Tulisan ini merupakan catatan kuratorial dan proses Lokakarya CREATE Moments! Salah satu dari bagian dari Program CREATE, Kreativitas Anak Muda Untuk Toleransi yang bertujuan untuk meningkatkan penghargaan terhadap keberagaman di sekolah melalui pendekatan seni dan budaya.
SEBENTANG MEJA berlapis taplak hitam, dengan sisi masing-masingnya terdapat sebuah piring. Kesemua benda bundar putih itu menelungkup, kecuali milik si aku–subjek. Di tengah piring terbuka itu tertera lambang ketakterhinggaan (infinity). Ada juga tulisan di setiap antara piring. Berdasarkan putaran jam, tulisan di antara piring paling kiri “Mungkin lagi di jalan”; piring yang berhadapan dengan milik aku–subjek berdampingan dengan tulisan “Pasti sedang sibuk”’ dan tulisan “Semangat!!!” di antara piring paling kanan dan piring si aku–subjek; dan tulisan di kiri piring aku–subjek “Sedikit Lagi, Sabar…”.
Karya instalasi ini memberi penggambaran suasana yang tersaji di atas sebuah meja makan yang hening, hanya diisi oleh aku–subjek. Sebagaimana dari tampakan sekilas saja, adegan ini menggiring imaji kita pada sebuah meja yang berisi dua orang tua dan dua anak (termasuk si aku–subjek). Sedang tulisan-tulisan yang muncul di atas meja adalah senandika dari sang aku–subjek yang menunggu kedatangan tiga orang lainnya (dua orang tua dan saudara), para pemilik piring yang masih tertutup, yang dipertegas tulisan “lagi di jalan” dan ”sedang sibuk”.
Karya instalasi berjudul “Beranda” ini merupakan kreasi Nabilah Azmi Dilwa Putri, yang ingin menyampaikan kepada para orang tua yang sedang bekerja untuk keluarganya untuk menyempatkan pulang ke rumah walau sebentar dan ciptakan suasana hangat di ruang makan.
Tema tentang keterasingan, kesendirian, dan diri bermunculan dalam karya-karya yang ditampilkan oleh 20 siswa SMA dan sederajat di Makassar dan Gowa dalam CREATE Moments! – Pameran Karya Seni Siswa Sulawesi Selatan yang berlangsung pada 20-23 Januari 2022 di Artmosphere Studio, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar.
Selain milik Nabilah, sejumlah karya dari rekan pamerisnya pun menampilkan tema atau nuansa yang nyaris serupa. Kreasi yang berkisah perihal keluarga juga dimunculkan oleh Lindan Malik berjudul “Memiliki Kehilangan” dan Asrul Adi Musa bertajuk “Burung dan Kesendiriannya”. Lindan lewat panel komiknya menuturkan beberapa momen penting masa-masa terakhirnya bersama ayahnya yang kemudian meninggal dunia, sedang Asrul membuat lukisan burung yang bertengger di dahan pohon tanpa daun di satu senja, merepresentasikan seorang anak yang menunggu keluarganya datang hingga matahari terbenam.
Di antara deretan karya lainnya yang dipajang itu juga membincangkan perihal bagaimana mereka sebagai individu-individu yang: [1] hidup di tengah lingkungan sosial yang menekan dari segala arah, seperti karya “Bebas” Nur Dwi Sri Ratna Ningsi yang menceritakan tuntutan-tuntutan lingkungan terdekatnya terhadapnya untuk menampakkan nilai “kesempurnaan” —pintar, sopan, dan sejenisnya; [2] merepresentasikan diri Nurinayah R sebagai sebatang pohon dalam “Story Senja dan Malam” yang tumbuh di sekitar batuan sebagai simbol ‘masalah yang saya jalani setiap tahunnya yang bermacam-macam’, menjadi tanda kedewasaan’; atau [3] memiliki keistimewaan masing-masing yang diceritakan Jane Octavine B Warani dalam “Ketenangan dalam Kesendirian”.
Yang mereka angkat sebagaimana yang dicontohkan oleh karya-karya tersebut adalah tema-tema yang mahal. Sungguh jarang kita dapati. Apalagi, seperti yang kita maklumi bersama, untuk konteks Makassar, pameran seni yang memberi ruang bagi orang-orang muda masih sesuatu yang langka.
