Melalui konferensi video di Zoom, siaran langsung di YouTube, dan di sebuah ruangan di lantai dua Floom Space, acara diskusi seni “Sangiang Serri, Sekarang Seterusnya” berlangsung secara hybrid: daring dan luring. Pelaksanaan secara hybrid ini tentu saja upaya-upaya sederhana beradaptasi dengan pola kehidupan baru sejak pagebluk hadir di tengah-tengah umat manusia.
Setelah dibuka oleh pembawa acara, peserta diskusi seni diantar secara singkat untuk mengenal Museum MACAN yang dipresentasikan oleh Asri Winata sebagai asisten kurator museum yang berlokasi di daerah Kebun Jeruk, Jakarta ini. Kendati Asri menghadiri diskusi ini dari jarak jauh ─ melalui Zoom, ia dengan senyum yang begitu sumringah, antusias berinteraksi dengan para partisipan lainnya.
Perbincangan “Sangiang Serri, Sekarang Seterusnya” yang dilaksanakan sebagai bagian dari perhelatan Makassar Biennale 2021, seolah membawa kita kembali untuk menginterogasi nilai-nilai folklor yang masih kita bawa dan yakini, khususnya ajaran-ajaran budi pekerti terdahulu yang seharusnya masih relevan. Mengingat nilai-nilai tersebut tampaknya tergeletak di suatu tempat yang entah di sebelah mana kita terakhir kali menyimpannya. Terlaksananya proyek seni ini tidak lepas dari dukungan Museum MACAN dan beberapa organisasi seni berpengaruh di Indonesia lainnya. Melalui proyek seni bernama “Present Continuous / Sekarang Seterusnya”, di tengah situasi pandemi yang belum reda, Museum MACAN menggandeng para pegiat seni di berbagai kota untuk melakukan pembacaan ulang pada seni kontemporer di tengah situasi serba tidak pasti ini.
Proyek seni ini berkolaborasi dengan lima seniman di Indonesia, salah satunya Muchlis Lugis. Muchlis Lugis yang juga bekerja sebagai akademisi di Universitas Negeri Makassar mengawali diskusi dengan bercerita tentang latar belakang dirinya menghadirkan “Sangiang Serri” melalui medium cukilan kayu. Medium yang telah akrab dengan dirinya sejak 2013 ketika masih menyelesaikan studi magisternya di ISI Yogyakarta.
Dengan mengundang memori masa kecil tentang kisah-kisah “Sangiang Serri”, Muchlis Lugis berusaha menghadirkan karya ini sebagai ikhtiar melawan lupa atas nilai-nilai luhur yang menurutnya perlahan terkikis oleh zaman. Nilai-nilai itu berupa lelaku-lelaku orang terdahulu terhadap nasi. Selain karena nasi memang menjadi makanan pokok sebagian besar orang Indonesia, proses perjalanan padi menjadi nasi juga merupakan proses yang harus dicermati dan dihormati dengan sebaik-baiknya.
Anwar “Jimpe” Rachman sebagai kurator dalam proyek ini, turut memaparkan komentarnya atas ide dan gagasan yang dihadirkan sang perupa. Menurutnya, selain tema folklor yang bertautan dengan narasi-narasi yang terbentang di garis Wallacea ini, karya cukil kayu punya nilai estetika tersendiri di dunia kesenian Makassar, khususnya seni rupa.
Dalam kehidupan masyarakat Bugis, “Sangiang Serri” (Dewi Padi) maktub dalam cerita-cerita lisan yang sering dibawakan ketika masyarakat memasuki musim tanam padi. “Sangiang Serri” sendiri dalam mitologi Bugis, disimbolkan sebagai seorang dewi yang turun dari langit, lalu kemudian menjelma menjadi padi, untuk menjaga kesejahteraan dan kemakmuran dunia pertanian masyarakat. Kisah Dewi Padi ini biasanya dilisankan melalui pelantun syair atau passureq, dalam naskah “Meongpalo Karellae” pada sebuah malam-malam hangat dan dekat dengan pencahayaan lampu pelita, di kampung-kampung yang masih memelihara perhelatan ini. Namun, perhelatan ini memang kemudian pelan-pelan ditinggalkan: selain karena penutur ceritanya tidak mengalami regenerasi, dunia pertanian juga telah semakin akrab dengan kecepatan: modernisasi dan industrialisasi.
Setelah mengobrol tentang proses kreatif dan hal-hal yang mendasari karya Muchlis Lugis ini lahir, diskusi kemudian masuk ke sesi tanya jawab. Beberapa pertanyaan yang muncul mengarah kepada teknis perupa dalam proses pengkaryaan, ada pula pertanyaan yang lebih mengarah ke filosofi makna karya secara lebih mendalam. Seperti pertanyaan yang terlontar dari salah seorang penanya, Regina, ia menautkan narasi Dewi Padi ini dengan pandangan ekofeminisme. Menurutnya, meletakkan posisi perempuan dalam folklor, mengibaratkan perempuan dengan hal-hal tertentu seperti sungai atau padi akan memberikan cara pandang terhadap masyarakat untuk memperhatikan alam sekitar secara lebih serius.
Di pertanyaan yang lain, Muchlis Lugis diberi pertanyaan untuk menjelaskan proses keberlanjutannya dalam berkarya, mengingat alat-alat yang digunakan Muchlis dalam berkarya dapat menghabiskan dana yang tidak sedikit. Namun, menurutnya, sejauh ini ia tidak mengalami kendala begitu berarti di ranah itu. Selama manajemen keuangan dapat ditangani dengan baik, ia pikir hal-hal seperti itu tidak perlu menjadi penghambat dalam proses berkarya.
Selain dari ruang luring, pertanyaan juga muncul dari ruang daring, salah satunya berasal dari Wilda yang menanyakan kemungkinan partisipasi penonton dalam proses pengkaryaan cukil kayu. Dalam jawabannya, Muchlis mengakui bahwa dirinya justru lebih senang berkarya secara kolektif karena hal itu dapat memberinya lebih banyak ruang untuk menghasilkan sebuah karya yang lebih dinamis. Ia berpikir bahwa karyanya ini harus berkelanjutan dan menemui bentuk sebanyak-banyaknya.
Dalam diskusi ini, Anwar “Jimpe” Rachman juga turut merespon pertanyaan-pertanyaan yang datang. Salah satunya pertanyaan tentang pemaknaan karya, misalnya seseorang—yang tidak memiliki latar belakang Bugis—untuk menikmati karya “Sangiang Serri” ini. Menurutnya, di sinilah pemaknaan aktif menjadi penting karena seni rupa adalah ruang yang begitu luas akan interpretasi tanpa tendensi untuk mendikte.
Diskusi berakhir dengan banyak kesimpulan di masing-masing kepala para partisipan yang hadir. Karya “Sangiang Serri” terpajang di FLOOM Cafe selama Makassar Biennale 2021 berlangsung. Diharapkan karya ini menjadi jembatan kita untuk kembali mengingat nilai leluhur dalam memperlakukan pangan yang dapat kita terapkan di zaman yang kerap menghambur-hamburkan banyak hal. Diskusi apik ini masih dapat disaksikan melalui kanal YouTube Makassar Biennale.[]
Fadhil Adiyat, Tim Makassar Biennale 2021