Dua Seniman Mandar di Makassar Biennale

“Makassar Biennale bukan soal seni rupa saja, tetapi kolaborasi dengan bidang-bidang lain. Bukan hanya seniman yang harus diundang, tetapi banyak dari sosiologi, pemerhati maritim, dan lainnya datang dan mengobrol di pameran ini, sehingga Biennale bukan hanya pesta artistik. Contohnya seminar, akselerasinya bisa ke visual juga, sehingga bisa dikatakan trap-nya terlangkahi dari Makassar Biennale sebelumnya,” kata Rahmat Muchtar.

Rahmat Muchtar, membawa karya untuk dipamerkan pada Makassar Biennale, seirama dengan tema maritim dengan judul ‘Penyangga Poros Maritim’. Yang ia olah adalah hasil kebudayaan-kebudayaan sungai. Ia meyakini bahwa sungai adalah salah satu bagian dari maritim. Maritim baginya bukan hanya wilayah industri laut, tapi sungai juga menjadi akar-akar maritim yang selama ini luput dari perhatian. Selama ini maritim hanya dilekatkan pada laut saja.

Karya yang ia pajang berupa alat-alat penangkap ikan, bernama bunde’[1]. Hanya saja ia mengganti jaringnya dengan kain berwarna putih yang telah dilukis dengan model manusia berkepala ikan, berbadan ikan, dan kerangka ikan. Kerangka ikan disimbolkan oleh akar-akar budaya Sulawesi yang kebanyakan berasal dari kebudayaan maritim. Ia mengerjakan dan menyiapkan karya ini dari berupa konsep hingga berbentuk karya dari setengah tahun yang lalu karena telah mengetahui bahwa akan ada biennale di Makassar. Karyanya berangkat dari sungai, karena ia beranggapan bahwa air adalah salah satu variabel besar dari kehidupan maritim. Maritim menurutnya berbicara juga tentang mata air, sungai, danau, dan segala tempat dan hal yang menyangkut dengan air.

Berbicara lebih jauh tentang kemaritiman di Indonesia, ia melihat ada sedikit perkembangan dan terobosan baru dari Menteri Kelautan, Ibu Susi Pudjiastuti. Walaupun menurutnya masih banyak pekerjaan rumah dari Ibu Susi dan kita sendiri sebagai orang Sulawesi Selatan, yang masih simpang siur, terutama berbicara tentang kehidupan nelayan, pariwisata, kebudayaan maritim, dan lainnya.

Biennale yang hadir dengan tema maritim menurutnya adalah hal yang sangat baik. Sewaktu Direktur Makassar Biennale, Anwar Jimpe Rachman mengatakan bahwa tema biennale tahun ini adalah maritim, ia langsung tertarik untuk ambil bagian dalam pameran ini. Ia katakan, membuat karya seni dengan tema maritim membuat roh dari karya itu menjadi lebih kuat, kalau dibandingkan dengan biennale lain di Indonesia. Secara visual dan artistik, di Indonesia timur jika mengekspresikan karya dengan tema maritim, artistiknya akan lebih kuat dan banyak. Apalagi Biennale tahun ini belum mengangkat banyak hal tentang kemaritiman.

Contohnya, rompong (alat bantu penangkapan ikan yang terdiri dari pelampung [bambu atau gabus], alat pemikat [daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung], dan pemberat [batu]. Rumpon yang mirip dengan rakit, dalam bahasa Mandar disebut roppo atau roppong atau dalam bahasa Bugis – Makassar disebut rumpong.)[2], bandrong (alat tangkap ikan berupa perangkap raksasa.)[3], dan karya lainnya. Ia tertarik dan sepakat bahwa tema maritim menjadi tema besar dari Makassar Biennale yang akan dieksplorasi tiap pagelarannya.

