Sebagai ajang seni rupa internasional dua tahunan, Jakarta Biennale, Biennale Jogja, dan Makassar Biennale merupakan peristiwa penting yang turut andil dalam pengembangan wacana seni dan kebudayaan, sekaligus menjadi wadah berbagi pengetahuan antarkalangan dengan modus seni.
Kehadiran ketiga biennale itu ikut membangun ekosistem seni rupa Indonesia selama tiga dekade belakangan, dengan menawarkan berbagai praktik ‘strategi baru’ dalam berkesenian di masing-masing kota, terutama perannya dalam pelibatan warga. Ketiganya contoh ajang seni rupa kontemporer yang senantiasa bergerak dinamis—dengan terus berupaya membuka kemungkinan-kemungkinan baru dan melebarkan jangkauan kerjasamanya, baik dalam lingkup global maupun lokal.
Jejak penyelenggaraan ketiga biennale itulah yang mengemuka dalam Bincang Seni “Pengalaman Seni Lewat Biennale” yang diinisiasi oleh Seni Untuk Indonesia, platform baru Ganara Art (sekolah seni rupa informal yang didirikan di Jakarta), dengan menghadirkan Direktur Jakarta Biennale, Farah Wardani; Direktur Biennale Jogja, Alia Swastika; Direktur Makassar Biennale, Anwar Jimpe Rachman; dan dimoderatori oleh Tita Djumaryo (pendiri Ganara Art dan Seni Untuk Indonesia). Acara yang berlangsung pada Kamis, 25 Juni 2020, ini dihadiri kurang lebih delapan puluh peserta dari berbagai latar belakang.
Alia Swastika memulai kesempatannya dengan menceritakan profil dan sejarah Biennale Jogja (BJ). BJ didirikan pada 1988, yang saat itu jadi bagian Taman Budaya Yogyakarta dan belum bergerak secara independen. Pada 23 Agustus 2010, BJ secara resmi menjadi Yayasan Biennale Yogyakarta atas inisiatif beberapa seniman dan stakeholder kesenian di Jogja dengan mengedepankan visi ekuator (Equator) sebagai arah atau wilayah kerja selama dua belas tahun (2010-2021).
Perjalanan BJ selama kurang lebih satu dekade sejak Equator #1 (2011), memulai fokusnya dalam mengorganisir biennale berskala internasional untuk membangun dialog dan kerja sama antarbangsa seperti negara-negara di Asia Selatan, salah satunya India. Alia menjelaskan bahwa bekerja sama dengan negara-negara yang awalnya mungkin tidak dilihat sebagai pusat dalam skena seni global seperti India, Nigeria, atau Madagaskar menjadi tantangan tersendiri bagi BJ. Ia menyodorkan sebuah tinjauan dari tantangan yang dihadapi BJ, bahwa gagasan tentang pergaulan global sekarang harus dilihat ulang, misalnya tidak hanya melihat Eropa atau Amerika sebagai tolok ukur pergaulan global. Seiring dengan hal itu, sambung Alia, tantangan untuk meyakinkan pemerintah bahwa “diplomasi budaya” ini berharga untuk jangka panjang dalam membangun sejarah bersama.
Dalam kesempatan lain, Farah Wardani memperkenalkan sejarah berdirinya Jakarta Biennale. Sebagai biennale pertama di Indonesia, JB digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1968, yang saat itu bernama Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, yang diinisiasi oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. Pada saat itu, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia sudah menggunakan format biennale, digelar dua tahun sekali. Penggunaan nama JB, kata Farah, baru dimulai pada 1982 hingga sekarang. Sementara itu, Yayasan Jakarta Biennale didirikan pada Oktober 2014 dan untuk pertama kalinya Jakarta Biennale 2015 diselenggarakan oleh Yayasan Jakarta Biennale, setelah sebelumnya diselenggarakan oleh DKJ.
Lain halnya dengan Makassar Biennale. Dalam kesempatannya, Anwar Jimpe Rachman, memperkenalkan MB sebagai biennale termuda di Indonesia. Ketika JB dan BJ sudah berjalan duluan, MB dengan segala “kelemahan” yang dimilikinya—memperkenalkan dirinya sebagai biennale yang menetapkan tema abadi “Maritim” sejak 2017.
