Bunyi dan Visual dalam Harmoni Air

“Semua orang punya iramanya sendiri,” ungkap Arif S. Pramono pada acara wicara seniman Makassar Biennale (MB) 2021 di Parepare, 18 September 2021, bertempat di Setangkai Bunga Makka. Malam itu Arif tidak sendiri, dia bersama teman kolaborasinya, Muhammad Akram. Keduanya seniman residensi MB Parepare yang menjalani prosesnya dalam rentang waktu 16–31 Agustus 2021 lalu.

Wicara seniman diawali dengan tanya jawab antara saya, selaku moderator dan kedua seniman. Mereka secara bergantian membagi pengalamannya mengikuti residensi pertama kali.

Malam itu, Arif menceritakan ke audiens bahwa dia punya pemaknaan lain tentang residensi, yakni “residensi perasaan”, residensi yang dilihat sebagai proses berkarya, idenya dari hal-hal terdekat, harus lebih peka, dan berdamai dengan diri sendiri.

Akram sendiri tertarik dengan sub tema “Sekapur Sirih” yang ditetapkan oleh MB tahun ini. Perjalanannya menjalani residensi memberi dia pengetahuan baru termasuk soal frekuensi. “Visual itu ada frekuensinya, begitu juga dengan bunyi ada frekuensinya,” ucap Akram. Selama residensi Akram juga diajak oleh Arif bertemu orang baru yang secara kemampuan teknis mengolah bunyi sangat baik. Dari situ Akram semakin sadar meskipun secara wilayah Parepare kecil, tetapi banyak orang-orang yang berpotensi bisa besar namanya. “Pada saat mempelajari soal teknis bunyi, saya diajak Arif ketemu Kak Ambi, teknisi audio yang juga gemar mengulik-ulik audio. Dari situ saya mulai sadari banyak ji yang bisa di Parepare,” ungkap Akram.

Bentuk instalasi Arif dan Akram berupa gelas kaca berjumlah delapan—sesuai jumlah nada—yang diisi air hingga menghasilkan bunyi sesuai tangga nada. Ketika gelas-gelas yang ditempeli piezoelektrik diketuk, akan menghasilkan bunyi yang bisa didengar lewat penyuara jemala bersamaan dengan video yang berganti.

Instalasi “Harmoni Air” menggunakan nada “G”. Pemilihan “G” karena pertimbangan nada tersebut lebih sering dipakai atau diperkenalkan di sekolah saat belajar alat musik. “Kunci G saya pakai karena sering sekali diajarkan pertama kali di sekolah. Kunci itu juga akrab dengan orang-orang,” ungkap Arif menjawab pertanyaan saya. 

Dalam menghubungkan bunyi ke video Akram dan Arif awalnya merakit penangkap getaran menggunakan mik dari penyuara telinga yang sudah rusak, namun hanya beberapa yang berhasil. Dalam proses merakit penangkap getaran, piezoelektrik yang dipesan jauh hari oleh Arif tiba tanpa diduga. Kedatangan alat itu sangat membantu keduanya lebih cepat menyelesaikan karya.

Wicara seniman yang dimulai 20.00 Wita itu dihadiri komunitas dan penggiat seni Kota Parepare. Mereka ikut bertanya malam itu seputar proses residensi Akram dan Arif.

Proses Residensi dan Makna yang lain

Awalnya Arif mengikuti residensi setelah saya ajak. Arif kemudian bertemu Akram dan menceritakan seputar MB 2021. Akram mendengar cerita Arif langsung penasaran dengan menemui saya untuk mencari tahu lebih banyak tentang MB di Parepare. Kami membicarakan seputar isu MB dan bentuk kegiatannya. Diskusi malam itu semakin membuat penasaran Akram mengikuti perhelatan dua tahunan ini.

Selanjutnya saya menghubungkan Arif dan Akram ke direktur MB Anwar Jimpe Rachman dan kurator Pingkan Polla melalui zoom. Pertemuan daring itu sangat membantu mereka memulai proses residensinya. Termasuk memaknai tema “Sekapur Sirih” juga sudah lebih terbuka, dan  pertanyaan mereka satu per satu mulai terjawab.

Proses residensi Akram dan Arif bukan tanpa tantangan, keduanya tetap menghadapi kebingungan: tidak tahu mau melakukan apa bahkan tidak ada gambaran sedikit pun tentang karya yang akan dibuatnya. Arif kemudian meminta ke Akram menjaga jarak dulu untuk mencari referensi tentang apa itu residensi.

