Catatan pemandu diskusi dan peluncuran buku “Riwayat Gunung dan Silsilah Laut” oleh Yermias Degei
Prolog
Buku ini berjudul “Riwayat Gunung Silsilah Laut: Sejarah Baru Tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep“. Judul yang menarik.
Pertanyaan yang muncul di pikiran saya ketika membaca judul buku ini adalah, “Kok gunung ada riwayat dan laut punya silsilah?”
Makna riwayat yang ada dalam otak saya (leksikal) adalah uraian tentang segala sesuatu yang telah dialami (dijalankan) seseorang atau semacam biografi (hakikatnya untuk orang yang sudah meninggal) dan makna silsilah adalah tentang asal-usul suatu keluarga, marga, atau susunan nama kerabat dan sebagainya.
Kontroversi antara judul dengan makna leksikal membawa saya membaca buku ini dan saya ingin mendiskusikan apa yang saya dapatkan di sana.
Apresiasi
Buku setebal 155 halaman ini ditulis oleh anak-anak muda, yang rata-rata generasi Z, (lahir 1990-an), generasi melek teknologi komunikasi informasi. Mereka lintas daerah, saya tidak tahu mereka saling kenal atau tidak tetapi setidaknya mereka telah berbagi cerita melalui buku ini dan kemudian membagikan kepada pembaca, kita di saat ini dan pembaca lainnya.
Para penulis ini perlu diapresiasi. Mereka mengetengahkan kebiasaan baru dalam menulis (lintas daerah), mengangkat hal-hal yang hampir dilupakan orang, hal-hal yang belum banyak tersentuh. Apresiasi lain adalah narasi hasil penelitian ini ditulis oleh anak-anak muda di tengah potensi ancaman daya kritis, terkikisnya kemampuan ‘berpikir sendiri’, pengabaian tugas penting, gagal fokus, menjadi malas membaca teks panjang dan sebagaimana akibat teknologi komunikasi informasi yang semakin pesat, terutama media sosial yang membiasakan kita berlama-lama di sana dan mengonsumsi teks pendek setiap harinya.
Apresiasi juga kepada Yayasan Makassar Biennale yang memfasilitasi dan menyediakan ruang bagi anak-anak muda untuk berekpresi sekaligus mendeskripsikan secara serius cara-cara lama agar kita (pembaca) menangkap bahwa anak-anak muda ini ingin menghindari melangengkan cara-cara lama. Seperti arti dari istilah biennale, anak-anak muda ini mendeskripsikan “seni pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam” yang “memukul hancur” laut, air, ingatan, habitat, dan manusia serta “ilalang dan gandum” yang tumbuh di atasnya.
Ikhtisar
Buku ini dihasilkan oleh lima tim peneliti muda (kira-kira 25 anggota) dari lima kota (Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepere, dan Pangkep). Ia berisi lima narasi.
“Tanah yang Bergerak Menuju Selat Makassar”, bagaimana dinamika keamanan pasca 1965, pembangunan (penimbunan laut) dan pendatang baru yang yang punya uang membuat masyarakat nelayan asli “terusir”, “membalik kehidupan” dan menjauhkan mereka dari sumber hidup (laut) dan kehidupan sosial. Usaha-usaha perlawanan membuahkan hasil tetapi di lain kesempatan gagal karena tidak ada persatuan.
“Perigi-perigi Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros” mengisahkan bagaimana orang-orang Pangkep-Maros mengalami kesulitan air bersih di saat ini karena di masa lalu bentangan pegunungan karst yang merupakan sumber air mereka dieksploitasi oleh perusahaan semen tonasa sebagai bahan baku pembuatan semen. Penyediaan air dari pemerintah (PDAM) pun tidak maksimal sehingga mereka kekurangan air bersih saat musim kemarau dan saat musin hujan mereka justru kelebihan air tetapi itu adalah banjir.
“Kedai, Jalan, dan Cerita Lainnya dari Pinggiran Selengkung Teluk” bercerita pelabuhan terbesar nusantara Cappa Ujung di Parepare yang ramai dan bagaimana pada masa Belanda kota Parepare dibuat tiga zona. Zona inti kota (pusat pemerintahan Belanda dan Keamanan). Zona kedua, zona luar inti kota yang ditempati oleh orang-orang Tionghoa dengan kegiatan perekonomian. Zona ketiga adalah masyarakat pribumi yang berada di pinggiran kota. Namun, setelah masa Belanda kawasan inti ini diambil alih oleh masyarakat pribumi. Namun, usaha-usaha besar tetap masih kembali dikuasai orang-orang Tionghoa. Dengan berjalannya waktu, Parepare yang sebelumnya manusia tumpah ruahnya, pusat hiburan dan pusat perputaran perekonomian berangsur menjadi sepi. Ini adalah kerinduan para generasi muda tentang kembalinya Cappa Ujung yang dulu.
