Pada Sabtu, 11 September 2021, berlangsung Wicara Seniman dan Lokakarya “Meramu Warna” bersama Hirah Sanada, satu dari tiga seniman residensi Makassar Biennale (MB) 2021 di Makassar. Agenda ini berlangsung di Kampung Buku dan juga disiarkan secara live melalui kanal Youtube Makassar Biennale.
Fitriani A. Dalay, kurator MB 2021, membuka wicara seniman dengan membahas mengenai keterlibatan tiga seniman perempuan selama masa residensi seniman Makassar di MB 2021. Hal ini didasari oleh jarangnya kontribusi dari seniman perempuan dan anak muda pada pagelaran MB di tahun-tahun sebelumnya. Proses pencarian seniman perempuan muda untuk mengikuti residensi pun tidak mudah. Piyo, sapaan akrab Fitriani, mengaku bahwa secara personal tidak mengenal Hirah Sanada sebelum masa residensi.
“Uniknya disini karena kita sama sekali belum mengenal Hirah. Namanya muncul setelah kita menyeleksi beberapa nama seniman perempuan yang juga melukis. Muncul beberapa nama dan Hirah termasuk salah satu dari nama itu,”
Kendati demikian, setelah bertemu dan membahas mengenai MB serta subtema Sekapur Sirih, Piyo merasa langsung cocok dengan Hirah. Praktek pengobatan menggunakan bawang putih yang dilakukan oleh Hirah dan Ibunya, serta bagaimana Hirah merespons pandemi ini sebagai seorang seniman, dinilai selaras dengan subtema MB tahun ini. Senada dengan Piyo, Hirah pun langsung cocok ketika mengobrolkan sub tema Sekapur Sirih. Bahkan dua hari sebelum residensi, Hirah telah memikirkan konsep untuk karyanya.
“Pas Kak Piyo membahas pengobatan alternatif, saya relate sama itu. Kayak oh, ini pengobatan alternatif yang selalu saya temukan di rumah, dan memang Hirah dan Mama tidak terlalu bisa mengonsumsi obat-obatan dari dokter karena alergi dan sebagainya. Apalagi mama sangat percaya dengan khasiatnya bawang putih,”
Bawang putih telah menjadi bahan pengobatan dalam keluarga Hirah. Dalam sesi wicara, Hirah berbagi kisah mengenai penanganan-penanganan berbagai penyakit yang terjadi dalam keluarganya menggunakan bawang putih. Empat bulan sebelum mengikuti residensi MB, neneknya sempat mengalami maag kronis dan selama seminggu mengonsumsi bawang putih. Bahkan kucing-kucing Hirah yang sakit juga mengonsumsi bawang putih sebagai obat. Hirah juga bercerita mengenai benjolan yang setiap tahun muncul di matanya dan kempes setelah dua hari dikompres menggunakan bawang putih yang telah diiris. Karena cukup manjur untuk digunakan sebagai obat, Hirah sering berbagi informasi mengenai bawang putih kepada teman-teman dan orang di sekitarnya yang mengalami sakit dan pengalamannya menggunakan bawang putih. Sayangnya, mereka selalu menolak dengan alasan rasanya yang tidak enak dan memberitahu Hirah bahwa bawang putih dapat memunculkan bau badan.
“Dan sebenarnya, itu juga yang menjadi salah satu alasan Hirah menerima ajakan dari MB karena kayak selama ini di lingkunganku itu saya belum mendapatkan teman yang benar-benar tidak seperti itu responsnya dalam pengobatan bawang putih atau rempah,”
Proses pembuatan karya juga memberi pengalaman baru untuk Hirah. Dibanding dengan karya-karya sebelumnya, Hirah melakukan riset yang lebih dalam seperti alasan memilih warna hingga melakukan riset tentang bawang putih ke salah satu pasar tradisional di Makassar, Pasar Terong, dan bertanya ke penjual-penjual bawang putih di pasar itu. Hirah juga mengganti penggunaan cat akrilik dengan pewarna yang berasal dari bahan-bahan alami di rumahnya seperti arang, kunyit, dan tepung beras. Piyo menjelaskan karya bukan sekedar menyajikan hal-hal yang indah dan estetik, namun juga memiliki data dan fakta sehingga karya dapat tersaji secara dalam. Ia juga berharap agar Hirah dapat tumbuh dan berkembang melampaui dari karya-karya sebelumnya.