Makassar Biennale, menurutnya, adalah media pengembangan yang bagus untuk teman-teman di Makassar. Sebelumnya, di Makassar ada Makassar Art Forum yang gagasannya dibawa oleh kawan-kawan dari Jawa, salah satunya adalah Halim HD. Tapi terkesan memborbardir karena banyaknya karya. Kalau di Makassar Biennale, ada pengkurasian yang spesifik dalam artian terkait dengan persoalan tema dan kuratorialnya, apalagi dikuratori oleh Nirwan Ahmad Arsuka. Kesempatan yang sama diberikan kepada seniman dari Indonesia Timur, bukan hanya Makassar membuat ini menjadi menarik. Sebab yang dilihat adalah gagasannya, bukan teritori.

Ketika ia melihat ke Jawa yang menurutnya begitu kolaboratif dan inspiratif dalam menggali setiap gagasan, ia berpikir bahwa kalau seperti itu perkembangan seni rupa, begitu banyak yang belum kita eksplorasi. Persoalan cuaca kesenirupaanlah yang membedakan antara Sulawesi dan kawan-kawan dari Jawa, katanya. Kalau di Yogyakarta misalnya, yang menghidupkan mereka adalah kantong-kantong seni, bukan hanya secara formal, namun juga secara informal.

Selain Rahmat Muchtar, di Makassar Biennale ini juga menghadirkan seniman asal Mandar lainnya, Muhammad Ridwan Alimuddin, yang juga menjadi narasumber di seminar maritim. Dalam seminar yang dilaksanakan pada hari pembukaan Makassar Biennale, 8 November 2017, di Ballrom Theater lantai 3 Menara Pinisi, Ridwan membahas tentang kebudayaan bahari Mandar. Dalam pembahasannya, ia membagi beberapa bagian dalam pembahasan: ilmu pengetahuan, perahu dan alat tangkap, penangkapan ikan, hasil tangkapan, pengolahan, pemasaran, dan sistem sosial, kemudian ritual dan mistik.

Pengetahuan dalam bahasa Mandar, berarti Pa’issangang. Ada empat pengetahuan tentang kebudayaan bahari Mandar: (1) pa’issangang asumombalang yang artinya pengetahuan tentang pelayaran, (2) pa’issangang aposasiang yang artinya pengetahuan tentang laut, (3) pa’issangang pa’lopiang yang artinya pengetahuan tentang perahu, dan (4) pa’ssangang yang artinya pengetahuan tentang ilmu gaib. Ridwan juga menjelaskan tentang ritual dan mistik pada kebudayaan bahari Mandar. Kata kunci untuk memahami praktik tentang itu ussul dan pemali. Ia menjelaskan bahwa ussul adalah harapan “akan seperti itu…”, sedangkan pemali adalah pantangan. Contohnya dalam konteks kebudayaan bahari adalah jumlah lilitan di perahu yang selalu ganjil dan menghadap ke atas. Ini dianggap sebagai ussul agar rezekinya selalu naik dan menanjak ke atas.

Dalam presentasi karya seninya, ia menampilkan beberapa foto yang memperlihatkan bentuk masyarakat maritim, khususnya nelayan. Ia menjelaskan bahwa mengenali itu paling mudah dengan melihat nama-nama perahu mereka. Kebanyakan mereka menempatkannya di buritan perahu, yang menurutnya gambar itu tidak akan kelihatan jika sedang melaut. Selain nama, ornamen-ornamen yang indah, biasanya diletakkan di buritan. Jadi, ia menggap bahwa gambar-gambar atau tulisan yang diletakkan di buritan perahu memang untuk diperlihatkan ke masyarakat. Karena ketika perahu itu dirawat-bersihkan, perahu akan dinaikkan ke pantai, dan orang akan lihat di situ.


Foto karya Muhammad Ridwan Alimuddin pada pameran Makassar Biennale 2017.

Ridwan telah meneliti maritim dari tahun 1997 sampai sekarang, kehadirannya menjadi seniman pada Makassar Biennale menjadikan pameran ini lebih kontekstual. Menurutnya Makassar Biennale sangat luar biasa karena diupayakan dan disajikan dengan cara kontemporer.

