Tuntas Membayar Rindu di RIC 2021

Malam itu (21/07/19) di tengah padatnya antrian keluar Jiexpo, saya dan tiga orang teman bermain tebak-tebakan, “Kira-kira tahun depan line up-nya siapa?” Kemudian masing-masing kami bertaruh. Tetapi ternyata pertaruhan sederhana itu tidak lagi menjadi menarik, ketika kenyataan festival musik yang kami rencanakan hadiri kembali ini, terpaksa muncul secara virtual di tahun 2020. Tentu tidak hanya saya yang merasa demikian, teman-teman semua juga pasti di rasa yang sama. Semua jarak perkara pandemi ini membuat kita rindu banyak hal. Dan seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas.

Baru-baru di Makassar, ketika menjalani magang di Makassar Biennale 2021, saya sering melihat Kak Jim (Anwar Jimpe Rachman) mengenakan kaos abu bertuliskan Rock In Celebes. Saya sempat bertanya “Apa itu Rock In Celebes, Kak?” – “Festival musik,” jawab Kak Jim. Dalam hati saya,“Oh senang rock. Saya kira Kak Jim lebih ke Björk”.

Pikiran itu muncul tentu karena saya merasa RIC adalah festival musik khusus bergenre rock. Di waktu berbeda, seorang teman menanggapi Kak Jim yang terdengar sering memutar lagu-lagu Nadin waktu itu, “Gara-gara RIC (Rock In Celebes) nih, Nadin terus jadinya,” kata Zizi, teman di Kampung Buku. Saya langsung bertanya kepada Zizi, “Kenapa RIC ngundang Nadin? Bukannya rock?”

“Gimana jelasinnya ya. Rock di RIC itu konsep, semangatnya, Bom,” Jawab Zizi mencoba menjelaskan RIC. Sepanjang dia menjelaskan, saya diam dan menyimak. Sedikit banyak mendengar penjelasan itu, akhirnya saya cukup mengerti mengenai festival musik yang megah ini.

Saya membaca di website RIC kalau tahun lalu (2020), RIC melalui Ride In Celebes tetap hadir walau secara online.Tetapi menurut salah satu teman saya di Makassar, “Konser itu, ya dengerin musik bareng-bareng dan langsung. Kalau online sama aja kayak nonton YouTube.” Saya sependapat dengan yang dia katakan. Nonton konser rasanya tidak sebatas menikmati lagu, konser atau festival rasanya seperti sebuah momen besar yang sengaja dihadiri untuk membuat narasi-narasi kecil di dalamnya.

Melihat konser terakhir waktu itu (2019), saya sekelibat teringat momen dramatis ketika berpindah dari satu panggung ke panggung yang lain, harus melawan lautan manusia yang sedang berdempet-dempet menikmati lagu. Saya juga teringat bagaimana menjengkelkannya ketika harus menunggu teman di toilet padahal musisi yang ditunggu akan segera tampil, atau ribetnya janjian untuk bertemu teman di tempat konser dalam keadaan sinyal yang hilang-hilangan. Bagi saya, narasi-narasi kecil yang menjadi memori itulah yang membut sebuah konser atau festival musik menjadi menarik untuk kembali didatangi. Kerinduan membuat narasi bersama teman-teman dalam situasi konser tepatnya.

November akan berakhir dan jadwal magang sudah selesai, seharusnya saya pulang ke Tangerang. Tetapi ada RIC Desember ini, ditambah lagi buku Rock In Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar yang ditulis Kak Jim menjadi tema besar RIC 2021. Sayang sekali rasanya melewatkan RIC. Kapan lagi? Sudah lama juga tidak ikut konser, jadi lebih baik pulangnya ditunda dulu saja, lagi pula tidak buru-buru juga.

Ketika line up RIC dirilis, jujur saya tidak ‘akrab’ dengan kebanyakan musisi yang akan tampil. Mungkin hanya Kapal Udara yang menjadi perhatian utama saya. Itu karena beberapa bulan lalu, saya diperkenalkan Gufran, teman dari Makassar Biennale untuk mendengar lagu Menanam berikut Serdadu, dan setelah pertama kali mendengarnya, saya kecanduan.

Tetapi kembali lagi, musisi bukan alasan utama menghadiri festival musik, kerinduan untuk merasakan suasana konser itu yang menggerakkan saya. Namun karena satu hal, saya tidak bisa menghadiri RIC sejak hari pertama hingga keenam, tetapi setidaknya masih tersedia hari ketujuh sampai hari terakhir di sepuluh. Lumayanlah. Terakhir nonton konser saja, saya datang selama dua hari dan itu sangat melelahkan. Kali ini empat, dua kali lipatnya.