Mereka membicarakan tentang pergulatan masing-masing dalam masa-masa transisi biologis dan psikologis mereka sebagai manusia. Dua puluh manusia 17-18 tahun ini adalah remaja yang hidup dalam kehidupan modern di Makassar dan sekitarnya, kota dan lingkungan hidup yang dipengaruhi dan dihuni mayoritas oleh masyarakat Bugis, suku yang dalam pandangan Pelras, memiliki salah satu karakter tradisi modernitas yakni individualisme.[1]
Orang-orang muda seperti ini pun umumnya tumbuh di keluarga yang berorang tua sebagai pekerja kantoran,[2] yang dengan demikian konsekuensinya harus mereduksi waktu-bersama-keluarga. Semua anak-anak mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas untuk menempuh jenjang pendidikan. Orang tua yang sibuk lantas menjadikan anak mereka sebagai ‘objek’, yang harus ditumbuhkan perkembangannya dengan distimulasi mutlak oleh lembaga bernama sekolah. Orang tua yang menganggap diri sebagai pihak pengguna jasa lantas menuntut sekolah, sebagai pihak yang paling paham ‘pendidikan’, untuk mendidik anak mereka dan harus menjadi lebih bila sudah sampai pulang dan tiba di rumah.
Capaian-capaian pasti nan terukur yang dianut dunia modern berefek besar pada manusia. Logika kehidupan positivistik telah mengasingkan, bahkan menyembunyikan, begitu banyak individu-individu unik di lingkungan mereka sendiri. Sayangnya, karakter pembelajaran jagat pendidikan Indonesia yang masih cenderung top-down atau sentralistik telah menjelmakan manusia-manusia sebagai angka statistik. Perlakuan terhadap anak didik diseragamkan. Institusi pendidikan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya pun meniadakan kesempatan bagi perkembangan yang liyan.
Karya seni, sebagai bagian pembelajaran dalam dunia pendidikan, yang dihasilkan oleh siswa diharapkan dituntut (oleh guru/sekolah) menjadi hasil, agar karya yang ditampilkan oleh siswa menjadi sesuatu yang sudah ‘jadi’ dan ‘elok/bagus’. Bila demikian, cara ini cenderung mengutamakan hasil akhir. Karya diorientasikan tujuan. Padahal, jenis dan disiplin kesenian memiliki karakter yang unik. Setiap hal tak bisa dipelajari dengan cara sesingkat-singkatnya. Belajar kesenian selalu memasuki proses waktu yang panjang.[3]
BAGAIMANA KERJA-KERJA seni menghadapi tantangan-tantangan seperti ini? Saya sebagai pendamping sekaligus kurator mencoba mencari arah yang berbeda. Cara kerja dan logika dunia modern harus diretas pelan-pelan. Lokakarya yang rencananya digelar dua hari itu sebagai rentangan waktu para peserta menyiapkan karya mereka untuk pameran, dua belas hari yang menjelang. Yang tak kalah pentingnya: menekankan proses.
Sepengetahuan saya bahwa kesempatan siswa berpameran seperti ini jarang di Makassar sehingga kemudian saya meminta para art facilitator CREATE untuk meloloskan semua siswa yang mendaftar. “Proses seleksi nanti biar ‘diserahkan’ ke siswa peserta saja. Mereka saja yang menyeleksi diri mereka sendiri,” kata saya ke teman-teman fasilitator.
Soal ini juga saya sampaikan ke peserta. Penyampaian ini rasanya amat penting untuk memberi penekanan ke siswa bahwa mereka diberi ruang bebas berkarya sekaligus bertanggung jawab penuh terhadap diri sendiri. Hal ini terbukti kemudian. Ada 20 karya yang selesai dan ikut dipamerkan dari 20 siswa SMA.
