Wicara seniman bersama Denni Adipura menjadi acara sesi pertama di hari ke 3 pagelaran Makassar Biennale (MB) Kota Parepare 18 September 2021. Denni Adipura adalah salah satu seniman yang mengikuti program residensi MB di Parepare. Ia membuat karya berjudul “Awal Semula di Kolong Rumah“ berupa gambar-gambar yang berisi dokumentasi selama prosesnya meneliti tentang be’da’ picah (bedak basah). Di tengah kesibukannya sebagai staf di salah satu perusahaan, Denni, juga aktif dalam banyak kegiatan kesenian. Baik itu seni rupa (melukis), maupun seni musik. Ia sering membuat musik instrumental dengan nama “Lil-Feitan” di beberapa penyedia layanan musik digital, seperti Spotify, Joox, dan Soundcloud. Wicara seniman yang berlangsung di Setangkai Bunga Makka ini, dipandu oleh Muhammad Iqbal Nur, tim kerja Makassar Biennale (MB) Parepare yang juga mendokumentasikan proses residensi Denni.
Setelah moderator membuka sesi wicara dengan memperkenalkan profil singkat Denni, Denni Adipura lalu menceritakan proses residensinya yang bermula dari salah seorang kawan yang mengenalkan Denni dengan Andi Musran “Om Uccang”, koordinator MB 2021 di Kota Parepare. Berangkat dari sesi perkenalan itu, Denni diajak oleh Andi Musran untuk ikut serta dalam program residensi seniman Makassar Biennale. Denni tertarik dengan ajakan Andi Musran sebab residensi adalah hal yang baru baginya. Denni kemudian mulai melakukan riset sesuai dengan tema Makassar Biennale pada pagelaran kali ini, “Maritim: Sekapur Sirih”.
Pada awal program residensi, Denni agak kebingungan untuk memulai dari mana karena ia baru mengetahui istilah residensi dan ajang MB dari bincang bersama Om Uccang. Berdasarkan subtema “Maritim: Sekapur Sirih”, Denni mencoba mengingat kembali metode pengobatan apa saja yang pernah ia rasakan dan memiliki khasiat yang baik kepadanya. Sampai suatu ketika, pada pekan awal program residensi berjalan, anak dari Denni Adipura sakit dan harus dirawat di salah satu rumah sakit di Kota Parepare. Denni kemudian teringat dengan metode pengobatan menggunakan be’da’ picah (bedak basah) sebab Denni dan keluarga sering menggunakan be’da picah ini untuk mengobati beberapa penyakit dalam yang pernah ia alami. Denni kemudian mencoba untuk mengobati anaknya dengan itu. Setelahnya, anak Denni mulai membaik dan tidak lagi dirawat di rumah sakit. Berkat khasiat be’da’ picah tersebut pada anaknya, Denni memutuskan untuk menjadikan metode pengobatan be’da’ picah yang keluarganya telah lakukan dan ia pun rasakan sendiri, sebagai ide dalam meresponssubtema “Maritim: Sekapur Sirih”.
Langkah awal proses riset Denni dimulai dengan membuat janji bertemu Fera, narasumber yang juga adalah sepupu Denni. Dua hari setelahnya, Denni mengajak beberapa tim dokumentasi MB untuk mendokumentasikan perkembangan proses residensinya. Denni bersama tim dokumentasi kemudian menggali informasi terkait sejarah, metode pengobatan be’da’ picah bermula, khasiatnya, hingga komponen berupa bahan dan mantra dalam proses pembuatan bedak basah ini. Singkat cerita, setelah proses residensi Denni berjalan kurang lebih sepekan, Denni telah merencanakan gambaran dasar terkait apa yang akan ia pamerkan. Namun, setelah bertemu dengan Pingkan Polla, Tim Kurator MB 2021, Denni banyak mendapat saran dan kritik yang membangun dalam proses riset dan pengkaryaannya, salah satunya tentang mencoba untuk peka terhadap keadaan sekitar yang lebih dekat dengan diri Denni. Pingkan juga memberi tantangan kepada Denni untuk membuat 20 gambar sketsa setiap harinya saat berada di rumah narasumbernya.
Hal ini menjadi tantangan bagi Denni sebab sebelumnya ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengulik musik, ketimbang menggambar atau melukis. Pertemuan Denni dengan kurator membuatnya beberapa hari kehilangan antusiasnya dalam melanjutkan program residensi, sebab beberapa ide yang telah ia rancang dari beberapa hari sebelum bertemu kurator, sebagian besarnya harus diubah. Meski begitu, dari pertemuan dengan kurator, Denni merasa mendapatkan sudut pandang baru dalam berkesenian. Setelah pertemuan seniman residensi MB Parepare dengan kurator, Denni Adipura kembali merefleksikan perjalanan residensinya. Ia menambahkan, dengan residensi ini, ia kembali terhubung secara akrab bersama kerabat dan tetangganya yang membuat be’da’ picah di kolong rumah narasumbernya.
