Mulai dari mendiang Anci Laricci, Art2Tonic, hingga band hardcore Heads Up!
Musik dan sepak bola adalah dua hal tak berhubungan tapi sukar terpisahkan. Masih terngiang jelas saat “Seven Nation Army” milik The White Stripes dipilih sebagai lagu selebrasi untuk seluruh kejuaraan FIFA dan UEFA. Apa yang diingat dari Piala Dunia FIFA 2010 di Afrika Selatan? Selain gol dramatis Andres Iniesta di partai final, salah satu yang mengesankan adalah bagaimana “Waka Waka” milik Shakira menguasai frekuensi penyiaran. Lebih jauh ke belakang, ada “The Cup of Life”-nya Ricky Martin di Piala Dunia 1998 yang bisa membuat seisi arena berjoget.
Di sepak bola Indonesia, musik juga menjadi bagian penting dalam semua pertandingan. Selama 90 menit, ada chant atau yel-yel yang kerap dikumandangkan. Dan setelah peluit panjang dibunyikan, entah menang atau kalah, sebuah lagu yang disakralkan mengambil alih sound system. PSS Sleman memiliki “Sampai Kau Bisa”, sebuah lagu melankolik tentang para pendamping yang setia menemani di perjalanan penuh terjal. Tema serupa juga ada dalam lagu “Song for Pride” di Persebaya Surabaya.
Bagaimana dengan PSM Makassar? Pasukan Ramang punya “Berjuanglah PSM-ku”, sebuah lagu yang mulai dikumandangkan pada 2017, setiap tim selesai berlaga. Selama dua menit, seluruh suporter di dalam stadion, terlepas dari status sosial yang tercantum di kategori tiket mereka serta afiliasi dengan kelompok suporter tertentu, menyatakan ikrar setia pada panji merah marun kebanggaan.
Mantan Media Officer PSM, Andi Widya Syadzwina, pernah menulis dalam artikel jurnal yang terbit pada 2014, bahwa yel-yel (disebut “komunikasi verbal”) adalah bentuk dukungan pada tim kesayangan sekaligus intimidasi pada lawan. Ibarat “war cry” (seruan perang) Angngaru di Suku Makassar, dengan fungsi untuk membesarkan nyali diri sendiri dan ikrar sumpah bahwa sang prajurit akan terus maju di medan laga apapun yang terjadi.
Namun, rasa cinta tak cuma ditunjukkan dalam stadion saja. Salah satu yang masih segar dalam ingatan penulis adalah pada Rock In Celebes 2021. Art2Tonic membawakan chant PSM yakni “Ewako PSM” dan “Badai dari Timur” yang digubah oleh Rere sang vokalis, bersama mendiang maestro lagu Makassar, Anci Laricci. Lagu “Badai dari Timur” pun terasa istimewa sebab “meminjam” irama dari lagu daerah legendaris “Alosi Ripolo Dua”.
Seketika, para penonton yang memadati area parkir Trans Studio Mall Makassar larut dalam suasana, ikut bernyanyi menyemangati PSM, meski saat itu tim yang didukung sedang jalani libur musim 2021-22. Riuh dan padatnya Mattoanging, sampai pada 2023 hanya tersisa puing-puing, seolah pindah ke sudut salah satu sudut pusat perbelanjaan terbesar di Makassar itu. Ada rasa kangen untuk kembali menonton langsung di stadion, yang akhirnya terwujud pada musim ini.
Selain rilisan Art2Tonic, beberapa band-band lokal tak ketinggalan menunjukkan rasa cinta mereka ke PSM, ikut membakar euforia di keempat sisi tribun. Makassar Rocksteady pernah merilis single “Allona PSM” pada tahun 2019, dengan mengajak Daeng Uki—pentolan kelompok suporter Laskar Ayam Jantan—untuk ikut menyumbang suaranya.
Masih di tahun 2019, Cornerkick –band punk yang khusus membawakan lagu-lagu PSM– merilis mini album Berjuanglah PSM-Ku. Dan grup hardcore Heads Up! menyelipkan lagu berjudul “Ewako!” dalam album debut mereka, Skema Penuh Ambisi, yang rilis pada 2018 silam. Keempat band ini jadi “rujukan” para suporter jika ingin mendengar lagu-lagu bertema PSM di seluruh situs streaming.
Tradisi lagu “kebangsaan” PSM sendiri sebenarnya bukan hal baru. Suporter generasi 1990-an, yang saat itu merasakan euforia gelar juara Perserikatan 1992 dan Ligina 1999-2000, tentu masih ingat “Pasukan Bola Matahari”. Lagu berirama classic rock itu kerap diputar selepas PSM selesai bertanding di Mattoanging –baik kalah atau menang– dan menjadi pengiring siaran langsung laporan pertandingan RRI Programa 2 Makassar yang dibawakan oleh Bung Bosco. Tak ayal, “Pasukan Bola Matahari” –yang jujur saya tak tahu siapa nama penyanyinya– jadi official anthem PSM dua dekade lampau.
Melihat (atau lebih tepatnya mendengar) lagu-lagu local heroes yang bertema PSM, penulis teringat sebuah kaset: Viking Kompilasi Persib (2002). Saat itu, band-band Bandung dari berbagai genre mempersembahkan satu karya mereka khusus untuk sang Macan Biru. Mulai dari Pas Band, Koil, Noin Bullet, Jeruji, Mobil Derek hingga Harapan Jaya.
Yang dilakukan mendiang Anci Laricci, Art2Tonic, Cornerkick, Makassar Rocksteady hingga Heads Up! jadi bukti bahwa PSM bisa menyatukan musisi dari berbagai genre untuk sama-sama berdiri di bawah satu bendera merah marun yang sama. Sebab saat para musisi sibuk dengan agenda manggung atau menggarap karya lain, maka lagu khusus jadi cara mereka “tetap hadir” di stadion. Tidak secara fisik, tapi melalui lirik-lirik yang membuat penggawa Juku Eja bisa menatap lapangan dengan dada membusung.
Rencana membuat album kompilasi khusus PSM agaknya memang terlampau ambisius (atau malah sudah terpikirkan dan belum terealisasi?). Tapi, satu hal yang penting, sukar untuk memisahkan raksasa bal-balan Pulau Sulawesi tersebut dengan chant yang menyuntikkan semangat tambahan ke para pemain, kala mereka berjibaku di lapangan demi satu kemenangan.
Referensi :
Syadzwina, A. Widya; Akbar, Muhammad; Bahfiarti, Tuti. (2014). “Fenomenologi Perilaku Komunikasi Suporter Fanatik Sepakbola dalam Memberikan Dukungan pada PSM Makassar.” Jurnal Komunikasi Kareba. 3(1), 1-7.
: Achmad Hidayat Alsair, jurnalis lepas dan content writer.
Tinggalkan Balasan