Makassar Biennale mengundang Gandhi Eka, seniman komik dari Bandung, untuk beresidensi di Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan), satu dari lima wilayah yang menjadi penyelenggara MB 2023. Di kabupaten yang berada empat puluh kilometer di utara Makassar ini membentang kawasan yang menghamparkan salah satu pegunungan batu gamping terluas di dunia. Wilayah ini sekaligus menjadi di antara beberapa titik perhatian sejak MB pertama kali berlangsung di Pangkep pada edisi 2021.
Saya dan F Daus AR, punggawa Rumah Saraung yang juga menjadi tim kerja MB Pangkep, sepakat menjadikan Belae, Minasate’ne, Pangkep, sebagai kampung yang rencananya ditinggali Gandhi selama residensi.
Sejak masuk pertama kali tahun 2021 ke Belae, saya tidak pernah bosan berlama-lama bila ada kesempatan ke kampung ini. Saya katakan masuk karena menuju permukiman warga kita harus melintasi jalan selebar dua mobil bersanding yang dikeraskan pakai semen. Begitu melewati hamparan sawah dan jalur kereta yang baru dibangun kisaran lima tahun terakhir, kita segera berbelok masuk ke sela-sela tegakan gunung batu gamping. Sinyal seluler akan timbul tenggelam karena kita dipagari gunung putih yang menjulang dan sesekali terdengar teriakan Macaca maura, kera hitam endemik penghuni pegunungan terjal itu.
Dalam pengertian bebas sebagaimana yang dipraktikkan selama ini, residensi merupakan cara belajar yang sering dipakai di dunia kreatif dengan cara tinggal di lokasi yang dipilih dalam jangka waktu tertentu untuk kebutuhan penelitian dan atau berkarya (bersama warga setempat dan kelompok yang mengundang). Karena itu, kami berharap, metode-metode Gandhi dalam proses pengerjaan karya komiknya bisa disaksikan langsung oleh individu-individu yang bergabung dalam tim kerja MB Pangkep. Dengan masa residensi yang berlangsung sebulan, pikir saya, tentu saja akan terjadi pertukaran pengalaman yang menarik bagi kedua pihak yang sama-sama belum saling kenal itu.
Belae yang berjarak sekisar tiga kilometer di timur Kota Pangkajene ini lokasi ideal dan tempat yang penting dalam kerangka kerja MB. Wilayah kampung ini berada di sela tegakan gunung-gunung karst yang menyimpan ratusan gua, yang disebut-sebut berjumlah lima puluhan di antaranya memiliki lukisan prasejarah.
Awalnya kami pilihkan rumah panggung milik Ady Supriadi yang baru dibangun di tengah rawa dan sawah. Ady adalah kawan yang juga giat memperjuangkan perlindungan peninggalan tersebut di sela hari-harinya sebagai bankir. Lelaki langsing ini yang lahir dan tumbuh di Belae. Suasana tempat berdiri rumah panggung itu bernuansa mooi indie; sungai kecil yang mengalirkan air dari barisan karst tepat di bawah jendelanya, batu-batu purba di tengah sawah sekitar, sagu dan kelapa yang melambai. Sayangnya, kemarau panjang melanda tahun 2023 membuat sungai kecil itu kerontang. Pilihan lalu jatuh di dangau yang cukup besar milik Pak Haeruddin, ayah Ady yang bertugas sebagai juru pelihara gua prasejarah di Belae, lengkap dengan kamar mandi dan air yang cukup. Di depan rumah kecil itu, tegak kokoh barisan gunung karst bagai tonggak benteng yang dipacak melingkar. Angin mengandung air yang dibawa dari dinding gunung kapur itu senantiasa bertiup di situ.
Bila sedang di Belae, yang seringnya ditemani Daus dan Ady, saya rasanya selalu ingin rebahan. Suasana Belae selalu menyegarkan. Meski kemarau, udara tetap sejuk dan basah karena pengaruh gunung-gunung yang berdiri bagai lingga itu sebagai penyimpan air. Belae merupakan salah satu sumber air yang selama ini menghidupi Pangkep dan sekitarnya. Salah satu titik sumber mata air PDAM di Pangkep diambil dari wilayah ini, tepat di sekitar Leang Kassi—yang juga menyimpan lukisan gua purba.
Bukit-bukit karst seperti yang ada di Belae bisa menyerap air yang jatuh di atasnya, menyimpannya melalui sistem hidrologi yang rumit, dan melepasnya ke dasar gunung sebagai air permukaan maupun air bawah tanah sekisar enam bulan kemudian. Dengan begitu, bila volume air terbanyak tertumpah di atas bukit-bukit pada musim hujan. Limpahan air tersebut baru akan mengalir di kaki-kaki bukit karst pada masa-masa kemarau. Tong air raksasa itu, dengan kata lain, punya dua peran sekaligus: mencegah banjir saat penghujan dan menyediakan air saat kemarau.[1]
Tetapi kini, wilayah batu kapur seperti di Belae yang menghampar di wilayah administratif Kabupaten Maros, Pangkep, Bone, dan Barru ini juga membuat kita berdebar-debar. Kawasannya mulai ditambang sejak tahun 1968 ketika Pabrik Semen Tonasa diresmikan oleh Pemerintah Orde Baru. Dua dasawarsa lebih kemudian investasi untuk Pabrik Semen Bosowa di Desa Baruga, Kecamatan Bantimurung, Maros dimulai dan awal produksi komersil pada 1 Januari 2000.[2]Tegakan gunung-gemunung itu memang bahan baku utama produksi semen dan bahan penting untuk marmer.
