Bulan separuh penuh menggantung di atas langit Makassar pada tanggal 14 September 2021. Di Artmosphere, sebuah ruang seni yang berada di lorong 8, Jalan Abd. Dg. Sirua, menjadi tempat berlangsungnya Diskusi Buku yang baru saja diterbitkan oleh Penerbit Ininnawa, sebagai bagian dari perhelatan Makassar Biennale (MB) 2021.
Kondisi pandemi yang mengharuskan agar protokol kesehatan terus diperketat, dan para penulis berada di kota/daerahnya masing-masing mengharuskan diskusi ini berlangsung secara daring dan luring.
Wilda Yanti Salam, selaku moderator yang juga andil sebagai penulis di buku ini, membuka diskusi dengan bercerita tentang latar belakang kehadiran buku ini ke ruang intelektual pembaca. Mulai dari lipatan-lipatan gagasan hingga sosok-sosok yang berkontribusi penting dalam proses pengerjaannya. Setelah moderator menyapa dan memperkenalkan para pembicara, baik yang hadir secara luring maupun secara daring, para pengunjung yang hadir terlihat tidak sabar menunggu untuk mendengar kisah demi kisah, tantangan juga kesan, yang akan disampaikan oleh para pembicara.
Regina, salah satu penulis dari Makassar mulai membagikan kisah perjalanannya menelusuri jejak pengobatan yang ada di Toraja. Ia merasa sangat ‘pulang’ ketika perjalanan risetnya untuk buku ini dimulai. Ia akhirnya bertemu dan bercengkrama banyak dengan hal yang selama ini mengalir di darahnya. Sebagai orang Toraja yang tumbuh di Makassar, di masyarakat yang sangat kota, baik dari tingkah laku, maupun cara pandang, Regina merasa ada yang tercerabut dalam dirinya karena sebelumnya ia tidak mengetahui bahwa apa tumbuhan yang barangkali disebut gulma justru adalah obat. Riset ini juga telah mengantarnya pulang ke kampungnya dengan sebuah kesimpulan bahwa selama ini ternyata obat-obatan justru berasal dari tumbuhan atau tanaman yang tumbuh di sekitarnya.
Dari Parepare, Syahrani Said melalui ruang zoom memaparkan cerita dan hambatannya ketika ia hendak mencari topik penelitian yang akan diteliti, yang berkaitan dengan sekapur sirih. Beberapa hal yang berkaitan dengan pengobatan tradisional, jejaknya mulai pudar di tanah ini, katanya. Bahkan dirinya dan beberapa orang tim, butuh waktu berhari-hari hanya untuk mencari hal–subjek yang akan ia riset yang dapat bertalian dengan sub-tema MB 2021, Sekapur Sirih. Sejalan dengan Regina, Syahrani Said banyak berinteraksi kembali dengan ibunya untuk menggali obat-obatan apa yang dahulu digunakan di Kota Parepare.
Adapun F Daus AR yang meneliti di daerah Pangkep memiliki kesan tersendiri. Pasalnya, ketika riset yang ia lakukan dengan tim berlangsung, narasumbernya yang bernama Dg. Caddi disambut begitu meriah oleh warganet ketika ia mengunggahnya ke media sosial. Namun, ia juga tetap menemui hambatan yakni bahasa karena di daerah tempat narasumber tinggal, bahasa yang digunakan adalah bahasa Makassar, sementara Daus AR sendiri berlatar belakang Bugis. Tapi hal itu dapat diatasi karena kebetulan narasumber yang mengobati dengan minyak kayu putih khusus ini, adalah bibi dari salah seorang tim kerja di Pangkep.
Berpindah ke Bulukumba, masih melalui video konferensi Zoom, Gatot yang menulis tentang pengobatan poso’ (sesak nafas) menceritakan tentang memori masa kecilnya yang pernah mengalami sesak napas, membawa langkah Gatot menyusuri pesisir hingga dataran tinggi Bulukumba, Dusun Kahayya. Gatot menikmati proses risetnya meski cukup terkejut dengan kenyataan bahwa dukun di daerah tempatnya meneliti, masih dipandang ‘klenik’ oleh masyarakat sendiri. Hal itu ia dapatkan ketika narasumbernya yang meminta agar dirinya tidak perlu disebut sebagai dukun.
Dari Labuan Bajo, Aden Firman bercerita tantangannya mencari subjek penelitian. Meski awalnya, ia dan tim menganggap penelitian akan cukup mudah karena daerahnya adalah pesisir, ternyata beberapa kendala juga muncul dalam perjalanan meneliti ini. Berangkat dari ketertarikan mencari asal muasal luka dan bagaimana cara menyembuhkan luka di tubuh penari caci, Ia akhirnya bertemu dengan Pak Niko, mantan penari caci yang menyembuhkan luka-luka tersebut dengan sebuah alat pijat yang terbuat dari kayu dan dibuat sendiri oleh Pak Niko.
Dari Nabire, ada Manfred yang bercerita tentang proses penelitiannya dengan kedua rekannya yang meneliti tentang daun gatal, daun nabarure dan daun akadapi boo. Hal menarik lain dipaparkan Manfred adalah bahwa penelitiannya untuk buku ini cukup unik karena ia dan tim sama sekali tidak membawa daftar pertanyaan setiap kali akan bertemu narasumber. Mereka hanya datang ke tempat narasumber dan membiarkan semua informasi mengalir begitu saja, tanpa ada tendensi-tendensi metodologis yang kaku. Di sisi lain, hambatan yang justru mereka temukan adalah mencari padanan nama daun yang mereka riset. Akhirnya, ia dan tim menginstal aplikasi identifikasi daun untuk memudahkan hal itu tetapi dengan sangat sadar, bahwa mempertahankan nama daerah daun itu juga sama penting untuk mengetahui nama ilmiahnya.
Setelah seluruh perwakilan peneliti dari enam kota bercerita, giliran Anwar Jimpe Rachman, selaku editor, memaparkan alasan mengapa buku ini harus hadir. Menurutnya, buku ini adalah pintu masuk untuk kemungkinan-kemungkinan lain agar riset tentang fitofarmaka dapat menjangkau ruang dialektika yang lebih jauh. Diskursus tentang pengobatan herbal dan warisan masa lalu mesti menjadi topik di ruang-ruang obrolan sehari-hari. Ia juga menekankan bahwa buku ini setidaknya menjadi ajakan kontemplatif untuk kembali ke hal-hal terdekat karena di luar sana, sudah terlalu banyak hal yang seperti kembang api. Memukau tapi tak punya esensi.
Agnes, peserta diskusi dan juga ibunda dari Regina, mengapresiasi sebesar-besarnya kehadiran buku dan diskusi ini. Ia yang adalah kepala sekolah di Timika, Papua, merasakan energi positif dari hadirnya perbincangan tentang pengobatan herbal, khususnya daun-daun yang ada di daerah Papua. Ia berharap agar kerja-kerja seperti ini terus berlanjut dan membuka perspektif kita tentang apa-apa yang tumbuh di sekitar kita juga bisa menjadi obat untuk tubuh kita.
Diskusi buku ini berlangsung selama kurang lebih dua jam dan sekaligus menandai selesainya perhelatan Makassar Biennale di Makassar yang telah berlangsung sepanjang 1-14 September 2021 lalu.[]
Fadhil Adiyat, tim Makassar Biennale 2021