“Bila karya kreatif terasa seperti anak asing yang terdampar di Sulawesi Selatan, itu karena ada sejarahnya. Bila orang-orang yang terlibat menghasilkannya sulit menemukan tempat sebagai bagian sah dari masyarakat, itu karena ada kekuatan besar yang mencegahnya.”
Ungkapan mendasar Nurhady Sirimorok seperti menjerat sekaligus mengantar tiga pemantik memasuki cakupan diskusi yang lebih terbuka. Ady Supriadi, misalnya, pegiat karst dari Kampung Belae, Pangkep, untuk kesekian kalinya terlibat dalam dialog tentang karst ini. Ia tidak pernah kehabisan energi untuk belajar dan mengutarakan keresahannya pada bentangan alam pegunungan yang kerap ia pandangi tiap kali membuka jendela rumahnya.
“Saya pernah masuk di sekolah dasar di kampung saya, SD Negeri No. 49 Belae, tempat saya dulu bersekolah. Saya coba perlihatkan gambar-gambar tentang karst dan isi di dalam gua, mereka tidak paham. Nah, pada saat saya perlihatkan tentang gambar dan cerita dari Jawa, waktu itu saya ambil contoh cerita rakyat Sangkuriang. Anak-anak menjawab kalau cerita itu ada di perpustakaan dan mereka sering membacanya serta mampu menceritakannya kembali dengan baik,” cerita Ady, membuka sesi diskusi siang itu.
Sebagaimana perhatian pada pentingnya edukasi tentang keberadaan pegunungan karst, Ady berorientasi untuk lebih mendekatkan pengenalan tentang bebatuan itu kepada warga, terutama anak sejak dini. Baginya, akan sangat menyokong jika hadir semacam jurnal yang dapat disajikan mengisi rak-rak buku perpustakaan dalam segala tingkatan institusi pendidikan sebagaimana munculnya buku-buku cerita rakyat tadi di perpustakaan sekolah.
Duduk bersama Ady sore itu, 7 Januari 2023 di halaman Rumah Saraung adalah Badauni AP, jurnalis yang memberikan gambaran tentang bagaimana media juga punya peran dalam mendorong distribusi informasi mengenai karst. Dipandu oleh Sulaiman Ghibran, mereka membincangkan buku terbitan Makassar Biennale (MB) Yang Hilang Ditelan Kuasa(2022) yang merekam geliat perhelatan MB 2021 di Kampung Belae, Kelurahan Biraeng, Minasatene, Pangkep. Buku ini merupakan prosiding simposium yang diisi tulisan Nurhady Sirimorok, Maharani Budi, Louie Buana, dan Nirwan Ahmad Arsuka, dan rekaman perbincangan dari sejumlah narasumber.
Ditemani camilan Kedai Zaydan, kegiatan sore itu dipandu Sulaiman Ghibran yang menyelingkan informasi bagaimana Rumah Saraung terlibat dalam kerja kolaboratif bersama empat kota lainnya di Pra Event MB 2023. Sul, sapaan lekatnya, mulai terlibat di Rumah Saraung melalui program Inkubator Literasi Pustaka Nasional (ILPN), program penulisan yang dijalankan Rumah Saraung di Pangkep atas dukungan Perpustakaan Nasional dan Perpusnas Press.
“Buku ini sangat menarik membaca pembukaan yang ditulis Nurhady Sirimorok, ia membawa kita menemukan wawasan pada sejarah di awal-awal tulisan. Mulai dari sejarah hingga surplus hasil pertanian. Ia mengantar kita dari awal tentang kerajaan, bagaimana pola kerajaan dahulu melihat komunitas masyarakat, khususnya di kawasan karst, tentang bagaimana kebiasaan-kebiasaan masyarakat,” urai Uni, sapaan akrab Badauni.
Selain memberikan apresiasi yang baik atas lahirnya buku ini, Badauni juga mengungkapkan bahwa ada hal mendasar sekaitan isu tentang karst dewasa ini, “Seperti yang dikatakan Ady, bahwa karst itu penting. Mengapa baru sekarang terbuka lebar mengenai isu ini? Mengapa baru sekarang ini dapat diakses, misalnya tulisan, secara arkeologi mungkin sudah ada? Namun, perspektif warga masih sangat jarang,” ia menambahkan.
Badauni melanjutkan, ada seniman seperti Halilintar Lathief yang secara gamblang menerangkan lewat sebuah video[1]bahwa di kawasan karst Maros-Pangkep ada perusahaan tambang yang beroperasi. Baginya itu adalah sebuah ancaman,meski sejak dahulu ancaman seperti itu sudah ada.
Setelah jeda sejenak, Muhammad Syukur dari Perpustakaan & Kearsipan Daerah Pangkep, menyodorkan tinjauannya yang cukup mengejutkan usai menelaah catatan dalam buku tersebut. Menurutnya jika lukisan purba yang ditemukan dalam gua karst di Leang Tedongnge di Kelurahan Balleangin, Kecamatan Balocci, jadi yang tertua di dunia yakni berusia sekitar 45.500 tahun berdasarkan sajian di jurnal ilmiah Science Advances pada Januari 2021, apakah kita akan masih meyakini bahwa kawasan Nusantara ini adalah tempat migrasinya manusia purba dahulu.