“Orang-orang yang Merintis Kota di Atas Rawa”, penempatan transmigrasi di Nabire (yang tanahnya diserahkan oleh suku Wate, Kepala Suku Waray) dan keluarga Pekey yang hidup di tengah transmigrasi sebagai translokal. Dokter Andreas Pekey menjadi sumber utama dan banyak berkisah tentang bagaimana kehidupan keluarganya, dirinya, dan lingkungannya pada masa itu.
“Riwayat Gunung dan Silsilah Laut Labuan Bajo;”, bagaimana kehidupan masyarakat yang beragam di Labuan Bajo dan bagaimana mulai terkenal bekakangan karena wisata Sail Komodo. Kemudian, fokus pada Pulau Selabi, satu-satunya pulau di pantai utara Manggarai yang memiliki air tawar. Pulau ini pada awalnya berpenghuni tetapi pada Orde Baru pulau ini dikosongkan demi kepentingan pembangunan dan belakangan menjadi polemik karena kerusakan terumbuh karang akibat pengeboman ikan dan terjadi jual beli tanah sebagai efek dari perkembangan pariwisata di Labuan Bajo pasca Sail Komodo. Sisi lain yang dihadirkan dalam cerita ini adalah kehidupan sosial dan keagamaan harmonis di sana. Perubahan-perubahan sosial dan perkembangan kota Labuan Bajo dihadirkan melalui tokoh beragam.
Analisis
“Riwayat Gunung Silsilah Laut” ini pada umumnya mengisahkan keadaan sosial, ekonomi, pembangunan, pengelolaan SDA, dan perkembangan wilayah-wilayah urban/trans. Cerita menjadi hidup karena digali dari kehidupan keseharian para tokoh beragam (penduduk asli dan penduduk urban/trans) sebagai saksi hidup dengan didukung oleh referensi tambahan. Tidak banyak tulisan yang mengisahkan perkembangan daerah-daerah urban dari pengalaman dan kesaksian-kesaksian tangan pertama.
Pengalaman dan kesaksian tema/isu yang sama dari beberapa sumber tentu memberikan bobot cerita atau memperkaya data dan informasi tetapi sisi lain bisa saja membuat pembaca melompak ke paragraf berikut atau halaman berikut untuk menemukan kelanjutan certanya. Pengalaman dan kesaksian dengan isu atau masalah tertentu memerlukan resolusi dari sumber atau tokoh kompeten tetapi dari gaya ceritanya secara tersirat bisa ditangkap oleh pembaca. Urbanisasi dan transmigrasi pada intinya adalah penduduk mencari kehidupan yang lebih baik namun dalam konteks lain meminggirkan penduduk lokal jika pembauran sosial tidak terjadi dengan baik (baca kasus Labuan Bajo dan Nabire).
Epilog
Riwayat hakikatnya dibuat untuk orang yang sudah meninggal dan silsilah dibuat untuk mengerti asal-usul dan meneruskan kehidupan. Dan, buku ini adalah riwayat keadaan yang sudah tiada dan silsilah sebuah keadaan masa lalu dan masa kini.
Peristiwa yang pernah penah terjadi di mana pun bisa berulang di mana pun. Peristiwa yang pernah terjadi di mana pun bisa menjadi pelajaran berharga di mana pun. Mereka yang belajar dari kisah-kisah dari mana pun pasti akan menghindari melanggengkan cara-cara lama.
Buku cerita hasil penelitian anak-anak muda ini adalah sebuah peringatan dan garis merah yang direkomendasikan untuk dibaca berulang-ulang oleh anak-anak muda agar mengerti sesuatu yang tidak disampaikan secara langsung! Dan, anak-anak muda ini adalah Anda, anak Papua di Nabire.
Yermias Degei, ASN di Nabire dan Pegiat Literasi
One Comment
Satu yang saya haruus jujur AKUI bahwa ANAK MUDA adalah MASA depan PERADABAN. tetapi satu yang harus akau Jujur untuk katakan adalah anak MUDA TERLALU TAKUT “SALAH” padahal KEBENARAN tercipta dari sebuah KESALAHAN BERIBU KALI YANG TERULANG.
Ayo ANAK MUDA, BERANIKI SALAH?
Terima kasih Tak TERHINGGA abang “Yermias_Degei”