Kamis menjelang sore, selepas mengambil pakaian dari laundry, saya kemudian bergegas kembali ke kamar kos untuk mengganti pakaian. Tanggal 16 Desember adalah hari pertama saya menghadiri RIC. Biasanya ganti pakaian singkat saja: memilih pakaian yang paling mudah dijangkau oleh tangan untuk dipakai. Kali ini waktunya lebih ekstra, mungkin lima belas menit lebih lama. Sepuluh menit untuk memilih setelan, lima menit bercermin, dan lima menit lagi untuk pilih sepatu, padahal hanya ada dua pilihan sepatu. Di luar kerempongan ini, rasanya seru bisa kembali nostalgia untuk meribetkan diri mencari pakaian yang ngonser. Kalau mengingat waktu dulu, saking merasa ribetnya hal ini, teman-teman saya sudah siap dengan rancangan pakaian di jauh-jauh hari. Jadi, setiap hari selama festival berlangsung, setelan pakaian itu sudah diperkirakan perharinya.

Sesampainya saya dan Zizi di Monumen Mandala, rasanya dejavu melihat beberapa kelompok orang berjalan dengan tiket berbentuk gelang terpasang di tangannya. Ditambah lagi suara keras musik dari dalam dalam arena RIC. Setiap kali suara bass dari sound system menggelegar panjang, detak jantung yang sudah lama tidak euforia ini pelan naik terpacu. Kami berdua berjalan menuju gerbang, di sana sudah berdiri barisan keamanan RIC, lengkap dengan rompi berwarna hijau stabilo. Saya bersama Zizi masuk didampingi Bolang, teman di Kampung Buku. Dia ikut bertugas sebagai relawan keamanan RIC tahun ini, dari yang Bolang ceritakan selama beberapa hari berlangsungnya RIC, situasi terpantau aman dan penonton masih bisa dikatakan cukup mengerti kondisi.

Duduk di barisan belakang penonton, saya melihat penonton yang hadir tidak semuanya akrab dengan lagu yang dibawakan musisi yang tampil sore itu karena cenderung tidak bernyanyi. Namun saya sering melihat teman-teman menghentakkan kaki di lantai, atau sedikit menggoyangkan badan ke kiri-kanan dari tempat duduk masing-masing.

Selain memberi jarak, panitia juga mewajibkan swab test di tempat (biasanya tidak jauh dari gerbang masuk), serta menyelenggarakan juga vaksinasi bagi setiap pengunjung yang belum berkesempatan untuk vaksin. Siasat dan keseriusan RIC menanggapi protokol pandemi ini membuat pengunjung tidak begitu risau rasanya untuk hadir.

Berada di antara orang dewasa, sering pula terlihat anak kecil ikut berkumpul di sana. Ada yang mengenakan pakaian serba hitam dengan sepatu kulit, ada yang menyilangkan tangannya sambil pelan berjalan, ada juga yang nongkrong bersama temannya, yang juga anak kecil – membuat mereka tidak kalah terlihat “dewasa” di sana. Tidak hanya anak kecil, beberapa lansia juga hadir di tengah-tengah penonton, duduk bersama keluarga tanpa perlu was-was. Dulu sering saya berpikir untuk mengajak Oppung ikut hadir menonton sebuah konser, tetapi tidak jadi, dengan pertimbangan yang selalu sama: terlalu ramai dan terlalu “anak muda”. Tidak ada ruang ideal untuk lansia menikmati konser rasanya.

Ketika di Pelataran TSM dan melihat seorang kakek berada bersama keluarganya malam itu, rasanya sayang sekali Oppung tidak ada di sini. Barangkali protokol seperti ini yang memang sesuai agar seorang lansia bisa ikut tanpa rasa cemas.

Salut kepada RIC sebagai sebuah festival, keseriusan dalam memperhatikan penonton ini sangat perlu diapresiasi. Tiga generasi hadir bersamaan, walau di tengah pandemi. Kesempatan atau lebih tepatnya keberuntungan bisa menghadiri RIC 2021 ini benar-benar membuat saya senang karena boleh merasakan kembali suasana konser.Menjadi lebih senang lagi karena pada kesempatan kali ini saya hadir bersama teman-teman di Makassar. Bersama Febby yang kelihatannya masih bingung soal ‘apa enaknya nonton konser’, bersama Avi yang merasa dimarah-marahi musisi dari panggung ketika menghadiri konser di Celebes Convention Centre, bersama Zizi yang harus sakit karena cuaca yang tidak stabil, dan karena sakitnya lalu kami harus segera pulang, niat untuk bertemu Kak Ale dan kawan-kawan Kapal Udara setelah manggung untuk foto bersama, harus menjadi ‘dendam’ saya saat ini. Semoga di lain waktu, saya berkesempatan melihat kembali aksi gitar kak Ale di panggung. Amin.

Lalu pertanyaan “Apa rasanya nonton konser duduk?” buat saya tidak lagi begitu penting. Duduk atau berdiri, berkerumun atau berjarak, tidak mengganggu kesenangan saya pribadi. Di masa yang memaksa semua untuk berjarak ini, kesempatan untuk bisa kembali merasakan suasana festival musik saja sudah cukup untuk saya. Rasa senang menikmati suasana konser yang saya rindu se-pandemi ini terbayarkan di RIC 2021.[]

La Bomba Rifai Manullang, tim kerja ArtefactID

Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan