Makassar Biennale (MB) sebagai pendatang baru dalam dunia festival seni di Indonesia, harus mampu merumuskan karakternya dan mendefinisikan dirinya agar tak menjadi sekadar pengekor dari Biennale yang sudah ada. Selain sebagai ajang seni, MB pun dapat menjadi ruang percakapan pengetahuan berbagai kalangan terkait gagasan atau isu tertentu. Hal ini juga dapat memberi kontribusi dalam khasanah seni rupa di Indonesia melalui rangkaian penyelenggaraan biennale. Maka, MB harus punya ‘sesuatu’ dari biennale-biennale lainnya, dalam hal ini Jakarta dan Yogyakarta.
Nirwan Ahmad Arsuka, Kurator MB 2017
Dengan memilih tema “Maritim” menjadi tema, MB 2017 tak terlepas dari sejarah perkembangan kebudayaan di wilayah Sulawesi Selatan atau Sulawesi pada umumnya. Sebagai kota penghelat biennale seni rupa termuda di Indonesia, MB juga menjadi ruang pertukaran pengetahuan dengan modus seni.
Refleksi atas sejarah wilayah Sulawesi Selatan menjadi salah satu pertimbangan MB 2017 dalam menetapkan ‘Maritim’ sebagai tema abadinya. Sulawesi Selatan menjadi bagian dari masa silam—sangat terpaut erat dengan dunia maritim. Makassar mulai abad ke-15 kemudian memuncak pada awal abad ke-17, pengaruhnya sangat kuat untuk menentukan sejarah maritim dunia.
Raja Gowa ke-9, Karaeng Tumapa’risi Kalonna (1510-1546) mulai menoleh ke laut. Untuk mewujudkan visinya, ia memindahkan istana dan pusat pemerintahan dari Tamalate ke Benteng Somba Opu di dekat muara Sungai Jeneberang. Selanjutnya Somba Opu dijadikan bandar niaga kerajaan. Dari sinilah awal keterlibatan Gowa dalam dunia perdagangan maritim.[1]
Christian Pelras dalam buku Manusia Bugis, orang Bugis memanfaatkan laut untuk berdagang pada akhir abad ke-16 hingga abad ke-17. Perdagangan maritim benar-benar godaan buat mereka. Naluri berdagang ini cukup tinggi, membuat aktivitas maritim orang Bugis berkembang pesat. Orientasi kehidupan yang semula agraris tergeser menjadi berorientasi ke perniagaan maritim. Masa perdagangan di Bugis-Makassar telah bersemi lama sebelum kerajaan kembar Gowa-Tallo (Kerajaan Makassar) muncul sebagai kekuatan dominan dan hegemonik di wilayah perdagangan maritim Nusantara abad ke-17. Tercatat pelabuhan Makassar telah menjelma pelabuhan yang sangat ramai pada abad ke-16. Pelabuhan itu menghubungkan jaringan perdagangan di barat (Malaka), utara (Sulu), barat-selatan (Jawa), dan timur (Maluku). Pedagang Makassar sendiri memainkan peranan yang amat penting sebagai perantara perdagangan rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor.[2]
Selain pertimbangan atas catatan sejarah kawasan Sulawesi Selatan terkait maritim, pertimbangan lainnya yakni Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Secara formal menyatakan keinginannya untuk menghidupkan budaya maritim secara sungguh-sungguh.
Hal ini dinyatakan sendiri oleh Presiden Jokowi dalam sambutannya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur, yang menegaskan tekadnya menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. “Saya memilih forum ini untuk menyampaikan gagasan saya tentang Indonesia sebagai poros maritim dunia, dan harapan saya tentang peran KTT Asia Timur ke depan,” Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT Asia Timur, di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis (13/11/2015).[3]
Karena itu, menurut kurator MB 2017 yang juga penggagas Pustaka Bergerak, ini akan menjadi tantangan tersendiri buat MB, bagaimana menjelajahi seni maritim sekaligus mempraktikkan paradigma seni terbaru. Seni merupakan bagian dari upaya melakukan perubahan, dalam hal ini perubahan sosial dan politik.