“Saya baru pulang dari Belgia,” terangnya. Di Belgia menghadiri pameran Europalia, yang dilaksanakan dua tahun sekali. Di ajang itu, Indonesia dipilih sebagai bintang tamu, dan Indonesia diminta untuk mengusung tema maritim, Archipel. Terdapat 230-an artefak di museum nasional yang tak ternilai harganya, dibawa ke pameran Europalia itu kurang lebih selama 4 bulan. Ia sendiri, diminta menjadi semacam konsultan untuk pembuatan perahu Padewakkang (Perahu dibuat dengan teknik menyusun papan)[4] yang menjadi properti paling besar yang dipamerkan dengan badan kapal sepanjang 12 meter, tinggi dua meter, dan lebar tiga meter, dan sangat diapresiasi oleh masyarakat Eropa. Apalagi perspektif orang Eropa yang menganggap bahwa pembuat perahu adalah seniman.

Di Makassar yang dianggap sebagai kampung para pelaut ulung, maritim adalah tema yang sangat tepat. Hanya saja masalahnya adalah apakah para cucu-cucunya mengerti tentang kemaritiman atau tidak. Apakah cuma menganggap bahwa maritim itu cuma laut dan perahu, padahal maritim lebih luas dari itu. Sekarang saja nama-nama perahu malah tidak ada hubungannya dengan laut, malah nama-nama sinetron, klub sepakbola, tapi ini adalah fenomena bahwa masyarakat maritim itu tidak terlepas dari gerakan kebudayaan global.

Foto-foto yang ia pamerkan sebenarnya tidak sengaja untuk pameran ini, lantaran hanya menampilkan foto-foto nama-nama perahu yang ia temui di Mandar. Banyak perahu sejenis yang ia lihat di Flores, Madura, dan Pantura. Hanya saja keunikan di Sulawesi Selatan dan Barat adalah perahunya hanya memiliki ornamen ukiran yang sangat sedikit, beda dengan di Jawa yang banyak ukiran, bendera, dan lainnya. Beda dengan di Bali yang punya gambar hewan di perahunya. Dalam masyarakat maritim, pemali menyebut binatang berkaki empat di laut.

Ia mengikuti pameran ini karena punya hubungan yang dekat, seperti dengan kurator Makassar Biennale, Nirwan Ahmad Arsuka, juga dengan Anwar Jimpe Rachman. Awalnya ia diajak diskusi tentang kemaritiman, ketika ia menjelaskan nama-nama perahu, ia lalu diminta untuk memamerkannya.

Ia berharap Makassar Biennale bersifat berkelanjutan. Ini sebenarnya adalah soal kita sendiri. Apalagi dengan tema kemaritiman, yang telah menjadi tema abadi Makassar Biennale ini. Ia menganggap bahwa laut adalah jembatan atau penghubung banyak hal.[]

Fauzan Al Ayyuby, belajar dan bekerja di Tanahindie.

[1] Alat penangkap ikan yang terbuat dari Bambu berbentuk segitiga yang hampir menyerupai huruf ‘A’ dan mempunyai jaring sebagai penangkapnya.

[2]Muhammad Ridwan Alimuddin,http://ridwanmandar.blogspot.co.id/2008/02/hikayat-rumpon-nelayan-mandar.html, diakses pada 12 November, pukul 21.48 WITA.

[3]Muhammad Ridwan Alimuddin, http://ridwanmandar.blogspot.co.id/2015/01/banrong-dan-jaliq-perangkap-raksasa-di.html, diakses pada 12 November, pukul 21.45 Wita.

[4] Muhammad Ridwan Alimuddin, http://ridwanmandar.blogspot.co.id/2017/09/mengapa-padewakang.html?view=classic, diakses pada 13 November, pukul 21.27 WITA.


Bagikan:
Pin Share

Tinggalkan Balasan