Saya merasa senang dan bangga berkesempatan untuk ngobrol dengan teman-teman Kolektif Videoge Labuan Bajo terkait sebuah buku. Saya senang karena dapat kesempatan untuk menyelami hasil renungan sejumlah penulis yang tertuang dalam buku yang reflektif berkenaan dengan pengalaman mereka. Juga bisa mengalami letupan-letupan di pikiran yang terkadang mendorong untuk berhenti sejenak. Merenung. Bahkan membaca ulang beberapa penggalan kalimat untuk menangkap makna secara utuh. Lalu merenung lagi.
Buku setebal 304 halaman memuat 28 cerita itu berjudul Hanya Ada Babak, Tidak Ada Panggung karya Fitriany A. Dalay, dkk. Judulnya seketika memicu imajinasi saya. Babak apa? Panggung apa? Mengapa tidak ada panggung? Ada sub judul kecil: cerita dari jarak terdekat tentang Makassar Biennale (MB) 2023. Bukan jarak dekat, tapi jarak terdekat. Ke mana arah cerita buku ini? Atau apa yang saya alami ketika mengikuti, serta menangkap alur dan makna rangkaian cerita berbabak dalam buku ini?
Di cover belakang: ada judul dan sub judul juga dengan tambahan tiga paragraf. Memicu rasa ingin tahu saya. Atau menjadi perangsang untuk membaca dan menginterpretasi lebih jauh. Ketiga paragraf itu, bagi saya, laksana kunci kecil yang membuka pintu. Meminjam penggalan kalimat pada bagian pengantar dari buku ini: “ketika kita membuka satu pintu tak lain akan menguak satu gerbang sekaligus gerbong”.
Kunci pertama membuka pintu untuk mengalami dan terpapar dengan “perjalanan MB dengan perkembangan kolektif yang haram menggunakan metode seragam.” Mengapa haram untuk seragam? Mengapa MB mewadahi keragaman sekaligus merayakannya?
Kunci kedua mengarah ke hal prinsip: “datang ke MB hanya membawa diri selayaknya warga biasa.” Bagaimana mengalami dan menikmati setiap proses dari MB sebagai selayaknya warga biasa? Bagaimana merelakan diri untuk mengalami praktisi yang warga biasa? Akademisi yang warga biasa? Seniman dan kurator yang warga biasa?
Dan kunci ketiga membuka bentangan peristiwa yang menyajikan babak-babak yang terekam oleh kurator, seniman, dan penulis yang tinggal dan mengalami dari jarak terdekat. Merangsang pertanyaan rekaman persitiwa apa saja yang berbabak-babak yang tanpa panggung itu?

Membaca buku ini, saya membayangkan masuk ke gerbong atau semacam rumah bersama MB 2023. Gerbong berisi deretan pesan (amanat yang disampaikan penulis) dan saya menangkapnya di sana sini dari rangkaian cerita. Mulai dari pengantar, lalu bagian kurator, seniman dan penulis, dan rangkaian perhelatan MB di Makassar, Nabire, Pangkep, Parepare, dan Labuan Bajo. Saya beri label “gerbong pesan-pesan”.
Kata “pesan” saya maknai sebagai rambu yang menunjuk pada realita yang saya baca, esensi yang saya dapatkan, amanat, spirit yang disampaikan penulis yang saya rasakan dan alami secara cepat dan singkat dari buku ini. Sesuatu yang merasuk ke pikiran dan melecut interpretasi saya. Sesuatu yang terkadang bisa mendorong saya untuk secara spontan berterima kasih karena mendapatkan makna atau sisi lain yang mengejutkan, sesuatu yang membuat ingin berhenti dan merenung sejenak untuk berproses mengalami cerita di buku ini.[1]
Saya menangkap pesan itu dari jarak jauh. Berjarak jauh karena saya menyelami MB dari buku ini atau saya hanya melihatnya dengan mata eksternal. Ini posisi saya. Karena itu, saya masuk ke dalam “gerbong pesan-pesan” yang berlandaskan isu-isu dari sub tema di tiap kota. Tentu tidak semua pesan tertangkap. Hanya pesan yang serta merta menarik perhatian saya saat menyelami secara garis besar isi buku ini. Dengan kalimat lain, saya hanya mengungkapkan pesan-pesan lepas yang bisa saya tangkap dan komentari atau bikin interpretasi sekenanya.
Saya ambil beberapa penggalan dari bagian pengantar oleh Anwar Jimpe Rachman, yaitu “Program MB menitikberatkan pada proses atau menuju atau menjadi.” Ia memakai kata “atau” di antara kata proses, menuju, dan menjadi. Tentu bukan tanpa alasan. Saya menduga ia ingin menawarkan pemahaman bahwa MB tidak sekadar proses, namun terbuka juga ruang untuk menuju ke ruang lain karena ada gerbang yang terus terkuak dalam perjalanannya.