Dengan dunia maritim yang sangat bertaut erat dengan nelayan dan masyarakat yang hidup di pesisir, dapat dikatakan tingkat kehidupan kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka belum cukup memadai. Maritim sebagai tema besar dan pemandu dari biennale-biennale yang sudah ada, diharapkan dapat menjawab tantangan ini.
“Dalam artian menghidupkan seni maritim hanya mungkin menjadi berarti kalau kita melakukan sejumlah advokasi atau langkah-langkah yang dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat nelayan dan pesisir. Karena kalau kehidupan masyarakat pesisir yang berhubungan dengan air (laut, sungai, dan danau) tidak berubah taraf hidupnya, tidak akan membuat budaya maritim menjadi ‘semarak’ karena merekalah pendukung utama budaya maritim,” sambungnya.
Pembicaraan terkait kemaritiman bukan hanya soal wilayah ‘perairan laut’, banyak potensi lain yang memungkinkan untuk dibaca dan dibicarakan bersama. Menurut Rahmat Muchtar, seniman yang turut menampilkan karyanya di MB 2017 menyatakan bahwa maritim bukan hanya wilayah laut, tetapi sungai juga menjadi akar-akar maritim yang selama ini luput dari perhatian. Ia juga beranggapan bahwa air adalah salah satu variabel besar dari kehidupan maritim. Maritim juga menurutnya berbicara mata air, sungai, dan segala tempat dan hal yang menyangkut dengan air.
Begitu juga saat membicarakan catatan sejarah kawasan Sulawesi Selatan yang tak kalah menarik untuk dieksplorasi, yaitu ‘seni visual purba’. Hal ini dipicu dari hasil penghitungan figur-figur visual yang ditemukan di sejumlah gua di Kabupaten Maros-Pangkep. Temuan artefak pada beberapa gua karts di Maros-Pangkep telah banyak ditemukan, misal gambar anoa dan telapak tangan yang terdapat pada dinding-dinding gua. Fakta bahwa gua karts itu dahulunya berbatasan langsung dengan bibir pantai. Hal ini juga menggambarkan situs penting tentang masyarakat pesisir yang menatap dan hidup dari laut dalam lintasan waktu yang panjang.
Pada perhelatan kedua, MB 2017 memperkuatnya dengan menyelenggarakan program edukasi publik lewat seminar, workshop kreatif, wicara seniman, pentas seni, dan peluncuran buku. Seminar menjadi program yang cukup strategis, sebab sebagai peristiwa intelektual, dapat menjadi ruang pertukaran gagasan-gagasan tertentu dari berbagai kalangan. Hal ini kemudian diapresiasi oleh Nirwan.
“Ada aktivitas intelektual yang mendahului dan melengkapi kegiatan artistik, dalam hal ini karya para seniman yang tampil di Biennale Makassar ini. Kita memperlakukan biennale bukan hanya sebagai ajang pemeran karya dari para seniman saja, tapi juga sebagai peristiwa intelektual (pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan maritim). Dengan mengajukan pemikiran-pemikiran baru, fakta-fakta baru mungkin disodorkan, kesimpulan-kesimpulan baru kemudian ditarik dari perbincangan berbagai kalangan.”
Dengan merespons tema Maritim, karya-karya yang ditampilkan para seniman tak kalah menarik untuk dijelajahi. Sebagai contoh, karya Made Bayak, seniman asal Bali, mengangkat fakta kontemporer laut sebagai bahan refleksi. Sebuah karya yang menampilkan peta Indonesia dengan lautnya yang berwarna biru diisi dengan kata ‘sampah’ di mana-mana. Dengan menghadirkan kondisi Indonesia dengan merespons sampah, khususnya sampah plastik yang sulit untuk didaur ulang, ia memvisualkan karya rupa sekelompok murid sekolah dari sampah dan botol plastik yang tersebar di sekitar perahu. Ini kemudian menggambarkan bahwa Indonesia sebagai “jalur rempah” kemudian berubah menjadi “jalur sampah”.
Karya ini merupakan kritik refleksi atas situasi kontemporer kehidupan laut kita dengan mengaitkan sejarah Indonesia sebagai tempat persinggahan jalur rempah-rempah yang memiliki pengaruh besar bagi peradaban dunia.
