Parepare, kota kecil yang berada di sekitar titik tengah Indonesia, sejak dulu dikenal dengan berbagai julukan; ada yang menyebutnya sebagai kota niaga, karena banyaknya pelabuhan dan aktifitas bongkar-muat yang intens ditempat itu, ada yang menyebutnya kota senja, sebab tepian kota yang berbatasan langsung dengan lautan ini kerap menjadi tempat menghabiskan waktu bagi pelancong ataupun masyarakat setempat, dan terakhir, julukan yang nampaknya sedang ‘kesepian’, hilang arah dan dipertanyakan identitasnya, ‘kota santri’.
Sebutan santri sejauh pengetahuan penulis ditarik dari banyaknya pondok pesantren, komunitas keagamaan hingga fasilitas sekolah di kota ini. Santri, selain identik dengan sebutan bagi seorang pelajar yang mengenyam pendidikan di sekolah keagamaan, juga telah merambah di institusi pendidikan lainnya, baik formal maupun non-formal yang tak lepas dari pengajaran moral. Untuk itu, mari kita sejenak menyebutnya ‘pelajar’ untuk menggeneralisir makna santri. Bukan untuk mengubah kesan religiusnya, tetapi untuk mengumumkan makna santri ke seluruh pelajar. Seperti makna ‘Rausyan Fikr’ Ali Shariati yang digunakan untuk menyebut pelajar maupun ulama yang menggunakan pengetahuannya untuk perjuangan pembebasan manusia.
Namun, gelar kota pelajar nampaknya tak bisa ditafsirkan sedangkal kesediaan fasilitas sekolah yang banyak, lebih jauh dari itu, juga termasuk geliat membaca buku dan aktifitas berdiskusi di kota yang selalu mengelu-elukan ketokohan Habibie. Berawal dari keresahan ini, ajang Makassar Biennale (MB) 2021 di Parepare bersama Toko Buku Interaksi mengadakan diskusi buku ‘Siasat Menikmati Kesemenjanaan’, karya Ilham Mustamin. Dalam diskusi ini, turut hadir pula Dirja Miharja sebagai pembicara, seorang pengajar di Pondok Pesantren sekaligus pegiat literasi. Di toko buku yang baru beberapa hari dibuka ini, diskusi berlangsung khidmat nan menarik. Puluhan peserta diskusi menyesaki tengah ruangan yang terhimpit barisan buku.
Buku ‘Siasat Menikmati Kesemenjanaan’ cukup populer di kota ini. Wajar saja, buku ini banyak membahas seputar Kota Parepare dalam sudut panjang budaya-literasi. Sebelum diskusi di toko buku Interaksi, buku ‘literasik’ ini telah beberapa kali diperbincangkan. Mulai dari gedung aula kampus ke pondokan komunitas, dari ruang akademis ke toko buku sederhana. Tak mengherankan, nampaknya buku ini telah memicu keresahan banyak orang akan betapa pentingnya geliat literasi di Kota Pelajar. Seperti tulisan-tulisan yang terkumpul dalam 16 esai di buku ini, yang memuat berbagai keresahan seorang Ilham Mustamin akan kondisi hari ini dan masa depan masyarakat Parepare.
Pada diskusi sabtu siang (18/9) lalu, Ilham ‘Ilo’ Mustamin memulai dengan membicarakan proses penerbitan buku ‘Siasat Menikmati Kesemenjanaan’ yang telah dipersiapkan sejak beberapa waktu terakhir. Ilo, mengawali dengan menjelaskan pentingnya tradisi baca tulis bagi masyarakat. Ketersediaan buku menurutnya menjadi salah satu faktor kunci untuk membangun kesadaran membaca, sebab, membaca menjadi indikator bagi kemajuan peradaban masyarakat.
Tak luput pula peran perpustakaan sebagai ruang pertemuan dengan buku dan tempat perputaran pengetahuan. Menurutnya, perpustakaan daerah perlu merenungi perannya, apakah telah menjadi ruang membaca seutuhnya yang nyaman dan menarik bagi pengunjung, ataukah justru memberi kesan ekslusif dan menyeramkan sehingga tak menarik pengunjung kesana. Meski begitu, penulis buku begitu mengapresiasi geliat masyarakat Parepare dengan lahirnya berbagai komunitas literasi dari akar rumput.
Ilham juga menyoroti sesat fikir pengampu kebijakan yang dengan sepihak menggunakan ketokohan Habibie bukan pada tempatnya. Habibie tak ubahnya brand dagangan yang dipermak sedemikian rupa untuk meraup pundi-pundi rupiah. Pembangunan demi pembangunan berlangsung menjual nama beliau, yang pada dasarnya menghilangkan esensi Habibie sebagai seorang intelektual. Bagaimana bisa stadion bola yang tak berhubungan dengan beliau, hingga mesjid yang dibangun dengan menimbun lautan menggunakan nama seorang intelektual ini?
Bagi Ilham Mustamin, dengan hadirnya toko buku sederhana di kota pelajar ini akan mampu membangun geliat ‘literasik’. Beliau begitu menyadari akan pentingnya peran toko buku untuk mendistribusikan bahan bacaan kepada masyarakat luas. Bukan hanya terbatas pada kalangan pelajar semata, tetapi juga semua kalangan masyarakat, termasuk anak-anak, ibu rumah tetangga, dan kelompok lainnya yang barangkali begitu jauh dari akses bahan bacaan.
Hal Senada juga disampaikan Dirja Miharja, selaku pembicara kedua. Menurutnya, identitas Parepare sebagai kota santri juga tak lepas dari tradisi baca-tulis. Bahkan, hampir semua agama mewajibkan pengikutnya untuk ber-literasi. Dengan membaca, manusia akan memiliki kesadaran untuk membantu sesamanya maupun berperilaku yang baik terhadap alam. Dirja melanjutkan dengan menyinggung ruang sosial seperti rumah ibadah dan fasilitas umum yang tak bekerja sesuai perannya. Bahkan, banyak pembangunan daerah yang tak lahir dari kesadaran ilmu pengetahuan.
Sebagai seorang pengajar dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Dirja memiliki pandangan yang menarik seputar metode dakwah dan peran mesjid yang sebagaimana mestinya telah berlangsung sejak zaman Rasulullah SAW. Seharusnya, penceramah selain berperan untuk menyadarkan umat manusia akan pentingnya ketakwaan kepada Tuhan, juga berperan untuk menyadarkan masyarakat agar mengambil peran terhadap berbagai masalah sosial di sekitarnya, termasuk persoalan kemiskinan, kelaparan, nasib anak yatim-piatu hingga persoalan kerusakan lingkungan yang sangat jarang diperbincangkan di rumah-rumah Ibadah.
Akhir diskusi disambut dengan keriuhan peserta yang banyak bersepakat dengan kedua pembicara di atas. Tak luput pula berbagai kritikan yang diberikan kepada buku Ilham Mustamin, sebagai respons atas keinginan penulis untuk mengetahui sisi lain dari karyanya. Selama kurang lebih 2 jam diskusi berlangsung, ada banyak cerita menarik yang dilontarkan pemantik maupun peserta. Seluruh peserta forum mengharapkan agar kedepannya ruang-ruang diskusi reflektif seperti ini akan sering digelar sehingga menyadarkan kita sejauh mana kita telah mengambil peran bagi kehidupan masyarakat di sekitar kita.
Azwar Radhif, tim kerja Makassar Biennale 2021