Terkandung juga makna proses yang menggerakkan untuk menjadi. Menjadi apa? Menjadi MB yang haram untuk seragam. Ada pesan kuat juga yang saya baca. “Kerja-kerja MB adalah kerja yang menampak meski ‘tanpa’ ujung.”
Bagi saya, pesan-pesan ini menyiratkan proses kerja-kerja di MB bertolak dari atau berjalan bersama perenungan yang mendalam yang berhenti hanya ketika secara teknis harus menampak. Mewujud (atau tampak di permukaan atau di babak-babak) ditopang oleh kerja secara kolektif oleh partisipan yang terajak ikut masuk dalam perenungan dengan kekhasannya masing-masing dalam bingkai sub tema pilihan tiap wilayah. Mencermati seluruh dinamikanya dalam proses atau menuju atau menjadi, tersirat ada semangat membara, ada keresahan, ada kekhawatiran, ada putar otak, dan ada kepuasan setelah satu babak terselesaikan.
Dalam kalimat pertama paragraf pertama tulisan Fitriani A. Dalay ada pesan soal berproses dalam MB. “Mengalami dan menikmati setiap prosesnya”. Saya ingat referensi lain menyebutkan: ini bukan soal apa yang dialami atau dinikmati, namun soal bagaimana mengalami dan menikmati. Ini bukan tentang apa tapi tentang bagaimana. Seluruh rangkaian cerita di buku ini menyiratkan tentang “rasa bagaimana”. Menyiratkan bagaimana seluruh partisipan yang berada dari jarak terdekat mengalami dan menikmati seluruh proses MB 2023.
Pada bagian lain Fitriani berefleksi, “Memunculkan dan menghargai sisi manusia dari kawan bekerja membuat semuanya menjadi berbeda.” Paragraf terakhir dari refleksinya ditutup dengan, “membuat rasanya hidup semakin menarik untuk terus dijalani.” Terlihat bahwa dinamika MB memberikan gambaran bagi mata eksternal sebagai adanya wadah pembelajaran yang dalam – mungkin spiritual – bagi partisipannya. Tidak hanya semata peningkatan kemampuan teknis kerja-kerja kolektif kreatif seni dan skema kolaboratif.
Di bawah judul Hanya Ada Babak, Tidak Ada Panggungnya, Zikri Rahman memaparkan perenungan mendalam mengenai kerja-kerja kolektif MB lokal dan perspektif biennale secara global sebagai pembanding atau referensi.
Ia mengajukan pertanyaan menarik: seperti apa harapan MB dan mampu membayangkan praktik dan metode biennale yang berbeda? Strategi kuratorial seperti (apa) yang hendak dirampungkan dan diselesaikan melalui keberadaannya sebagai proses dan kemudian kemenjadiannya (becoming)? Di bagian berikutnya ia tegaskan, “saya menolak MB semata-mata sebagai sebuah peristiwa kegiatan (event), justru ingin memahami sebagai pemeristiwaan terhadap manifestasi politik budaya.”
Kata “pemeristiwaan” tidak ada dalam KBBI Daring[2] (bisa diusulkan MB untuk masuk sebagai entri baru dalam KBBI) namun ia melecut imajinasi saya akan upaya secara sengaja menjadikan sederetan peristiwa sebagai satu kesatuan kejadian penting – tidak berdiri sendiri – tetapi terjalin kuat dalam hubungan substansial. Tulisan Zikri melontarkan sederetan pertanyaan yang reflektif soal MB yang berada dalam bingkai proses, menuju dan menjadi.

Esai dengan sub judul “Komunikasi Melalui Nafas dari Dua Benua dalam Pertunjukan Musik” oleh Syareevah Firdha Aulia Alhabsyi tentang pertunjukkan musik kolaboratif berjudul Jieker: Call & Response turut menarik perhatian saya. Kolaborasi Thania Petersen (seniman asal Tunisia), Aristofani Fahmi (seniman dan peneliti musik tradisional), Hasan Ali (seniman Tidore), dan delapan musisi lokal berbicara tentang hal yang sama yaitu tentang nafas.
Nafas zikir (jieker) di Cape Town dan Tunisia (yang terekam) disambut dengan tiupan nafas pada instrumen pui’-pui’ dari Makassar. Kemudian diam dan menyediakan ruang bagi alunan biola Maskur Daeng Ngesa, senior komposer Makassar.