Selama sepekan sebelum pameran MB digelar, ia melakukan residensi dengan metode pendekatan kekeluargaan, dimana tiap harinya sebelum melaksanakan aktivitas kesehariannya, Denni selalu menyempatkan untuk berkunjung dan berbincang bersama Fera dan tetangga-tetangganya sembari menggambar sketsa berwarna berdasarkan aktivitas yang terjadi di kolong rumah. Dalam tuturnya, ia kesulitan untuk membuat gambar menggunakan akrilik yang ia sering gunakan, karena ia harus mendokumentasikan secara rinci seluruh aktivitas yang terjadi di kolong rumah. Hingga dalam satu momen, ia melihat cucu Fera menggunakan oil pastel, dan akhirnya ia berpikir untuk menukar buku gambar dan akriliknya dengan oil pastel milik cucu Fera. Oil pastel inilah yang kemudian dipakai Denni menggambar.
Aktivitas menggambar secara langsung ia lakukan hampir setiap hari di depan narasumbernya ketika sedang membuat be’da’ picah, sembari mengobrolkan permasalahan harga kebutuhan pokok seperti beras, ikan, sayur mayur yang naik, kelangkaan gas elpiji, hingga perbandingan budaya berpakaian perempuan zaman sekarang dengan dulu. Menurut Denni, obrolan bersama kumpulan ibu-ibu rumah tangga menambah sudut pandangnya dalam menilai permasalahan, hingga ia mampu visualkan melalui kertas bekas dan oil pastel yang ia gunakan untuk menggambar. Beberapa karya Denni yang ia deskripsikan dalam wicara seniman kali ini terinspirasi dari obrolan khas ibu-ibu di kolong rumah. Tak jarang ia menjadi bahan bualan karena ia satu-satunya laki-laki di lingkaran ibu-ibu yang beraktivitas di kolong rumah Fera.
Dalam tuturnya, Denni kerap kali diajak ke pasar membeli bahan be’da’ picah. Yang menarik dari be’da’ picah menurut Denni adalah hanya sedikit bahan bedak basah ini yang mereka beli di pasar, sebagian besar bahan pembuatan be’da’ picah ini mereka ramu dari tanaman yang tumbuh di sekitar rumah Fera dan di halaman rumah beberapa tetangganya. Menurut Fera, bahan-bahan be’da’ picah ini antara lain; Bangel (panini), beras, buah pala, cengku’, colli kaju Jawa, daun batang bolong, dara, daun bidara, daun bunga melati, daun mangkok, daun surga, daun taluma, kayu manis, sagu, sengereng, temmu puteh, dan temulawak. Di antara bahan-bahan tersebut, daun taluma menjadi bahan yang sangat langka dan sulit didapatkan. Menurut informasi dari Fera, hanya tersisa satu pohon taluma di Parepare. Di samping khasiatnya, yang menjadikan be’da’ picah buatan Fera dengan be’da’ picah lainnya, ialah aroma wanginya yang berasal dari sengereng.
Proses pembuatan be’da’ ini dimulai dari beras dan sagu yang digiling halus, lalu ditambahkan aneka daun dan bahan be’da dan ditumbuk lagi sampai halus dan warnanya berubah menjadi kekuning-kuningan. Setelahnya, be’da’ picah dijemur selama 12 – 24 jam, tergantung pada sinar matahari. Hal ini dilakukan untuk menghindari kutu beras atau bakteri yang membuat be’da’ picah bisa kehilangan aroma dan teksturnya yang halus akan menggumpal. Setelah proses pengeringan selesai, bedak dipindahkan ke wadah yang tidak lembab dan kedap udara.
Ketika ada pesanan, Fera membungkusnya dengan koran bekas seadanya. Setelahnya, be’da’ picah diberikan mantra agar mampu berkhasiat mengobati orang yang sakit. Menariknya, bukan Fera yang memantrai bedak tersebut, melainkan Putri, anaknya. Putri mewarisi mantra ini dari Ma’Made, neneknya. Perlu digaris bawahi bahwa Fera adalah anak dari mendiang Ma’Made yang melakukan metode pengobatan pertama kali melalui be’da’ picah. Denni dalam tuturnya juga menjelaskan bahwa Ma’Made melakukan metode pengobatan ini sejak puluhan tahun yang lalu. Dalam kisahnya selain menjalankan metode pengobatan melalui be’da’ picah, Ma’Made juga merupakan seorang tabib (sanro) anak di daerah tempat tinggalnya, Tonrangeng.