Selama lokakarya, setiap peserta bergantian mempresentasikan rencana terkait bahan, model, bentuk, dan gagasan di balik karya masing-masing. Mereka saling menimpali dan memberi masukan. Lokakarya dua hari dengan latar tumpukan buku koleksi perpustakaan Kampung Buku itu juga banyak diselingi gurau, tanggapan, dan tawa yang pecah. Namun, dari segi gagasan, mereka nyaris seragam. Kebanyakan yang mereka singgung masih ‘konsep’. Nyaris tak ada detail dalam karya mereka. Bahkan mereka menanggapi kejadian yang ‘jauh’ dari luar diri mereka, semisal fenomena dan berita-berita yang muncul di media sosial. Tapi saya maklum saja karena pikiran mereka kepalang terbawa dalam konsep yang ditawarkan CREATE. Di bangku sekolahan, pelajaran seni hanya menjadi sesuatu yang berjarak dan berlangsung dalam proses yang singkat.
Hari kedua, situasi berubah. Saya mengurangi pelisanan. “Hari ini kita cukup menonton beberapa video dokumentasi untuk menjadi bahan pertimbangan atau referensi dan membaca beberapa katalog pameran yang ada di sini (Kampung Buku),” kata saya siang itu. Namun usai menonton, saya sekadar memahamkan bagaimana proses pengerjaan karya-karya yang mereka tonton, bagaimana cara bekerja orang-orang di baliknya sampai mewujudkannya, juga memancing bagaimana mereka memaknai hal-hal yang mereka lihat barusan, terutama mengaitkannya dengan lingkungan sekitar mereka.
Hasil menonton dan mempelajari sederet contoh itu agaknya berdampak. Suasana haru pun sering merebak. Beberapa siswa, dengan menampakkan bahasa tubuh tertentu atau, harus saya temani bicara empat mata. Beberapa menangis, menceritakan diri mereka dan persoalan yang mereka hadapi. Mereka bercerita tentang diri mereka dan menyergap dengan pertanyaan yang nadanya serupa, “Bisakah cerita tentang diri atau semacam ini menjadi materi karya?”
Tentu saya mengangguk. Justru materi semacam itu yang bisa menjadi ciri yang kuat bagi masing-masing karya. Lokakarya dasar sejenis ini juga berharap perubahan pemikiran para pesertanya.
Lantaran anggukan itu beberapa di antara mereka melakukan revisi rencana karya, mulai mengubah gagasan, bahan-bahan karya, cara mengerjakan, bentuk karya, sampai pelibatan orang lain. Rencana yang mereka buat untuk pameran tidak sebatas lukisan dan instalasi, tapi juga mendayagunakan ekspresi mereka dalam penulisan karya sastra, maket, kriya, fesyen, karya pertunjukan (monolog), sampai seni suara.
Dalam presentasi bergilir tersebut sekurangnya tiga siswa berencana menggunakan materi-materi dari pencarian internet. Ketiganya hendak memakainya untuk karya kolase dan materi latar untuk performance arts. Saya meminta mereka untuk tidak memakai materi dari internet. Mereka harus mencari koran, majalah, atau sejenisnya yang versi cetak (yang meskipun saya tahu sudah sangat jarang). Dengan cara ini, saya sepenuhnya yakin, ada banyak hal yang kiranya bisa mereka capai (atau setidaknya alami), yakni: [1] mereka kembali ke model kerja manual, cara kerja dasar yang dibutuhkan untuk mengerjakan karya-karya kreasi; [2] mereduksi kemungkinan pengambilan contekan model karya dari dunia maya; [4] [3] mendorong kepercayaan diri siswa pada daya kreasi dan imajinasi mereka sendiri dan tidak ‘terintimidasi’ referensi yang melimpah di internet; [4] karya yang otentik; dan [5] mengembangkan keterampilan sosial (social skill) siswa agar lebih banyak berinteraksi dengan sebayanya (dalam penyelesaian karya).[5]
Tema-tema besar yang awalnya membebani mereka, perlahan berubah menjadi topik tentang pergulatan mereka di dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Saya andaikan, sesi lokakarya hari kedua itu seperti mengajak mereka untuk turun ke kursi penonton demi menyaksikan kembali adegan yang pernah atau masih mereka lakoni dalam hidup mereka.
Karya-karya mereka berbicara banyak hal terkait isu sosial. Tidak melulu perihal yang mereka ketahui dari kegiatan-kegiatan CREATE yang mereka ikuti sebelumnya. Namun juga, yang terpenting dari itu semua, adalah mereka berupaya menggali apa yang ada di sekitar mereka, terkait isu keluarga, dan lingkaran atau lingkungan terdekat mereka.
