Berikanlah kami,
hari ini,
diri kami,
yang secukupnya.
– Theoresia Rumthe 2020
Sejak dulu kita mengenal jamu sebagai obat yang memiliki kandungan ─ khasiat yang bermanfaat untuk tubuh. Dibuat dari aneka herba, rimpang, rempah, dan tanaman, jamu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di nusantara hingga sekarang. Namun begitu, selama ini saya hanya melihat aneka bentuk, tekstur dan aroma dari bahan-bahan dasar jamu, saya tidak pernah membayangkan bisa melihat secara mikroskopik aneka bahan pembentuk jamu itu bereaksi secara kimia satu sama lain. Pengalaman yang tidak terbayangkan inilah yang disajikan Syaiful Garibaldi dan Muhammad Akbar melalui karya bertajuk Sowan Project.
Sowan Project adalah proyek seni rupa yang dipresentasikan dalam format video melalui kanal IGTV Instagram dan Youtube, yang menampilkan reaksi kimia mikroskopik dari 10 ramuan jamu yang umum di buat di rumah, antara lain: Empon-Empon, Kunir Asem, Tolak Angin, Jamu Kuat, Galian Singset, Beras Kencur, Pegal Linu, Sinom, Gebyokan, Sari Rapet.(1) “Sowan” secara harfiah berarti menghadap (kepada orang yang dianggap harus dihormati, seperti raja, guru, atasan, orang tua); berkunjung. Namun dalam proyek ini, kata Sowan merujuk kepada upaya untuk mempertanyakan kembali konteks penemuan obat-obatan yang dalam hal ini adalah jamu.
Muhammad Akbar dan Syaiful Garibaldi (Tepu) memulai Sowan Project tatkala pandemi mulai merebak di Indonesia. Mereka mulai mencoba menggarap proyek seni yang menjadikan ‘dunia maya’ sebagai ruang pamernya. Tidak lama setelah mulai digarap, gawai bersambut. Makassar Biennale (MB), Jakarta Biennale dan Biennale Jogja, bekerjasama membuka program Karya Normal Baru pada tahun 2020.(2) Program kolaborasi ini digagas guna membuka kesempatan kepada para seniman untuk merespons tema dari masing-masing biennale menjadi satu karya seni yang bisa dipresentasikan secara daring.
Ide awal Sowan Projek untuk membuat reaksi mikroskopik dari aneka jamu dirasa Akbar dan Tepu cocok dengan tema Maritim-Sekapur Sirih yang ditawarkan MB.(3) Mereka lalu mengirimkan proposal, dan terpilih. Menurut Anwar Jimpe Rachman, direktur sekaligus salah satu selektor program ini, Sowan Projek menarik secara konsep, karena metode penggunaan mikroskopik itu. Ia menambahkan, bahwa karena program kerjasama tiga biennale ini juga adalah prevent menuju gelaran MB 2021, MB mencoba untuk mencari proposal yang juga berkemungkinan besar bisa dipamerkan secara luring. Singkat cerita, setelah setahun berlalu, Sowan Project bersama dua Karya Normal Baru lainnya kemudian dipamerkan di gelaran MB Makassar 2021. Terhitung mulai 1-14 September 2021 mendatang, 10 episode dari video pendek berseri yang dibuat Sowan bisa kita alami di galeri Artmosphere Studio.
Lalu, pada 6 September kemarin, digelar Wicara Seniman bersama Akbar dan Tepu secara daring-luring. Dalam sesi yang berlangsung lebih dari satu jam ini, Akbar dan Tepu bercerita tentang latar belakang dan proses pengerjaan Sowan. Rupanya, ketika proposal mereka terpilih, Tepu sudah di Jepang karena harus menemani istrinya yang baru saja melahirkan. Alhasil, mereka harus bekerja jarak jauh, Akbar yang mengerjakan bagian editing ─ penyajian secara visual, dan Tepu yang bertugas merekam aneka reaksi kimia bahan-bahan jamu menggunakan alat mikroskopik. Tepu harus berkeliling mencari dan mengumpulkan aneka bahan dan rempah jamu khas nusantara di negara sakura. Meskipun agak kesulitan dalam pencarian itu, pengalaman ini justru menjadi satu fragmen menarik dalam proses penggarapan karya Sowan.
Perbedaan zona waktu dan pengerjaan bersama melalui perantara layar, ternyata tidak membatasi Akbar dan Tepu, untuk mengeksplorasi proyek Sowan lebih jauh. Mereka juga mengundang beberapa kolaborator yang berasal dari latar belakang penulis, dokter, petani, juga seniman performans untuk merespons ide tentang dunia perjamuan dari perspektif masing-masing. Alih-alih hanya menceritakan memori masa lalu dan rangkaian nostalgia mengkonsumsi jamu-jamuan, para kolaborator justru mengolah responnya ke dalam obrolan, prosa, bunyi, dan pokok-pokok bahasan lain yang telah mereka alami secara personal.