MB diselenggarakan pertama kali pada 2015 dengan mengambil tema “Trajectory”, disusul pendirian Yayasan Makassar Biennale pada tahun 2016. Pada 2017, manajemen MB kemudian ditangani oleh Tanahindie, organisasi yang berfokus pada kajian tentang kota dan praktik eksperimentasi. Komunitas inilah yang menggerakan MB selama dua gelaran belakangan ini (2017 dan 2019).
Momentum MB 2017 dimulai hanya benar-benar untuk memperkenalkan “Maritim” sebagai tema abadinya, lantaran maritim merupakan bentang alam yang diakrabi di Makassar dan Indonesia Timur secara luas, jelas Anwar Jimpe Rachman.
Saya teringat dari pernyataan Nirwan Ahmad Arsuka, kurator MB 2017 dan 2019, pada saat kami melakukan wawancara pada 2017 lalu terkait upaya MB menggalakkan seni Maritim. “Makassar Biennale sebagai pendatang baru dalam dunia festival di Indonesia, harus mampu merumuskan karakternya dan mendefinisikan dirinya agar tak menjadi sekadar pengekor dari Biennale yang sudah ada. Selain sebagai ajang seni, MB pun dapat menjadi ruang percakapan pengetahuan berbagai kalangan terkait gagasan atau isu tertentu. Hal ini juga dapat memberi kontribusi dalam khasanah seni rupa di Indonesia melalui rangkaian penyelenggaraan biennale. Maka, MB harus punya ‘sesuatu’ dari biennale-biennale lainnya, dalam hal ini Jakarta dan Yogyakarta.”[1]
Dari perkenalan singkat tiga biennale itu, ada perbedaan menarik ketiganya: Jakarta Biennale diinisiasi oleh Gubernur DKI Jakarta, Biennale Jogja oleh seniman dan stakeholder kesenian Jogja, sementara Makassar Biennale diinisiasi oleh komunitas.
Bentuk Kegiatan Biennale
Selain pameran utama yang ditampilkan dalam penyelenggaraan ketiganya, rupa-rupa kegiatan pendukung lainnya jadi fokus tersendiri, terutama praktik edukasi yang selalu jadi bagian penting sepanjang peristiwa biennale.
Jimpe menjelaskan, salah satu kegiatan edukatif itu adalah residensi bagi seniman. Sebelum pameran utama digelar, sejumlah seniman diundang untuk tinggal di beberapa tempat yang dipilih penyelenggara dengan mengedepankan proses riset dan pertukaran pengetahuan yang terbuka—hal yang memungkinkan pertukaran pengetahuan antara seniman dan warga biasa. Seperti halnya pada pelaksanaan MB 2019 lalu, MB mengundang beberapa seniman dari luar Sulawesi untuk beresidensi di berbagai tempat, dengan kesepakatan seperti yang dijelaskan Jimpe dalam diskusi, “Seniman harus datang dengan tangan kosong, tidak boleh membawa karya”. Dalam praktiknya, seniman berproses selama dua minggu kemudian bikin karya bersama warga.
Sementara itu, ketika pameran utama berlangsung, rangkaian acara edukasi lainnya pun berjalan seperti workshop, diskusi seniman, diskusi buku, kunjungan sekolah, bahkan simposium dengan mengundang berbagai kalangan untuk membicarakan berbagai topik tentang seni rupa dan isu-isu kontemporer. Upaya tersebut, menurut Jimpe, biennale sebenarnya memang mencoba menjadi ‘wadah’—menghubungkan beberapa hal yang kadung tersekat-sekat. Seperti yang diungkapkan Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan RI, dalam sesi Simposium MB 2019, bahwa MB sebagai ruang pertukaran pengetahuan, menjadi sebuah metode kemungkinan baru, dan semua orang bisa terlibat.
Sementara itu, pada sesi lain, sesi tanya jawab dari diskusi ini, salah satu peserta dalam kesempatannya menanyakan tentang, “Apakah memungkinkan bagi mahasiswa seperti magang yang terbatas jarak untuk turut andil dalam penyelenggaran biennale khususnya keperluan riset? Atau mahasiswa seperti apa yang diharapkan penyelenggara untuk turut andil dalam kesuksesan biennale di Indonesia?”