Ahmad Anzul, seniman Makassar, juga membuat instalasi dengan menaburkan garam pada alas kain hitam dengan menggantungkan ikan asin merah dan ornamen-ornamen perahu—dapat ditafsirkan dalam berbagai perspektif. Karyanya dapat diasosiasikan dengan perjalanan pengalaman-pengalamannya sewaktu kecil, misalnya, dan juga dapat menyodorkan banyak simbol yang berhubungan erat dengan pemikiran maritim, tentang relasi filosofis, maupun relasi ekonomi, dan sosial.
Tak kalah menarik juga karya dari Zaenal Beta, menurut Nirwan Arsuka, “karya dari Zaenal Beta dapat dikaji kembali di Indonesia karena pencapaianya sangat luar biasa. Enal ini dapat disebut Affandi dari Makassar atau dari timur. Dengan caranya menciptakan karya hampir mirip dengan Affandi, dengan menghasilkan karya ‘sekali dikerjakan, sekali tarik’. Enal menghadirkan dunia dari satu spektrum warna tanah di atas kanvasnya. Ada banyak pantulan realitas maupun impian, dunia masa silam dan masa kini.”
“Yang tampil di seni rupa biennale kali ini memang belum optimal dan maksimal, tapi perkembangannya sangat menarik. Saya sebagai kurator sangat senang dengan karya-karya yang ditampilkan para seniman-seniman yang terlibat,” tanggap Nirwan.
Dalam satu kesempatan wawancara, Nirwan mengungkapkan harapannya untuk MB yang akan datang agar melakukan penjelajahan-penjelajahan lebih jauh lantaran tema Maritim yang masih sangat luas.
“Maritim sebagai satuan politik, misalnya. Dapat juga dilihat dalam konsep antropologis yakni masyarakat maritim, dinamika ekonomi dalam hal ini perdagangan maritim. Selain sebagai konsep juga sebagai produk pemikiran. Maritim juga bisa dilihat sebagai media atau bahan dalam menghadirkan ikon maritim, dalam hal ini budaya sarung dan alat tangkap ikan sebagai benda maritim. Produk maritim juga dapat dilihat sebagai idiom dengan memperkaya nuansa artistiknya,” jelas Nirwan.
Ia kemudian menyinggung soal produk maritim yang sekarang mendapat sorotan di Eropa, yakni perahu Padewakkang dan perahu Pinisi sebagai produk kultural. Menurutnya, pengetahuan terkait kapal dan perahu yang dipelajari di sekolah lebih berhubungan dengan kapal-kapal produksi Eropa atau Amerika, yang bahannya rata-rata dari besi. Kurikulum yang digarap di sekolah yang ada di Sulawesi Selatan lebih banyak mempelajari ilmu yang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan lokal, dalam hal ini konsep pendidikan di Indonesia masih bersifat sentralistik. Kapal-kapal yang bahannya berbahan dasar kayu yang biasa dipakai oleh seniman perahu di Sulawesi Selatan yakni para Panrita Lopi tidak dimuat dalam kurikulum dan dipelajari.
Upaya dengan hadirnya MB, harapan kurator MB 2017, ke depannya agar terjalin komunikasi dengan masyarakat luas, terutama kepada para pemangku kepentingan (stakeholder). “Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Kota, maupun Pemerintah Provinsi dapat memberi perhatian sungguh-sungguh yang lebih nyata. Hal ini kemudian akan mendorong sektor pariwisata, jika ada kehidupan maritim yang ‘menarik’ dapat menambahkan pendapatan suatu daerah.”
“Keroyok Maritim dari berbagai sudut!” tutup Nirwan.
Rafsanjani, mahasiswa Antropologi Universitas Negeri Makassar (UNM) dan sedang belajar dan bekerja di Tanahindie.
[1]Budi Suwarna dan Aswin Rizal Harahap, https://kilasdaerah.kompas.com/jawa-tengah/read/2013/11/01/1938414/Petani.yang.Menoleh.ke.Laut, diakses pada 23 November, 05.00 Wita.
[2]http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/petani-yang-menoleh-ke-laut, diakses pada 23 November, 05.15 Wita.
[3]http://www.presidenri.go.id/berita-aktual/indonesia-sebagai-poros-maritim-dunia.html, diakses pada 24 November, 01.15 Wita.
One Comment