Reaksi kimia aneka bahan jamu-jamuan yang beraneka bentuk, unsur bunyi-bunyian dengan volume halus, juga obrolan dan kata-kata yang dirangkai berima, membuat setiap video dalam proyek ini terasa lebih hidup. Bagi saya, setiap unsur dalam bentuk gambar dan bunyi yang disajikan secara perlahan-lahan, memberikan saya kesempatan untuk ‘melambat’ di ruang maya yang segalanya berlangsung serba cepat. Saking terbiasanya dengan perpindahan konten Instagram yang serba cepat, membuat durasi setiap video yang kurang dari 11 menit sowan, terasa begitu lama. Saat menontonnya 2020 lalu, saya membutuhkan ruang fisik yang hening, memakai earphone, juga cahaya yang tepat. Kalau cuma ditonton ‘selewat’ kayaknya kita akan bingung. Seperti yang dulu saya rasakan ketika menonton pertama kali. Tapi, setahun setelahnya, tepatnya sebelum tulisan ini rampung, saya menonton ulang rangkaian video reaksi mikroskopik ini, dan menemukan diri saya sangat menyukai suasana lambat dan tenang di setiap videonya.
Saat masih sesi wicara pukul 19 WITA kemarin, Jimpe sebagai pemandu obrolan sempat bertanya, “Bagaimana impresi yang kalian (Akbar dan Tepu) terima setelah karya ini dipamerkan secara daring?”, Akbar menimpali bahwa banyak respons menarik yang didapatkan dari rekan-rekannya yang telah menonton video jamu-jamuan itu, ia menambahkan bahwa ruang maya yang tidak terbatas ini justru harus dilihat sebagai ruang pameran baru.
Pengalaman sebagai penonton karya yang dihadirkan secara online rupanya tidak mengurangi esensi kita sebagai subjek aktif karya. Setidaknya, asumsi sementara saya adalah ada dua lapis pengalaman yang bisa kita alami ketika menyaksikan karya daring (dalam konteks Sowan Project). Pertama, lapis ‘melihat’. Lapisan ini berlangsung ketika kita hanya sekedar menonton dan mendengar apa yang ada di gawai, kalau ada chat yang masuk, kita buka chat itu, videonya dihentikan, setelah balas chat baru lanjut nonton. Kedua, lapis ‘mengalami’ karya. Jika karya itu hanya ada di gawai, kita perlu untuk mengupayakan sendiri agar karya itu bisa hadir secara fisik di ruang kita masing-masing. Misalnya saja, kita mengatur waktu yang tepat untuk menonton, suasana hati yang cocok, memastikan jaringan internet stabil, mengatur volume dan cahaya layar, dan upaya-upaya yang cocok dengan kebutuhan dan keinginan kita sebagai penonton. Pandemi dan metode penyajian pameran daring justru bisa dilihat sebagai satu metode agar penonton bisa benar-benar menjadi ‘subjek yang aktif’ terhadap karya yang dipamerkan.
Selain itu, Akbar juga menyatakan pentingnya manajemen seni dalam berpameran daring. Misalnya saja Sowan Project yang punya akun Instagram dan Youtube, yang mana keduanya punya logikanya masing-masing. Akbar dan Tepu yang mengaku gagap media sosial akhirnya jadi butuh dan harus berkolaborasi lagi dengan Lingga, rekan yang bisa mengurusi detil-detil yang berhubungan dengan penyajian Sowan Project di media sosial. Ini juga membuktikan bahwa seorang seniman, kata Akbar, memang harus berkolaborasi dengan banyak pihak, biar eksplorasi dan metode karyanya juga bisa lebih beragam.
Setelah melambung jauh ke obrolan tentang pengalaman sebagai penonton, Jimpe kembali melanjutkan pertanyaannya jika saat ini Akbar dan Tepu merencanakan kemungkinan eksplorasi mikroskopik selain reaksi kimia jamu. Kabar baiknya, mereka memang akan terus melanjutkan Sowan Project ini. Bahkan, Akbar sendiri berpikir untuk melihat nyamuk dari lensa mikroskopik. Ini dipicu oleh tempat tinggalnya yang, konon, banyak sekali nyamuknya. Mereka juga sempat menyinggung tentang sebuah yayasan yang akan mereka buat. Terakhir, Jimpe mengutarakan pendapatnya melihat Akbar dan Tepu yang terlihat amat kompak dalam proses pengerjaan dan menggarap Sowan Project bersama. Rupanya, mereka berdua memang sudah sering mengerjakan proyek-proyek seni bersama.
Perbincangan yang hangat malam itu berakhir dengan foto bersama dan perasaan antusias. Semoga Akbar dibantu Tepu bisa segera membidik lensa mikroskopiknya ke para nyamuk-nyamuk, karena saya sungguh penasaran apakah di antara nyamuk itu ada yang menghisap darah biru.
Wilda Yanti Salam, Tim Makassar Biennale 2021