“Sangat terbalik memang jika melihat perjalanan migrasi makhluk purba, ya masuk dari Asia-Afrika sampai ke Nusantara yang kemudian peneliti datang dari luar melihat ini. Wah, ini gua tertua, jangan-jangan, jika ini adalah gua tertua di dunia, maka yang melakukan migrasi bisa jadi manusia purba dari sini yang melintas hingga ke Afrika,” jelas Syukur.
Hipotesa Syukur ini tentu masih perlu diuji karena asumsinya hanya didasarkan pada keberadaan gua tertua yang diketemukan itu berisi lukisan purba. Sebab menurut Adhi Agus Oktaviana dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang terlibat langsung dalam riset menilai jika lukisan purba berupa babi kutil di Leang Tedongnge menjadi petunjuk dalam memahami migrasi manusia purba memasuki Nusantara, “Hal itu karena selama Zaman Es berlangsung, selat-selat dalam yang mengelilingi Sulawesi tidak pernah mengering sehingga mustahil bagi manusia prasejarah masuk tanpa menyeberangi lautan,” sebagaimana dikutip dari laman ihram.co.id.[2]
Di ujung sesinya, ia mendorong Rumah Saraung agar membangun komunikasi lebih lanjut dengan pihak perpustakaan daerah agar ada foto yang nantinya dipajang di ruang perpustakaan yang berisi gambar-gambar dalam gua karst yang ada di Pangkep. “Di foto itu diberi keterangan terkait jenis gambar, usia, dan lokasi supaya pengunjung peroleh informasi,” tuturnya.
BINCANG BUKU ini juga merupakan Pra Event MB 2023 di Pangkep. Sembari tetap menyusun dan mengerjakan program secara mandiri, dapat juga dikatakan bahwa ihwal ini adalah pijakan awal melihat bagaimana kerabat kerja MB di Pangkep yang tergabung dalam Rumah Saraung sebagai salah satu kolaboratornya di Sulawesi Selatan berupaya membangun penguatan peran serta penataan sumber daya.
Berasetkan pengalaman dalam gelaran MB dan segenap pertemuan dengan beberapa lingkar pertemanan antar kota seperti Bumi Lestari di Parepare, Kolektif Stereo di Nabire, Videoge di Labuan Bajo serta Tanahindie di Makassar menjadikan terbangunnya dialog berkelanjutan.
Tentu kepercayaan diri ini juga tidak hadir tiba-tiba, melainkan unjuk dari sebuah konsistensi yang terus dibangun dan dipertahankan di tengah agresi lalu lintas informasi, jejaring pertemanan dan media sosial yang sulit dikendalikan. Keberadaan Rumah Saraung sendiri merupakan wujud dari dinamika komunitas dengan sumber daya manusia yang hadir masihlah keluar masuk layaknya memasuki sebuah warkop. Hal ini sangatlah disadari jika Rumah Saraung masih berkelintaran mencari bentuknya.
Seperti itu tampaknya, bahwa keberlangsungan daya giat suatu kelompok, tidak mesti harus melibatkan kekuatan dan sistem maha “formal”. Namun, setidaknya urun daya, komunikasi intens dan pikiran terbuka sebagai produk kebudayaan dalam masyarakat yang kemudian diadopsi menjadi sebuah cara kerja tidak hilang di dalamnya. Gagasan ini mengingatkan saya pada paragraf awal tulisan Nurhady Sirimorok bahwa eksistensi sebuah karya besar itu juga tidak terlepas dari keberadaan kekuatan besar di sekitarnya.
Rumah Saraung sejak didirikan pada 2016 berupaya mendorong denyut literasi berbasis warga menapak gerbang awal tahun 2023 ini lewat sebuah diskusi buku. Setelah menyewa satu petak rumah di Riskita Residen untuk berkantor, halaman rumah yang cukup sepertinya cocok membangun keberdayaan mencipta ruang publik berbasis halaman rumah.
Dengan merunut apa yang disampaikan ketiga penutur dalam diskusi ini, saya mencatat beberapa hal. Saya yang tidak sempat hadir di Simposium MB di Belae justru mendapat banyak informasi ihwal karst dari buku ini. Kedua, bahwa kawasan karst tidak melulu tentang mendaki gunung dan healing dari suntuk aktivitas kota, tetapi sebuah narasi yang sangat panjang. Ketiga, masuk dalam telusur gua-gua karst, sebaiknya memang dibarengi upaya mengetuk pintunya dengan literasi.[]
Afdhal AB, pegiat Rumah Saraung
[1] Tiga Batu dan Asap merupakan video pementasan yang memadukan tari, teater dan seni visual. Halilintas Lathief sendiri hadir di gelaran MB di Pangkep pada Selasa, 27 Septmber 2021 untuk mengisi sesi Simposium dan pemutaran video Tiga Batu dan Asap. Simak videonya di saluran YouTube Halilintar Lathief di tautan: https://www.youtube.com/watch?v=5FxsPwpZ2P8.
[2] https://ihram.co.id/berita/qmypg7327/lukisan-gua-di-leang-tedongnge-petunjuk-jalur-migrasi-purba, diakses pada Rabu, 11 Januari 2023. Pukul 21.45 Wita.