlangsung tahun ini di Kota Parepare.
Bagi penikmat street art Ajatappareng yang ingin menikmati karya grafiti dan mural atau yang sedang mencari spot foto untuk kebutuhan sosial media, ‘tembok berlatar biru’ di Jalan Masjid Raya di depan Sekolah Dasar Negeri 4 dan 18 Parepare bisa menjadi salah satu rekomendasi.
Andi Musran, Direktur Sampan Institute.