Wicara seniman berlangsung cukup interaktif dengan aktifnya peserta bertanya selama kegiatan berlangsung. Omar, salah seorang peserta, bertanya mengenai alasan Hirah menggunakan lampu fluorescence atau sinar ultraviolet, Hirah menjawab, Ia berusaha membuat karya ini bukan karya yang sekedar jadi. Di awal karirnya sebagai pelukis di tahun 2019 akhir, Hirah sempat berpartisipasi dalam sebuah pameran yang menggunakan lampu fluorescence bersama empat seniman lainnya. Hirah pun merasa ide tersebut dapat digunakan untuk karyanya. Sayangnya, kulit bawang putih tidak dapat bercahaya ketika disinari lampu. Hirah pun kembali riset dan menemukan jawaban berupa penggunaan cat akrilik di ujung-ujung kulit bawang putih. Awalnya, Hirah ingin mewarnai keseluruhan kelopak, namun tidak jadi karena cat justru menutupi permukaan kulit bawang.
Selain Omar, Mahdi, peserta diskusi lainnya mengutarakan ucapan terimakasihnya terhadap Hirah atas karyanya. Ia menuturkan bahwa bagaimana Hirah berkarya dari pengalamannya sendiri menurutnya adalah contoh dari bahan-bahan terdekat seperti bawang putih dapat menjadi obat untuk banyak penyakit yang dialami keluarganya dan bisa menjadi karya yang bermakna. Selain itu, Ia juga mendapatkan referensi baru seputar pengobatan alternatif menggunakan bawang putih.
Setelah sesi wicara seniman, agenda dilanjutkan dengan lokakarya “Meramu Warna”. Lokakarya ini mengajak peserta untuk melihat proses pembuatan pewarna yang digunakan Hirah untuk karyanya yang berasal dari bahan-bahan yang berada di sekitarnya, seperti tepung beras dan kunyit. Kedua bahan ini menghasilkan putih dan kuning. Uniknya, kunyit juga dapat bercahaya ketika diterangi oleh lampu fluorescence seperti pinggiran cat akrilik merah muda yang terdapat di kulit bawang putih pada karyanya. Hirah kemudian mendapat kesempatan untuk membagikan cara bagaimana Ia membuat warna dari tepung beras dan kunyit.
Lokakarya yang diadakan usai wicara seniman ini mengajak peserta untuk melukis dan mewarnai sebuah kain berwarna krem. Di awal sesi, Hirah menjelaskan terlebih dahulu mengenai cara pembuatan pewarna dari kunyit dan tepung beras. Terdapat ulekan, beberapa kuas, wadah kosong, tepung beras, kunyit, serta dua buah wadah berisi ekstrak kunyit yang sudah diperas semalam sebelumnya. Proses peramuan warna dimulai ketika Hirah mengambil segenggam kunyit dan memasukkannya ke dalam ulekan. Kunyit-kunyit tersebut langsung diulek tanpa dikupas terlebih dahulu dan diberikan air disela-sela mengulek. Setelah beberapa saat, Hirah memeras kunyit yang sudah lumayan hancur itu dan menaruh ekstraknya di wadah yang telah disiapkan. Hirah menjelaskan ekstrak berupa air yang dihasilkan memang tidak terlalu banyak karena hanya menggunakan sedikit kunyit. Lebih lanjut, ia mengatakan setidaknya ia menghabiskan satu kilogram kunyit dalam proses pengerjaan karya “Tumbuh Sembuh”.
Workshop kemudian dilanjutkan, Hirah mencampur air ekstrak kunyit tadi dengan tepung beras. Setelah itu kain krem, yang nantinya digunakan sebagai media melukis, dibentangkan di tengah-tengah peserta. Setelah semua pewarna siap, moderator lokakarya kemudian mempersilahkan setiap peserta untuk mengambil kuas dan menggambar sesuai dengan imajinasi mereka di atas kain. Sambil memperhatikan peserta menggambar, Hirah menjelaskan bahwa warna yang masih basah belum terlalu terlihat dan akan muncul ketika sudah kering. Selama workshop berlangsung diwarnai dengan celetukan-celetukan dari moderator serta Hirah sehingga membuat peserta workshop tertawa dan membuat suasana menjadi santai dan bersahabat.
Proses penggambaran di atas kain memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Setelah semua peserta telah menyelesaikan gambarnya, kain kemudian dikeringkan menggunakan kipas angin yang juga berlangsung selama kurang lebih lima menit. Setelah kain mengering, gambar-gambar peserta pun mulai terlihat. Ada bermacam-macam objek gambar yang terdapat dalam kain tersebut, mulai dari ornamen tanaman, tangan, sketsa wajah, hingga tulisan MB. Seluruh lampu yang berada di ruangan workshop kemudian dimatikan. Hirah menyinari kain tersebut dengan lampu fluorescence. Peserta workshop pun terlihat antusias melihat hasil gambar mereka yang menjadi bercahaya karena terkena sinar dari lampu fluorescence.
Meskipun sempat terjeda selama kurang lebih satu jam untuk istirahat makan malam dan salat isya, peserta workshop masih terlihat antusias untuk mengikuti acara. Workshop pun ditutup dengan sesi foto bersama sambil memamerkan hasil karya bersama.[]
Aisyah Aulia Tahir, tim kerja Makassar Biennale 2021
Tinggalkan Balasan