Karakter karya mereka pun lantas menjadi menonjol dan khas. Selain karya, seperti enam contoh yang saya paparkan pada bagian awal, yang menceritakan diri (aku–subjek), terdapat karya terutama kolase dan instalasi yang menampakkan pernyataan sikap dari pengalaman pribadi terkait hal seperti perundungan, sebagaimana yang terlihat dalam “Rammang Kekke’” (Ilhamsyah HB), “Don’t Bully, Be a Friend” (Muh. Wildan Fatari), dan “My Self” (M. Alfarizy Zalam). Ada pula karya yang dijadikan ‘tiket’ masuk untuk membicarakan diri mereka dalam sesi dialog yang menjadi rangkaian kegiatan pameran, sebagaimana karya “Ruang Tenang” yang dijadikan kreatornya, Nurhalisa, untuk memasuki sebentang kesempatan untuk menceritakan (dengan terbata-bata dan terisak) pengalaman-pengalaman pahit yang dipendamnya selama ini.
PARA SISWA, tentu dengan kecemasan masing-masing, tahu bahwa karya yang mereka bawa ke pameran itu berwujud tak sempurna, banyak yang kurang dan luput ditambahkan. Namun perlu kita ingat bahwa tak perlu terburu-buru menuntut hasil pada mereka. Sekali lagi, pameran semacam ini hanya sebongkah batu penting bagi mereka kelak untuk melangkah jauh atau melompat lebih tinggi. Ruang-ruang eksibisi seperti ini bisa menjelma rahim bagi mereka untuk menjadi pribadi yang baru, sekaligus ajang pembuktian pada diri tentang kemampuan masing-masing meramu dan mengalami perihal tenggat waktu yang pendek, kesuntukan mengolah bahan, kerja bersama, dan kemandirian berpikir.
Karya Nabilah berjudul “Beranda” telah menunjukkan pada kita cerita tiga piring yang tertelungkup di atas meja itu. Pemiliknya belum tiba di meja makan karena harus menyuntuki dan bergelut dengan kehidupan dunia modern, yang membuat mereka terlempar jauh dari ruang-ruang intim (rumah dan sekolah).
Ya, pemiliknya tidak akan datang. Kita tak perlu menunggu. Meja itu sudah diringkus Nabilah ke dalam pameran. Ketiga piring pun tidak akan terbuka lagi.
Kita memang tak perlu menunggunya terbuka lagi.[]
—
CREATE Diinisiasi oleh Yayasan Hivos bekerjasama dengan Perkumpulan Pamflet Generasi, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Youth Interfaith Forum on Sexuality (YIFoS), dan Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dan Rombak Media, dengan dukungan dari The United States Agency for International Development (USAID).
:: Anwar Jimpe Rachman adalah kurator, peneliti/penulis, dan arsiparis. Sejak 2017 menjadi direktur Makassar Biennale. Pada 2021 menjadi ko-kurator Present Continuous/Sekarang Seterusnya, Museum MACAN.
[1] Christian Pelras, “Budaya Bugis: Sebuah Tradisi Modernitas” dalam Kathryn Robinson & Muhlis PaEni (ed.), Tapak-tapak Waktu: Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan, Makassar: Penerbit Ininnawa, Juli 2005, hal. 37-51.
[2] Hasil obrolan pribadi dengan beberapa peserta Lokakarya Seni CREATE, 8-9 Januari 2022.
[3] Halim HD, “Pendidikan dan Masalah Apresiasi Seni” dalam https://artefact.id/2022/01/03/pendidikan-dan-masalah-apresiasi-seni/, diakses pada 16 Februari 2022, 02.32 Wita.
[4] Ini sering saya dapati dalam beberapa kali kesempatan mengkuratori pameran tugas akhir mahasiswa di Makassar mulai 2016-2019. Bahkan pernah saya dapati model berkarya salah seorang mahasiswa yang benar-benar hanya menjiplak kreasi seseorang yang dilihatnya di Pinterest.
[5] Salah satu hasil menarik dari metode ini adalah salah seorang siswa masih mengumpulkan koran bekas di beberapa tempat kendati karyanya sudah selesai. Menurut pengakuannya, ia masih kumpulkan materi itu karena “ingat masih ada kawannya yang memerlukan koran bekas yang sekarang susah diperoleh”.