Kemerduan alunan biola digambarkan penulis seperti menenangkan penonton yang hadir dan berlanjut dengan alunan indah zikir oleh Hasan Ali. Dari jarak jauh saya “mendengar”nya sebagai saat-saat yang tidak hanya menenangkan namun juga memenangkan hati penonton yang barangkali pada saat yang sama juga merasakan dengan sadar tiap tarikan dan hembusan nafasnya.
Penulis mengangkat juga pendapat Thania bahwa karya ini mengajukan nafas sebagai acuan jiwa. Bagi saya, pilihan filosofi yang melandasi hasil karya menjadi salah satu kekuatan panggilan untuk memaknai pemeristiwaan hidup yang dihelat dalam rangkaian MB ini.
Catatan dari Parepare memunculkan pesan adanya penyesuaian dengan konteks lokal. Terbaca dari redaksi sub tema yang berubah walau tetap membahas tentang kota tua. Tema “menulis kota tua” berubah menjadi “cerita-cerita kecil di selengkungan teluk”. Seperti ditulis Muh Wahbah sub tema tersebut merujuk pada geografis kota yang berbentuk lengkungan di Teluk Parepare. Pilihan perubahan yang memuat pesan tentang gambaran proses yang terus menuju dan menjadi. Menuju keharmonisan dengan tempat dan menjadi semangat baru untuk menghelat dan membahas kerja kolektif di Parepare.

MB memang punya tema abadi Maritim. Tiap wilayah penyelenggara punya sub tema. Terbaca juga di bagian pengantar: MB ingin bekerja dan menjalankan program berdasarkan kebutuhan dan konteks setiap wilayah penyelenggara.
Saya menangkapnya sebagai bentuk penghormatan akan keberadaan ruang setempat. Sekaligus ada upaya untuk menjaga harmoni kemanusiaan senafas hidup setempat. Konsekuensinya program dijalankan dan diupayakan terjangkau agar selaras dengan substansi yang dirancang.
Buku ini ditutup dengan cerita dari Labuan Bajo. Memulai kisahnya tentang MB di Labuan Bajo, Beato menulis manusia adalah homo fabula, makhluk bercerita. Ia bercerita soal proses mendokumentasikan enam seniman dengan lima karya mereka dalam kerangka sub tema Asam Garam di Gunung Laut. Beato mengangkat penggalan dari siniar Semacam Radio dengan mengutip semacam penegasan dari Anwar Jimpe Rachman, “MB sederhananya jejaring perkawanan yang mau belajar bareng… kalau kerja sendiri ya kesepian.”

Membaca uraiannya di bagian ini, bagi saya MB itu laksana gerbong yang penuh, yang tak pernah sepi karya seni, yang berwarna-warni sumber daya termasuk buku, pengetahuan, kultural, dll. Benarlah jika MB haram seragam?
Di paragraf terakhir esainya, Beato mengakui bahwa mendokumentasikan karya sejumlah seniman bukan pekerjaan mudah, sekaligus tidak mustahil.
Bagi pembaca yang menangkap pesan dari jarak jauh dengan hanya membaca dan menyelami MB 2023 melalui buku ini, kiranya dibantu dengan semacam tambahan keterangan atau penjelasan awal yang mengurai gambaran isi secara garis besar pada bagian-bagian tertentu di buku ini. Ini berlaku untuk tambahan pada bagian Kurator, Seniman, dan Penulis dan di setiap bagian awal dari cerita MB di tiap kota. Tambahan keterangan tentu akan membantu pembaca menyusuri babak-babak cerita di buku MB ini dengan lebih nyaman.
Dan akhirnya, di awal saya menyebut tiga kunci kecil untuk yang membuka penelusuran buku ini. Setelah menyelami sepintas buku ini saya membayangkan ada kunci besar yang bisa dipakai untuk membuka gerbang besar dan gerbong besar MB selanjutnya. Yaitu kerelaan penuh sukacita dari seluruh partisipan untuk mengalami proses atau menuju atau menjadi selayaknya warga biasa dalam mengalami setiap pemeristiwaan detik demi detik di gerbong MB selanjutnya.
“Bagikanlah ceritanya, bila kau suka bercerita”, tulis Beato.
Ya, saya sudah bagikan cerita singkat saya.
:: Chrispin Mesima, mantan Penyiar Radio TOP FM Bali
(Tulisan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari bahan obrolan [yang ketika itu saya kemas dengan gaya penuturan radio] di Kolektif VIDEOGE Labuan Bajo medio Mei 2025.)
[1] Ada yang bilang: “ada buku yang lebih banyak dipegang dari pada dibaca”
[2] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemeristiwaan
Tinggalkan Balasan