Pertanyaan itu kemudian dijawab oleh Jimpe, dengan memberikan contoh seperti yang berlangsung di MB. Katanya, di MB selalu terbuka metode bekerja apa pun dan sangat memungkinkan di MB untuk terlibat bekerja bersama. “Bahkan, tim MB sampai sekarang ini beberapa sudah tidak di Makassar lagi tinggal, ada di Labuan Bajo dan Nabire membantu dari jauh”. Sementara itu, sehubungan dengan program magang bagi mahasiswa, Jimpe mengungkapkan bahwa di MB 2019 separuh dari tim kerjanya diperkaya oleh mahasiswa magang dari berbagai jurusan dan kampus di Makassar.
Salah satu program edukatif lain yang tak kalah menarik diinisiasi oleh MB 2019 yakni Teman Biennale, program yang dikhususkan bagi pelajar dari kalangan siswa SMA/SMK sederajat. Melalui program ini, Teman Biennale terlibat langsung menemani dan membantu seniman selama proses pengerjaan karya hingga pameran karya berlangsung.[2]
Pengalaman menarik di balik program Teman Biennale kemudian diceritakan Jimpe dalam kesempatan lainnya, “Ada satu anak SMA bernama Giovani berkomitmen saat pulang sekolah untuk bertugas menjaga satu karya untuk menceritakan proses dari lahirnya karya tersebut karena ikut ‘mendampingi’ salah seorang seniman saat mulai berkarya. Dia juga menulis pengalamannya selama proses mengikuti Teman Biennale dan dimuat dalam katalog MB 2019. Dari sini, kita bisa melihat bahwa membuka ruang kesempatan buat siswa atau mahasiswa menjadi contoh yang menarik seperti cerita Giovani. Bagi kami kesempatan seperti ini mencerminkan contoh kekuatan event seperti biennale.”
Mendekonstruksi Biennale
Satu dari sekian pertanyaan menarik yang mengemuka dari diskusi ini adalah ‘bagaimana cara memulai sebuah biennale?’
Berangkat dari pernyataan Alia di kesempatan lain, ia menyatakan bahwa tidak ada satu format biennale yang pasti. “Memang ada satu definisi yang telanjur berkembang dan pengetahuan semacam itu didistribusikan secara luas dan seolah-olah definisi biennale itu menjadi suatu gagasan mapan: orang bikin karya, pameran di dalam sebuah ruang, dan orang-orang datang”.
Alia melanjutkan bahwa model penyelenggaraan MB 2019 yang tidak hanya berhenti di satu kota, tetapi keliling di beberapa titik wilayah di Sulawesi Selatan itu menjadi satu contoh pendekatan yang menarik dari penyelenggaraan biennale itu sendiri. “Kita harus secara kreatif membangun definisi tentang sisi lain biennale itu sendiri yang jadi bagian kritisisme terhadap konsep biennale, yang di seluruh dunia jadi komodifikasi kota baru (branding).”
Sejalan dengan istilah dekonstruksi biennale, cara atau model pelaksanaan MB 2019, kata Jimpe, “Memang sebenarnya ingin mencoba ‘meruntuhkan’ beban Makassar sebagai Ibu Kota Sulawesi Selatan yang biasanya dikaitkan dengan pusat seni dan kebudayaan”. Maka dari itu, pelaksanaan MB 2019 melebarkan jangkauannya di empat wilayah di dua provinsi, yakni Kota Makassar, Parepare, Bulukumba, dan Polewali Mandar (Sulawesi Barat). Model itu pula yang membedakan pelaksanaan MB sebelumnya dan JB dan BJ.
Di lain pihak, dalam konteks biennale secara global, kata Alia, banyak kasus seperti ada pemerintah kota yang menjadikan biennale sebagai jalan politik untuk mendapat dukungan seniman atau masyarakat, hal ini pun menjadikan biennale terbentuk lebih top down: dari pemerintah, dilaksanakan oleh pekerja seni kemudian dikonsumsi oleh masyarakat.