Arif lalu menonton video wicara seniman lokal residensi MB di Makassar. Lewat video tersebut Arif mulai tercerahkan dengan apa yang dilakukan seniman ketika residensi. Akram sendiri langsung memulai residensinya dengan riset ke Kabupaten Sidrap.

Setelah beberapa hari melakukan riset, kami bertiga kembali bertemu membicarakan ide dan sedikit gambaran karya yang akan dipresentasikan. Dari pembicaraan hari itu, Arif dan Akram mulai menemukan bentuk karya yang akan digarap.

Pada tanggal 8 September, Pingkan Polla datang menemui seniman residensi MB Parepare, termasuk Arif dan Akram. Ketiganya bertemu mendiskusikan prosesnya menjalani residensi, juga curah gagas tentang rencana karya yang akan dibuat. Hasilnya, Pingkan melihat Arif dan Akram berjarak dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Menyadari jarak itu, Akram dan Arif kembali mendiskusikan idenya. Arif memulai pertanyaan dari dalam rumahnya dengan bertanya ke ibunya, soal pengobatan yang dulunya sering ia pakai. Ibunya menjawab, air. Semasa kecil, Arif dekat dengan pengobatan menggunakan air yang didoakan. “Biasanya kalau badan panas nenek saya memberi air putih [yang diberi] daun peria dan bawang merah tunggal lalu airnya diminum, biasa juga diusapkan ke bagian badan yang sakit,” ungkap Arif. Hal inilah yang melatarbelakangi Arif memilih medium air sebagai perantara membuat bunyi-bunyian.

Akram sendiri awalnya akan membuat video fiksi salah satu jenis rempah. Setelah proses curah gagas bersama Pingkan, Akram mengubah rencananya dengan membuat video pendek yang dikumpulkan dari gawai teman-temannya. Akram memulai dengan pertanyaan: apa itu Parepare, ia menghubungi beberapa temannya untuk meminta video tentang Parepare yang ada di galerinya. Video-video ini kemudian dikompilasi menjadi  satu video utuh, lalu ditampilkan lewat televisi 32 inci di ruang pameran. Akram memilih video teman-temannya agar bisa membuka banyak pandangan tentang Parepare, sekaligus sebagai bentuk apresiasi ke teman-temannya karena sudah membantu dalam penciptaan karyanya. “Ini bentuk apresiasi ke teman-teman ku kalau bukan cuma saya yang bikin karya ini ada banyak yang bantu ka. Saya memang suka kerja secara kolektif,” ungkap Akram.

Karya Arif dan Akram berjudul “Harmoni Air” adalah bentuk representasi temuannya selama residensi. Akram dan Arif melihat air tidak bisa lepas dengan manusia, air setiap harinya mengobati manusia. Bagi Arif dan Akram, air memiliki irama dan dinamika sendiri untuk terhubung ke visual.

Karya “Harmoni Air” memberi pengunjung pameran pengalaman yang berbeda-beda. Dalam wicara seniman ini, Hardiyanti Patangngari, salah satu pengunjung membagi pengalamannya menikmati bunyi yang dihasilkan dari gelas-gelas instalasi tersebut. Baginya, lewat gelas-gelas itu, dia bisa memainkan nada-nada dengan baik. Saya sendiri memainkan karya Arif dan Akram seperti diajak mengontrol diri dengan lebih bersabar menunggu video selesai kemudian kembali mengetuk gelasnya sehingga bisa seirama.

Residensi bagi Arif bukan hanya proses meneliti sebagai bahan pengaryaan, namun proses berdamai dengan dirinya karena harus bertemu orang baru, berdiskusi, dan membuat karya yang tidak pernah dia buat sebelumnya. Dan Akram banyak menemukan makna baru tentang visual selama perjalanan residensinya. Proses menyinkronkan bunyi dengan video mengenalkan dirinya cara bekerja bunyi dan visual lebih jauh.

Walaupun proses dan medium mereka berbeda selama ini: Arif sebagai musisi yang sudah mengeluarkan dua album dengan ide sudah punya ciri tersendiri, dan Akram sutradara film pendek bergelut konsep visual, namun keduanya bisa bersatu dan selaras dalam karya “Harmoni Air”.

Lewat tema “Sekapur Sirih” dan proses residensi, Arif dan Akram menemukan karyanya yang lain selain musik dan film. Keduanya akhirnya menciptakan karya dengan media baru, juga memberinya pengetahuan praktik dan arti seni lebih luas lagi. []

Andi Musran, tim kerja Makassar Biennale 2021 – Parepare

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan