Bermula dari kiriman foto berupa empat halaman bagian sebuah buku yang dikirim oleh seorang teman, Ronal Edy menyatakan keinginannya untuk bertemu langsung dengan si pemilik buku, Ibu Sunarsih (58 tahun). Buku itu merupakan kumpulan tulisan mengenai ramuan jamu dari tumbuh-tumbuhan dan, keempat foto yang diterima oleh Ronal waktu itu membahas tanaman tamarindus indica (asam jawa)—tumbuhan yang sudah bercokol di dalam kepalanya sejak sebulan terakhir.
“Tidak boleh dipinjam, tapi nanti saya kopikan,” tulis Iyand, anak laki-laki dari Ibu Sunarsih, melalui pesan WA.
Tamarindus indica dapat tumbuh baik pada daerah ketinggian sekitar 1.000-1500 dpl, maupun pada wilayah tanah berpasir. Di beberapa tempat, pohon ini kadang dilekati dengan cerita-cerita mistik. Ada yang menganggapnya sebagai pohon keramat atau pohon tempat bersemayamnya arwah gentayangan.
Tumbuhan asam atau di masyarakat Bugis disebut cempa, cukup mudah dijumpai di sepanjang jalan-jalan utama di Kota Parepare. Berdasarkan catatan Wikipedia, tumbuhan ini diperkirakan berasal dari Afrika. Ada dugaan bahwa kehadiran tumbuhan tersebut sebagai penanda jejak wilayah kolonial. Ia sengaja ditanam di tepi jalan, selain untuk meneduhi area jalan, akarnya juga tak merusak kondisi jalan.
Berbagai artikel dan jurnal ilmiah telah mendedahkan khasiat dari tumbuhan asam. Dilansir dari Jawapos.com pada 19 Januari 2019, manfaat asam jawa antara lain menjaga kesehatan pencernaan, meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan, meningkatkan daya tahan tubuh, menyembuhkan peradangan, dan meningkatkan kesehatan mata. Meski begitu, Badan Pusat Statistik Kota Parepare tahun 2020 tidak mencatat tumbuhan asam ini sebagai tanaman biofarmaka sejak tahun 2016. Hal inilah yang mendorong Ronal menyusuri keberadaan dan pemanfaatan asam jawa. Berhari-hari nanti, hasil penelusurannya itu Ronal tuangkan ke dalam bentuk karya seni instalasi objek dimensi bervariasi dan media infografis statis dalam pameran Makassar Biennale 2021 di Parepare, 16-19 September 2021.
Ronal Edy atau akrab disapa Onet, lahir di Parepare tahun 1994. Ia meraih gelar sarjana Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain di Universitas Negeri Makassar. “Desain grafis yang mengedepankan estetika di Parepare sudah banyak, tetapi karya yang merespons isu-isu sosial nyaris tak muncul ke permukaan,” katanya.
PADA TANGGAL 5 September 2021, sekitar pukul 13.00 WITA, Ronal berkunjung ke rumah Ibu Sunarsih. Halaman rumahnya dipenuhi tanaman herbal. Beluntas, sirih, temulawak, kencur, kunyit, dan jahe memadati pekarangan rumah. Iyand bilang, kalau di pekarangan itu juga dulunya tumbuh pohon asam.
Ibu Sunarsih orang yang responsif. Ia meramu asam dan pelbagai tanaman herbal lainnya untuk membuat jamu. Jamu untuk mengatasi nyeri ketika haid atau melancarkan peredaran darah, bahannya terdiri dari asam kunyit, gula aren, daun sirih, dan temu lawak. Bahan-bahan itu lalu direbus dalam satu wadah dengan air sekitar 500 ml. Setelah disaring, air rebusan siap diminum. Namun, di dalam rumah, hanya Sunarsih dan suaminya yang rutin mengonsumsi jamu. “Semua anak saya tidak ada yang suka jamu,” katanya.
Selain diminum, asam juga dapat dikonsumsi dengan membalur atau dengan menggosok. Biasanya untuk mengobati kaki terkilir, demam, dan sakit perut. Asam diulek dengan bawang merah, tepung beras, lalu dicampur dengan sedikit minyak gosok atau minyak kayu putih.
Jamu yang Sunarsih ramu tak diperjualbelikan. Kalau ada tetangga yang membutuhkan bantuan, ia sigap membantu. Para tetangga mengenalnya sebagai Ibu Yuyun. Ada juga dokter yang pernah meminta ramuan jamu kepadanya. Pengetahuan mengenai ramuan-ramuan itu Sunarsih peroleh dari neneknya. Ia belajar dengan mengamati sang nenek dan ketika ia luang, barulah Sunarsih mencoba mempratikkan apa yang ia perhatikan.
Pengetahuan mengenai khasiat asam yang diturunkan dari keluarga juga diperoleh Ibu Fadjriani (48 tahun), seorang guru mata pelajaran Ilmu Pengetahun Sosial di sekolah menengah pertama. Ibu Fadjriani bercerita bahwa sewaktu ia masih gadis, ibunya kerap menganjurkannya memakai asam untuk luluran. Ia menggunakannya sekali dalam seminggu. Asam dicampur dengan garam dan air sekitar tiga sendok makan. Setelah dioleskan ke tubuh, dibiarkan terlebih dahulu kering sekitar 10 menit, lalu dibilas. “Asam juga efektif mengatasi demam pada anak-anak,” katanya. Setelah berumah tangga dan memiliki tiga orang anak, Ibu Fadjriani sudah jarang memanfaatkan asam sebagai lulur. Ia lebih banyak menggunakannya sebagai bumbu dapur. Biasanya asam ia peroleh di pasar seharga Rp.5000/bungkus.
Sittiana alias Wak Bondeng adalah salah seorang yang mendistribusikan asam ke pedagang. Dari penuturan tetangga, Wak Bondeng sudah berusia sekitar 80-an tahun, kulitnya tampak menggelambir, berambut panjang dan nyaris telah memutih seluruhnya. Bersama anak dan cucu, ia mendiami rumah yang beralamat di Jl. Wisata Jompie. Tak jauh dari rumahnya, tumbuh dua pohon asam.
Wak Bondeng memetik asam seusai salat subuh. Aktivitas itu ia lakukan tiga kali dalam seminggu bersama dengan para tetangga. Mereka menggunakan galah atau sekadar memungut buah asam yang sudah jatuh ke tanah karena deraan angin. Seusai dikumpulkan, asam mereka kupas, lalu dimasukkan ke dalam cetakan dan dijemur. Setelah proses penjemuran, asam dikemas dan diantarkan ke pedagang di Pasar Lakessi. Upah yang Wak Bondeng dapatkan dari kerja kolektif itu berkisar 80-100 ribu.
Wak bondeng juga mengonsumsi asam sebagai obat. Ketika Ronal bertamu ke rumahnya, Wak Bondeng mengajaknya ke dapur untuk mempratikkan pembuatan minuman pereda batuk. Ia menyeduh air, mengiris gula merah, memasukkan asam, dan melarutkan secuil garam ke dalam air tersebut.
Di Parepare, pengusaha yang cukup jaya dengan berbisnis asam adalah Kelompok Wirausaha 5 Putra. Saat ini usaha tersebut dikelola oleh Pak Ical. Bisnis keluarga ini dimulai sejak tahun 2000 dan dagangan asamnya telah terdistribusi ke empat daerah lain di Sulawesi Selatan yakni Pinrang, Sidrap, Siwa, dan Polman. Namun, asam yang Wirausaha 5 Putra dagangkan bukanlah berasal dari Parepare, melainkan diimpor dari Thailand.
15 SEPTEMBER 2021 malam di Setangkai Bunga Makka, menjelang pembukaan pameran Makassar Biennale esok hari, Ronal sedang mempersiapkan display karya seni hasil penjelajahannya mengenai asam di Parepare. Sebuah tivi layar datar berukuran 32 inci dipasang. Tivi itu menayangkan 70 sketsa berbeda yang terbagi ke dalam 15 slide. Ada yang menggambarkan wajah narasumber, narasi berbentuk komik mengenai khasiat dan pengolahan asam, serta jalur perdagangan asam dari Parepare.
Karya instalasinya sendiri berupa pemetaan pohon asam yang ada di Parepare. Ia menggunakan 56 pin beragam warna untuk menandai titik-titik lokasi pohon di jalan-jalan utama Kota Parepare. Peta dibuat dengan teknik tracing line art menggunakan aplikasi photoshop. Pin-pin itu ditancapkan ke gabus sebesar 85×85 cm dengan ketebalan 1 cm, lalu dikaitkan dengan benang wol berwarna merah yang ujungnya telah diikat dengan buah asam. Pin berwarna merah untuk menunjukkan lokasi pohon yang berada dalam Kelurahan Ujung, pin berwarna biru untuk menunjukkan lokasi pohon berada dalam Kelurahan Soreang, pin kuning untuk Kelurahan Bacukiki, dan pin putih untuk Kelurahan Bacukiki Barat. Sedangkan penanda untuk menunjukkan pohon asam yang berbuah lebat ditunjukkan dengan pin berwarna hijau.
Pada tanggal 16 September sore, sejam menjelang pembukaan galeri MB, Ronal tengah berdiri di hadapan karyanya. Salah seorang temannya menghampirinya dan menyampaikan sebuah kabar, kabar yang sekejap membuat suasana terasa senyap, membuat ia tak sanggup bicara, membuat ia mendongakkan wajah untuk menahan air mata: Mamanya Iyand meninggal.
Ketika wicara seniman digelar, Ronal menyampaikan belasungkawa dan mengajak para peserta berdoa untuk almarhum. “Karya seni ini tidak bakalan lahir tanpa bantuan narasumber saya. Pengetahuan merekalah yang penting. Instalasi dan infografis yang saya buat hanyalah media dari upaya pewarisan pengetahuan mereka.” []
Ilham Mustamin, penulis buku Siasat Menikmati Kesemenjanaan.