Dengan melihat berbagai praktik dan model pelaksanaan biennale yang beragam, maka membayangkan biennale yang ideal itu sulit untuk ditentukan karena ukuran setiap kota konteksnya berbeda-beda, jelas Alia. Di sisi lain, lanjut Alia, jika merasa ada urgensi untuk membuat biennale, yang pertama dilihat adalah bagaimana sejarah kota itu sendiri, pola berkesenian yang ada, lingkungan institusi (tidak harus institusi pemerintah), tetapi bisa dimulai dari situasi yang lebih kecil (lokal). “Jadi tidak ada batasan tentang sebuah kota itu mesti mainstream seni rupa atau bukan, tetapi perkara bagaimana kita membaca lingkungan seni dan membayangkan visi biennale sebagai ruang bersama,” sambung Alia.
Sinergi Tiga Biennale
Situasi pandemi Covid-19 yang berdampak luas pada berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali dunia seni menjadi tantangan tersendiri sekaligus peluang bagi seni rupa kontemporer untuk berkontribusi dalam merespons situasi ini. Jakarta Biennale, Biennale Jogja, dan Makassar Biennale berkolaborasi menyelenggarakan sebuah program Panggilan Terbuka: Proposal Karya Normal Baru. Sebuah program terbuka bagi para perupa di Indonesia untuk turut mengajukan proposal karyanya agar dapat tetap berekspresi dan mengomunikasikan karyanya ke publik.
Program “Panggilan Terbuka” ini merupakan semacam satu “strategi baru” sebagai wujud dukungan ketiga biennale bagi para perupa Indonesia yang tidak memungkinkan mereka untuk berpameran di ruang fisik. Maka, salah satu syarat dari program ini yaitu memanfaatkan medium digital atau jejaring non-fisik lainnya sebagai bagian dari eksplorasi dan eksperimentasi seni rupa di keadaan “normal baru”, dengan dukungan dana sepuluh juta per karya. Strategi tersebut, kata Farah, adalah salah satu sumbangsih pemikiran biennale terhadap efek pandemi.
Tiga biennale ini menawarkan ruang urunan pemikiran dari tema masing-masing biennale untuk direspons oleh para seniman. Seperti JB menawarkan tema “Esok, Membangun Sejarah Bersama” (berpikir tentang hari esok), yang dianggap relevan di situasi dan kondisi sekarang ini. BJ dengan tema “Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru”, mengajak kita untuk memikirkan kembali praktik seni dengan upaya merawat bumi dan melihat alam sebagai pusat hidup. Sementara MB, meminjam istilah Jimpe, tema MB 2021 “lebih mengerucut lagi” yaitu menetapkan subtema “Sekapur Sirih”, mengajak kita untuk mencoba menggali praktik masyarakat maritim mengenai obat-obatan dengan menggunakan kanal seni rupa secara luas sebagai alat presentasi. Sebagaimana MB, kata Jimpe, secara ambisius berproyeksi ikut jadi bagian pemecahan masalah.[]
*Tulisan ini adalah hasil obrolan dalam Bincang Seni Virtual bertajuk “Pengalaman Seni Lewat Biennale” yang diselenggarakan oleh Seni Untuk Indonesia, sebuah platform baru dari Ganara Art yang bertujuan untuk memperkuat edukasi seni dan budaya ke masyarakat. Berlangsung pada 25 Juni 2020, mulai pukul 20.15-22.10 Wita.Tulisan ini dipublikasikan dengan sengaja menambahkan beberapa sumber di luar dari pembicara dan peserta diskusi untuk melengkapi beberapa penjelasan (dan terutama bertujuan sebagai arsip).
Catatan: Simak pula versi rekaman videonya melalui Youtube.
Rafsanjani, belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1]https://makassarbiennale.org/nirwan-arsuka-mb-2017-upaya-galakkan-seni-maritim/, diakses pada 5 Juli 2020, pukul 19.44 Wita.
[2]https://artefact.id/2019/08/20/program-teman-biennale/, diakses tanggal 6 Juli 2020, pukul 21.07 Wita.
Tinggalkan Balasan