Ilham Darwis atau akrab disapa Uwo adalah lelaki yang kami anggap sebagai manusia yang terlambat lahir. Referensi musik, film dan pakaiannya selalu berasal dari beberapa dekade yang lalu. Rasa penasaran akan obsesi Uwo dengan hal-hal lawas itu juga yang membawa kami kemudian bersepakat untuk mengerjakan pameran. Sebuah bentuk yang barangkali bisa dipakai untuk mengeksplorasi sesuatu lebih bebas, melibatkan banyak orang dan menggembirakan.
Pilihan masa 80-an sendiri adalah ide yang muncul setelah bersama menonton beberapa film, video klip, melihat arsip foto dan mendengar cerita dari berbagai kawan tentang dekade itu. Ada banyak corak di sana. Entah dari genre musik, warna dan model pakaian, bahkan pemilihan tipe huruf dalam sebuah poster film. Selain itu, karena bagi Uwo, kenangan tahun 80-an lekat dengan masa remaja mamanya yang begitu berkesan untuknya.
Saya tentu tidak pernah hidup di tahun 80-an. Namun dengan mengerjakan pameran ini, saya merasa mengalaminya berbeda. Melalui daftar lagu dan film yang populer, melihat berita di koran dan fesyen saat itu, kami menikmati 80-an. Pelajaran sejarah di sekolah yang cenderung hanya membahas pahlawan dan peristiwa besar, ternyata tidak menolong banyak. Lewat budaya populer lah kami membaca dasawarsa itu, melihat kenyataan bahwa 80-an rupanya sangat ekspresif.
Beberapa halaman di surat kabar yang terbit di Ujung Pandang[1], seperti Pedoman Rakyat dan Harian Fajar menampilkan deretan jadwal film dari berbagai bioskop. Ada belasan bioskop yang memutar film-film Indonesia, India, Cina dan Amerika. Menurut Opa Ferial, penyiar yang mengudara di Makassar sejak tahun 1966, jika sekarang bioskop-bioskop Makassar berada di dalam toko (mall), dulu malah toko yang “nebeng” di dalam gedung bioskop. Poster jadwal tayang juga dihiasi dengan kalimat-kalimat mencolok seperti “YANG LAMA DITUNGGU-TUNGGU”, “DILEDAKKAN MULAI HARI INI” atau “FILM TERBESAR DAN TERBAIK DALAM SEJARAH PERFILMAN NASIONAL” membuat kita mungkin secara tidak langsung ingin segera memesan tiket, tidak ingin ketinggalan ledakan itu. Belum lagi dengan akses terhadap kaset yang mulai mudah didapatkan oleh kawula muda saat itu, karena label-label di Pulau Jawa merekamnya langsung dari piringan hitam asli ke kaset pita, membuat musik dari luar negeri tersebar dan dipasarkan luas.[2]
Ada romantisme yang membuat saya sedikit iri dengan tahun-tahun saat internet belum populer itu. Seperti ada upaya lebih untuk mengerjakan sesuatu dengan betul-betul memanfaatkan panca indra. Menyetel kaset, menunggu lagu kesukaan muncul dari satu album, menulis surat, mengirim salam di radio, mencuci roll film, dsb. Belum ada kemudahan memori kamera digital yang membuat kita bisa melihat sedetik kemudian gambar yang telah ditangkap. Ada kesempatan menerka dan barangkali terkejut di akhir. Seolah-olah jadinya kehidupan menuntutmu untuk selalu peka, imajinatif dan intim.
Ketika konsekuensi algoritma membuat layanan streaming musik dan siniar seperti Spotify ternyata mampu memerangkap kita dengan gelembung selera musik tertentu[3], lalu bagaimana caranya untuk melompat dari tempurung agar bertemu dengan keberagaman yang lain di hari ini? mengerjakan pameran tentang 80-an ini terasa seperti usaha untuk itu. Bukan hanya sekedar membawa kembali masa lalu.
Warna-warni ekspresi yang ditandai dengan fesyen, kami produksi kembali melalui baju-baju bekas atau cakar (cap karung). Bagi Uwo sendiri, fesyen adalah gagasan diri. Di masa itu, kita bisa mengetahui apa yang sering didengarkan oleh seseorang melalui pakaian yang ia kenakan. Uwo juga selalu meniru cara berpakaian karakter dari film yang ditontonnya. Melalui cakar lah ia menemukan fesyen serupa dengan harga yang tidak perlu sampai Rp50.000. Selain itu untuk mereplikasi ruang tamu 80-an, kami meminjam perabotan dari keluarga, teman, dan kolektor. Ruang tamu yang dulu menjadi tempat pesta anak-anak muda, kami jadikan sebagai tempat pameran seni dan bagian dari pameran itu sendiri.
“Ada dulu mercusuar di Pantai Losari sama itu di pulau seberangnya. Dulu itu kedip-kedip ki lampunya. Kita yang duduk di pinggir pantai biasa anggap seperti sepasang remaja yang lagi baku kirim kode karena saling rindu,” kenang Opa Ferial saat kami bercakap di ruang tamunya. Baginya di masa itu, menjadi romantis bisa dengan hal-hal yang sederhana. Seperti masa lalu dan dua mercusuar yang pernah ada di pinggir pantai Makassar, belajar sejarah itu romantis dan pameran seni bisa dibuat sederhana.
Aziziah Diah Aprilya, kurator Kawula Ria
[1] Kota Makassar dari 1971 hingga 1999 secara resmi dikenal sebagai Ujungpandang atau Ujung Pandang. Lihat Pembentukan Daerah-Daerah Otonom di Indonesia s/d Tahun 2014 hal.25
[2] Anwar Rachman, Rock in Celebes dan 100 Tahun Musik Populer Makassar, Makassar: Tanahindie Press, 2021, hal.11
[3] DROTT, E. Music as a Technology of Surveillance. Jour`nal Of The Society For American Music, 2018, hal. 233-267. doi: 10.1017/s1752196318000196