Mantra be’da picah itu didapatkan Ma’Made melalui mimpi. Ma’Made merasakan dalam mimpinya, ia melihat sosok yang memberikan sesuatu ke genggaman tangannya. Mimpi tersebut berlangsung dengan cepat. Hal ini juga dirasakan oleh mendiang Ma’Made ketika di dalam mimpinya ia disampaikan bahwa dalam pembuatan be’da’ picah ini segala bahan yang ia cari itu berada di sekitar rumahnya. Itulah mengapa Ma’made turun temurun membudidayakan tanaman-tanaman bahan membuat bedak basah tersebut. Ia mendapatkan keistimewaan ini melalui perantara mimpi yang ia rasakan sejak masih hidup. Lanjutnya, Be’da’ picah ini cukup dikenal oleh banyak warga Kota Parepare pada saat itu sebab khasiat atau manfaat mampu menyembuhkan banyak penyakit seperti demam tinggi, panas dalam, meriang, sakit kepala, cacar air, gatal-gatal, lebam kebiruan akibat benturan, dan sulit tidur. Bahkan banyak orang dari luar Parepare seperti dari Kalimantan, Jawa, bahkan Sumatera sengaja memesan be’da’ picah dari Ma’Made sebab khasiatnya yang diyakini sangat mampu menyembuhkan.
Lalu di akhir hayatnya, Ma’Made mewariskannya ke Putri untuk digunakan mengobati orang-orang. Putri dipilih karena semasa hidupnya, ia lebih sering menghabiskan waktu dengan si nenek dan sesekali dengan rasa ingin tahunya kerap menanyakan ke neneknya mantra apa yang ia baca dan bagaimana cara dia mengobati aneka penyakit. Menurut Fera, mantra ini berisi lantunan ayat suci al-quran yang selalu diberikan sebelum be’da’ picah ini dibungkus menggunakan koran bekas.
Setelah riset dan data mengenai pengobatan be’da’ picah terkumpul, Denni mulai melakukan proses pengkaryaan dibantu oleh beberapa teman-teman lain yang ikut terlibat di MB Parepare. Denni selalu berkonsultasi dengan kurator terkait segala hal yang berhubungan dengan karyanya. Mulai dari memilih gambar-gambar yang akan ia pamerkan, hingga bagaimana penyusunan gambar itu. Selama prosesnya, Denni menghasilkan kurang lebih 70 gambar, yang kemudian 33 di antaranya dipilih untuk dipamerkan. Setiap gambar memiliki makna masing-masing, seperti gambar seorang perempuan yang mengenakan atasan jilbab dan baju yang tipis hingga lekuk tubuhnya terlihat. Denni menjelaskan latar belakang dibalik gambar itu, yang berasal dari perbincangan di kolong rumah ibu-ibu yang membahas tentang keresahan mereka terhadap budaya berpakaian perempuan zaman sekarang dengan dulu. Terdapat juga gambar yang menjelaskan proses pembuatan ketika daun dan beras ditumbuk secara bersama. Gambar yang menampilkan sebuah wadah bulat besar dalam istilah Bugis baki’ dengan be’da’ picah di dalamnya. Terdapat juga gambar seorang ibu menyapu yang dipasang tapi tidak ditempel sepenuhnya lalu membuat gambar tersebut bergerak seakan seperti ia sedang menyapu. Menariknya, pengunjung juga merespons dengan sudut pandangnya masing-masing, banyak yang beranggapan gambar perempuan yang menggunakan pakaian dengan berbahan tipis seperti perempuan yang terlihat telanjang.
Berdasarkan pemaparan panjang proses Denni residensi, peserta wicara seniman memberikan respons berupa pertanyaan, tanggapan, dan impresi terkait karya dan perjalanan residensinya. Salah satunya Febby, ia memberikan impresi bahwa setelah menyaksikan karya instalasi dan menyimak perjalanan residensi Denni, ia kembali bernostalgia dengan kebiasaan adiknya yang sering menggambar ibunya ketika sedang melakukan aktivitas kesehariannya. Peserta lainnya, Zizi, menambahkan bahwa setelah mendengarkan penjelasan Denni Adipura terkait proses residensinya, ia menyadari kalau ternyata, kehadiran seni mampu menghangatkan kembali hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Zizi berasumsi bahwa dari tutur Denni, terasa jelas bahwa Denni amat terhubung dan merasa akrab kembali dengan kerabat dan tetangga sekitar rumahnya.
Denni juga menceritakan bahwa karya instalasinya mendapat respons baik dan tak jarang pula respons yang cukup ‘menjengkelkan’. Salah satu respons dari pengunjung yang ia sangat ingat yaitu dengan karya dari Denni, ia merasa mengulang kembali masa kecilnya yang hangat dengan menggambar di kertas buku pelajarannya dan mendapat teguran dari orang tua nya dahulu. Respons nyeleneh juga datang dari seorang pengunjung yang Denni tak bisa lupa ialah, pengunjung yang bertanya bahwa ternyata karya seni yang ia nilai abstrak ini juga bisa dipamerkan. Berbagai respons dari pengunjung menjadi kepuasan tersendiri bagi Denni sebab respons beragam tersebut menambah sudut pandang baru dalam menilai sebuah karya yang dipamerkan hingga berbagi pengetahuan satu sama lain antara seniman dan pengunjung. Peserta lain juga menambahkan kalau ternyata sosok dari seorang Denni Adipura yang ia kenal tidak lain dan tidak bukan hanya merupakan seorang pekerja pada umumnya, tapi dengan program seniman residensi dan pameran Denni di MB, ia mengenal Denni Adipura dengan perspektif yang baru sebagai seorang seniman. Menurut Denni, beberapa seniman yang mengikuti residensi menganggap bahwa hasil akhir berupa karya bukanlah hal yang paling utama, bahkan standar indikator baik atau buruk dalam sebuah karya bukanlah nilai penting bagi mereka, akan tetapi, proses selama residensi yang mereka alami dan jalanilah yang lebih yang penting.
Denni merasakan sejak hari pertama pagelaran (MB) 2021 hingga hari terakhir, banyak pengunjung dan orang-orang yang mengenal dia sebelumnya tidak sebagai seorang seniman, di pagelaran MB ini baru mengenal sisi lain dari seorang Denni Adipura sebagai seorang seniman yang gemar terhadap musik dan gambar. Denni juga menambahkan bahwa dengan residensi ini, ia lebih peka terhadap keadaan sekitarnya. Terkadang hal yang kita perlukan itu berada di sekitar kita, kadang kita yang tidak mampu melihat dan peka dengan kondisi di luar dari pada entitas kita sebagai manusia. Denni pun merasakan bahwa setelah menjalani proses residensi hingga mampu berpameran, ia tertarik untuk belajar hal baru di luar dari kebiasaan yang ia lakukan di dalam bidang kesenian seni rupa dan musik. Denni menganggap dengan adanya proses residensi ia mendapat banyak sudut pandang baru dalam menilai atau melihat kesenian.
Setelah mengikuti perjalanan Denni Adipura selama proses residensi hingga pameran karya, saya pribadi sedikit merefleksi diri dengan program pra-event MB 2021 “Menghambur Menyigi Sekapur Sirih” lalu. Riset dan penelitian dilakukan bersama seniman-seniman yang mengikuti program residensi menjadi nilai pembeda dengan pra-event tersebut. Tentunya sudut pandang dari seniman menjadi hal yang baru dari diri saya sendiri dalam melihat atau menilai sesuatu. Disamping itu, interaksi sosial yang terjadi di kolong rumah, seperti ibu-ibu yang memperbincangkan segala permasalahan dari zaman ke zaman menjadi hal yang sangat menarik karena perbincangan seperti itu bukan hanya dibahas di kedai kopi atau rapat paripurna, tapi dapat kita jumpai di kolong rumah.
Pameran karya seorang Denni memberikan kehangatan bagi saya sendiri sebab saya mampu bernostalgia dengan masa kecil yang penat dengan sistem pendidikan yang ada, bahwa murid hanya dikatakan cerdas melalui kecerdasan matematik. Tak sedikit pengunjung merasakan hal yang sama dengan kehadiran karya Denni. Kita seperti diajak mengingat kebiasaan kecil kita yang menggunakan buku pelajaran sebagai medium untuk mengekspresikan diri dalam berkarya dengan alat seadanya. Denni berpendapat bahwa dalam berkarya, kita sebisa mungkin mampu untuk melampaui batasan. Menurutnya, terkadang batasan yang hadir itu berasal dari anggapan bahwa kita tidak dapat melakukannya. Ia mengambil analogi sederhana bahwa tembok dinding hadir berasal dari kita sendiri, maka dari itu kita hanya perlu merobohkan tembok dinding yang menghalangi diri kita dalam melangkah maju. Begitu pula dalam kita membuat karya, lampaui batasan yang ada dan teruslah berkarya. []
Penulis: M. Iqbal Nur, Tim MB Parepare