Kerusakan lingkungan gunung karst tak terhindarkan. Sudah jadi pemandangan biasa, bila musim kemarau tiba, mobil-mobil tangki dari Kota Pangkajene dan sekitarnya akan datang ke sana mulai pagi sampai malam. Mereka menyuplai kantor-kantor pemerintahan, pesantren, dan kebutuhan warga. Sedang saat masa penghujan, warga Pangkep harus berpindah siaga terhadap ancaman banjir. Lahan pertanian terendam, yang membuat mereka berkali lipat mengeluarkan modal produksi.[3] Izin-izin pemerintah untuk penambangan atas gunung-gunung putih penangkar air itu tampak jelas menjelma sebagai tindakan ‘membakar lumbung sendiri’.
KAMI MEMANDANG bahwa persoalan pegunungan batu gamping di wilayah Pangkep dan Maros harus segera ditanggapi serius secara urunan. Ancaman berkurangnya sumber air untuk warga sekitar, banjir tahunan, sampai warisan berusia puluhan ribu tahun yang segera pudar (dan bahkan hilang) tampak kian nyata.
Ady Supriadi mengandaikannya bahwa “tambang sebagai mi instan, sedang konservasi adalah Sop Saudara”. Penyajian (keuntungan ekonomi) tambang cepat bisa dinikmati, sedang Sop Saudara perlu waktu khusus dalam menyajikan kelezatannya.[4]
Langkah meminta penutupan izin penambangan masih jauh realisasinya—atau tepatnya: tidak sesederhana yang kita bayangkan karena berkaitan dengan kapital, saham, dan kepentingan banyak pihak (yang juga pemegang veto kebijakan). Kini tinggal mengambil langkah-langkah mitigasi, semisal mendekatkan isu ini pada generasi-generasi yang lebih muda. Melalui rentang waktu sebulan inilah, lewat bantuan Gandhi yang bekerja sama dengan tim Pangkep, MB berupaya untuk urunan upaya dalam kerangka itu.
Selama residensinya sebulan, Gandhi mengunjungi berbagai lokasi, termasuk 17 gua di sekitar Belae dan berinteraksi dengan banyak pihak, termasuk dua sekolah dasar. Dalam lokakarya dengan 80 siswa dari SDN 49 Belae dan SDN 59 Rea, beberapa hal yang mengejutkan lantas mengemuka. Tampak ada garis yang putus antara warga sekitar dengan peninggalan prasejarah tersebut.
“Anak-anak itu belum pernah melihat langsung lukisan di gua, padahal mereka tinggal di kawasan yang sama. Leang Patttennung itu dekat saja dengan lokasi sekolah,” kata Gandhi. Ketika berkunjung ke galeri pameran MB Pangkep di Balai Informasi Belae, siswa menjawab bahwa lukisan di dinding gua digambar oleh Gandhi. Menurut Gandhi, itu sudah peningkatan. Semula siswa mengira yang melukis adalah setan.[5]
Karena itulah kita lantas mafhum kemudian kalau sebagian besar gambar yang dihasilkan siswa SD yang diajak workshopitu menghasilkan gambar-gambar yang awam ditemui di sekolah, seperti gambar gunung-sawah dengan matahari bersinar. Tentu juga ada beberapa di antaranya sudah menggambarkan bentuk gunung yang lebih menjulang dan tumpul cenderung bundar seperti bentuk gunung karst.
Sekali lagi, metode seni membuktikan dan memberi ruang bagi kita mempelajari perihal-perihal tertentu, sekaligusmemberi ruang yang besar bagi semua pihak. “Anak-anak cepat sekali (bergerak) kalau kegiatan seperti ini; beda kalau mereka belajar di kelas,” ujar salah seorang guru, dalam sesi kunjungan siswa SDN Belae ke pameran di Balai Informasi Pangkep.
Praktik-praktik ini juga belakangan diakui sebagai proses pembelajaran penting bagi tim kerja MB Pangkep. Dari percakapan-percakapan saya dengan kawan-kawan di Pangkep, model program ini diakui masih baru. Dengan keterlibatan langsung para anggotanya, tim Pangkep bisa mendapat masukan tentang metode-metode yang baru bisa dipakai, sekaligus memecut mereka membangun proyek-proyek pembelajaran yang juga menarik minat kalangan muda lain di Pangkep.
KAMI BERHARAP, terbitnya komik Tamasya Purbakala karya Gandhi Eka ini menjelma sebagai laku menyemai bibit yang bisa menumbuhkan banyak hal, termasuk mencegah generasi-generasi yang mendatang tidak sampai ‘membakar lumbung sendiri’. Kalau tidak, nasib kita memang ditakdirkan tak akan pernah berubah, laksana patung sak semen di pusat Kota Pangkajene—yang terbuat dari semen. Dari semen tetap menjadi bongkah semen.
:: Anwar Jimpe Rachman, Direktur Makassar Biennale
- Tulisan ini merupakan Pengantar karya komik Gandhi Eka Tamasya Purbakala (Makassar Biennale, 2024)
[1] Nurhady Sirimorok, “Yang Hilan Ditelan Kuasa: Jejak Karst dalam Budaya Kreatif Sulawesi Selatan”, dalam Yang Hilang Ditelan Kuasa, Makassar: Makassar Biennale – Tanahindie, April 2022, hal. 5.
[2] Nurjannah, “Implementasi Perencanaan Pajak [Tax Planning] untuk Penghematan Jumlah Pajak Penghasilan pada PT Semen Bosowa Maros”, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, 2013, hal. 49.
[3] Firdaus AR et.al, “Perigi-perigi Kering di Bentangan Karst Pangkep-Maros”, dalam Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan, dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep, Makassar: Makassar Biennale – Tanahindie, April 2023, hal. 37.
[4] Firdaus AR, “Bertamasya Bersama Gandhi”, 2024, belum dipublikasikan.
[5] Ibid.