Sejarah telah menunjukkan, perkembangan kebudayaan dan bahkan peradaban tidak pernah dapat dilepaskan dari sejauh mana keseniannya juga berkembang secara pesat. Dan tolak ukur kemajuan sebuah bangsa tidak saja ditinjau dari terobosan teknologinya, tetapi juga dapat dilihat dari kreativitas dan inovasi dalam bidang kesenian.
Perkembangan zaman juga membawa apresiasi karya seni rupa, menjadi bagian dari prestise kelas menengah atas dan investasi yang cukup menjanjikan. Karena karya seni rupa memiliki grafik portofolio yang terus menanjak seiring dengan terobosan estetik dan eksistensi sang seniman, dalam perkembangan jenjang kekarirannya di kemudian hari. Kondisi tersebut dimungkinkan karena telah terbentuk kesadaran di dalam medan sosial seni rupa, yang di dalamnya terdapat berbagai eksponen yang saling terkait.
Medan itu terbentuk dengan hadirnya kolektor, museum, kritikus, sejarawan seni rupa, broker, galeri, kurator, pencipta seni yang sebagian besar adalah pihak swasta; dan tentunya juga perhatian dan peran serta pemerintah sebagai pemegang kebijakan formal kebudayaan dan seni.
Dalam konteks yang lain, seni rupa juga telah terbukti menjadi bagian integral dari pengembangan pariwisata budaya, contoh yang paling relevan adalah seni lukis Bali. Awal promosi pariwisata Bali ditopang dengan program pameran keliling yang dinamakan Pita Maha, diselenggarakan pemerintahan Hindia Belanda di kunstkring-kunstring berbagai daerah di Indonesia dan hingga keluar negeri. Hingga terbentuklah citra Bali sebagai daerah destinasi pariwisata budaya yang unik di dunia yang mendapat julukan seperti last paradiseatau island of god.
Celebes Artlink merupakan sebuah projek apresiasi kebudayaan melalui seni rupa, sebagai upaya untuk membangun model destinasi ‘baru’ pengembangan pariwisata berbasis budaya di wilayah Indonesia Tengah-Timur. Dipilihnya Makassar sebagai tempat penyelenggaraan, menimbang posisinya yang signifikan sebagai hub di Indonesia bagian tengah-timur; bagi jalur transportasi laut dan udara. Pertumbuhan ekonominya pun terus berkembang pesat. Sebagai hub ekonomi kawasan, hotel-hotel pun terus bertumbuh memenuhi kebutuhan ekonomi dan tempat transit memberikan kenyamanan.
Hotel-hotel di Makasar telah banyak menjual paket-paket pleasure dan hospitality, dan sepertinya belum banyak menekankan pada konten nilai-nilai budaya (cultural value). Hal yang sangat disayangkan, karena sesungguhnya wilayah Nusantara ini sangat kaya dengan berbagai bentuk dan ekspresi kebudayaan dari beragam suku bangsa. Sebagaimana halnya di daerah Sulawesi Selatan sendiri yang terdiri dari berbagai suku bangsa diantaranya Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, dan masih ada lagi yang lainnya.
Keragaman budaya adalah modal kultural (cultural capital), yang menjanjikan resource (sumber daya) yang tidak akan pernah habis untuk digali dan dikembangkan. Yang juga ditopang oleh social capital yang kuat berupa sistem sosial masyarakat yang berupa adat yang didasari dengan kebersamaan. Potensi tersebut adalah modal untuk mengembangkan diri dengan kesadaran sebagai subjek kebudayaan, untuk dikembangkan seiring dengan kebutuhan zaman dan masyarakatnya.
Salah satunya dapat dilakukan dengan reinventing culture mengangkat kembali nilai-nilai budaya untuk dikontekstualisasikan dengan semangat zaman (zeitgeist). Dalam bahasa keren di era digital ini, diperlukan kesadaran rebranding, segenap potensi yang luar biasa dari kebudayaan Nusantara tentunya dengan pemikiran yang visioner.
Melalui pameran ini, perupa yang terlibat diajak kembali menyelami nilai-nilai kebudayaan Nusantara yang sangat beragam, sehingga akan muncul berbagai ekspresi karya rupa yang mengangkat nilai representasi dan nilai simbolik kebudayaan. Pameran ini juga diharapkan dapat menjadi program awal untuk mengangkat kembali nilai-nilai unik kebudayaan khususnya di Sulawesi Selatan, dalam rangka bagian dari paket dan promosi pariwisata budaya.
Tautan: https://artefactid.wordpress.com